Desa Lunjuk, Kecamatan Seluma Barat Kabupaten Seluma, Bengkulu merupakan salah satu dari beberapa desa yang saat ini mengalami konflik lahan dengan perusahaan agribisnis kelapa sawit raksasa di Bengkulu yakni PT Sandabi Indah Lestari. Konflik tersebut  bermuasal dari kebijakan agraria di kolonial era, dan sebagian lain muncul dan bereskalasi di masa kini. Hal ini terjadi karena pada dasarnya konflik lahan ini bersifat residual consequency atau bersifat historis, ia tidak muncul tanpa sebab yang berdiri sendiri. Sehingga berakibat pada pengurangan dan penutupan akses terhadap tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan muncul dan meluas sebagai penghilangan hak ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil dan politik masyarakat, yang secara langsung berupa hilangnya wilayah hidup, mata pencaharian, harta benda hingga jatuhnya korban jiwa. Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang diiringi menurunnya kemandirian masyarakat di dan sekitar desa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada gilirannya, mereka terlepas dari alat-alat produksinya berupa tanah dan sumber daya alam lainnya dan akhirnya hanya mampu berpangku pada tenaganya sendiri, masuk dalam pasar buruh murah dan terjebak dalam proses kemiskinan struktural. Dan salah satu ancaman yang memburu masyarakat dan Petani lokal adalah krisis keamanan subsistensi yang tidak mampu lagi dielakkan.

Kemiskinan dalam perspektif masyarakat pedesaan

Pada umumnya, masyarakat di pedesaan (khususnya masyarakat Suku Bangsa Rejang yang pernah di teliti oleh penulis) menyebutkan atau mengistilahkan kata ‘miskin’ dengan sebutan ‘Peset’. Peset dalam pengertian masyarakat Rejang adalah kondisi dimana masyarakat mengalami kondisi psikologis dan sosial yang sedang fluktuatif (atau kekacauan). Dimana kekacauan tersebut bersumber dari dalam diri (internal) mereka sendiri. Biasanya hal tersebut merujuk pada kemampuan (ability) seseorang untuk mengupayakan sesuatu. Misalnya, seseorang yang memiliki kebun yang luas, namun tidak memiliki kemampuan dan tenaga kerja yang cukup untuk mengelola lahan tersebut. Kemudian disisi lain orang tersebut memiliki rumah yang besar namun juga memiliki anak yang banyak dan hutang yang menumpuk, maka kondisi seperti ini dapat digolongkan sebagai peset.1Atau seorang perempuan kepala rumah tangga yang ditinggal suaminya bekerja atau cerai dan seseorang mengalami keterbelakangan mental, kondisi ini juga digolongkan sebagai peset.2

Sedangkan kemiskinan menurut pandangan ibu-ibu desa Lunjuk, adalah kondisi dimana mereka tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar di dalam rumah tangga, seperti biaya pendidikan anak-anak, belanja dapur untuk pemenuhan kebutuhan gizi keluarga dan biaya listrik serta kredit motor.3 Hal ini merujuk pada pengertian kemiskinan absolute yang menjelaskan bahwa kemiskinan dinilai berdasarkan ketidakmampuan seseorang atau sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, yakni pangan, air, energi, sandang, kesehatan, pendidikan dan perumahan atau hal tersebut dapat diukur berdasarkan jumlah rata-rata pendapatan perkapita. Masalahnya bahwa masyarakat desa Lunjuk tidak dapat menghitung dan memastikan jumlah atau hasil pendapatan mereka perbulan/perminggu.

Menurut tabel sumber mata pencaharian4, masyarakat desa Lunjuk pada umumnya lebih banyak memenuhi kebutuhan hidupnya atau mencari nafkah dengan menggantungkan pekerjaan pada alam dan upah. Sebagaian kecil masyarakat masih merasa memiliki kebun di dalam kawasan konsesi tersebut, artinya mereka masih merasa bahwa kebun tersebut merupakan hak milik mereka/keluarga. Sedangkan sebagaian besar lainnya masyarakat menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit miliki PT SIL karena telah menjual tanah sebagai alat produksinya kepada pihak perusahaan. Sehingga untuk masyarakat yang masih berkebun sendiri di dalam kawasan konsesi, mereka tidak hanya dalam tekanan perusahaan, tapi juga berhadapan langsung dengan mekanisme pasar. Hasil panen masyarakat bisa saja lebih besar, akan tetapi kemerosotan harga akan menurunkan nilai riil-nya. Jadi sejauh pasar menentukan nilai hasil panen masyarakat, maka sejauh itu pula ia rawan terhadap ketidakpastian dari mekanisme pasar. Sedangkan masyarakat yang menjadi buruh di perusahan perkebunan, bergantung pada upah dan wewenang perusahan. Hal inilah yang membuat masyarakat kesulitan menentukan jumlah pendapatan mereka selama ini yang selalu kurang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

***

Akibat konflik lahan ini, masyarakat desa Lunjuk terbagi menjadi dua kelompok. Pertama kelompok yang menentang PT SIL dan kedua kelompok yang di anggap mendukung keberadaan PT SIL. Kelompok yang pertama berkebun di dalam area konsesi PT SIL (around but not enclave). Kelompok yang kedua adalah sekelompok orang yang menjual lahannya, serta menjadi buruh di perkebunan PT SIL. Kelompok pertama menuntut klaim area PT SIL yang dulunya merupakan; a). lahan milik leluhur mereka, b). lahan yang mereka manfaatkan adalah lahan terlantar Eks HGU Way Sebayur yang pernah mereka manfaatkan sebagai kebun milik pribadi. Kelompok pertama masih melakukan aktifitas produktif di lahan yang saat ini menjadi wilayah konsesi SIL. Mulai dari menanam hingga memanen dan menjualnya ke pasar. Masyarakat yang berkebun di dalam sering mendapatkan gangguan dari PT SIL, misalnya kebun masyarakat pernah di panen secara sembunyi-sembunyi oleh buruh PT SIL. Kemudian PT SIL menarik pungutan liar untuk transportasi yang mengangkut barang-barang dari dalam kebun hingga terjadi chaos. Sedangkan masalah lainnya adalah ketidakstabilan yang bersumber dari pasar.

Kondisi masyarakat kelompok dua; terjadi proses transaksi. Pihak perusahaan menawarkan kepada masyarakat untuk membayar lahannya dan masyarakat di perkerjakan sebagai buruh tani di perusahaan. Modus transaksi ini biasa digunakan oleh pihak perusahan untuk mencegah terjadinya kekisruhan yang timbul dari pemberontakan masyarakat karena lahannya di rampas oleh perusahaan. Bagi masyarakat yang menjadi buruh di PT SIL, kondisi ini juga sama sekali tidak menguntungkan bagi mereka. Beberapa masyarakat secara tiba-tiba di tempatkan ke wilayah lain atau di PHK dengan alasan pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat tidak mencapai target yang telah ditentukan oleh perusahaan. Oleh karenanya, masyarakat yang tergolong dalam kelompok dua saat ini sudah tidak memiliki lagi pekerjaan sama sekali dan tergolong sebagai tunakisma. Mereka tidak lagi memiliki lahan milik pribadi atau lahan sewa untuk di garap, sedangkan sebagian lainnya merantau dan menjadi buruh di perusahan-perusahan tambang, mekanik atau alat-alat berat yang lokasi kerjanya jauh di luar kota dan provinsi.

Hal tersebut menunjukan watak perusahaan yang eksploitatif dan predatoris. Ia melakukan apa saja untuk menguasai wilayahnya. Watak ini ditunjukan sejak dimulainya era kolonialisme yang membangun banyak perusahan agribisnis dan ekstraktif di nusantara. Di tahap awal, kolonialisme dagang ini bertujuan untuk memetik buah dari pemerasan bangsa jajahan dan kolonialisme tahap akhir bertujuan untuk mengatur perilaku masyarakat jajahan. Sedangkan PT SIL saat ini terus melakukan pengusaan wilayah kelola masyarakat sekitar ± 300 ha dengan perlahan melakukan eksekusi wilayah. Eksekusi dilakukan dengan alasan masyarakat melakukan pencurian dan melakukan penyerobotan dilahan PT SIL. Disisi lain, perusahan juga terus melakukan pemutusan tenaga kerja buruh dengan sepihak. Tragedi ini tentu membuat kondisi perekonomian masyarakat semakin rapuh.

Hilangnya sumber-sumber daya subsistensi sekunder

Kemiskinan yang menimpa masyarakat desa Lunjuk menggambarkan persistensi dalam kehidupan sehari-hari antara ruang produksi dan reproduksi social. Di dalam ruang produksi maupun reproduksi, masyarakat selalu berhadapan dengan mekanisme pasar. Masyarakat yang masih melakukan aktifitas berkebun di area konsesi, menurutnya memiliki masalah dengan fluktuasi harga pasar. Di dalam upayanya masyarakat mengoptimalkan sumber-sumber daya produksinya, mereka memahami meskipun ada segi-segi yang sangat merugikan seperti paceklik, namun di dalam ekonomi subsistensi petani kecil, mereka mengetahui bahwa apabila hasil panen cukup, maka persediaan pangan akan terjamin. Akan tetapi, apabila hasil panen dinilai menurut harga-harga yang berlaku untuk keperluan biaya pajak dan kredit, maka jaminan seperti diatas tidak akan ada lagi.

Sedangkan di ranah reproduksi, pada umumnya masyarakat berhubungan langsung dengan ‘kegiatan-kegiatan cadangan’; seperti menjadi buruh di kebun karet atau sawit miliki orang lain.5 Membuat kerajinan dari limbah plastik, membuka warung manisan, mengambil jatah catering kecil-kecilan, memelihara ayam dan bebek, itu semua merupakan sumber jaminan substensi yang dapat menyambung hidup keluarga petani apabila hasil panen tidak mencukupi atau ketika masyarakat malah terjebak pada fluktuasi harga pasar.

Di samping itu, masyarakat juga tergerus dengan agresi pasar yang menawarkan jasa kredit untuk pembelian barang-barang pabrik yang mewah kepada masyarakat. Mulai dari kebutuhan sandang seperti baju, hingga barang-barang mewah dapur dan ruang keluarga seperti tuperware, hakashima, karpet, audio speaker, televisi, magic jar, hingga motor. Sasaran dari agresi ini jelas adalah ibu-ibu rumah tangga. Pasar yang di ciptakan dari kelentingan tragedy ini telah melihat perubahan pola kehidupan masyarakat yang dulu memiliki alat produksi, kini menjadi masyarakat yang konsumtif. Selain itu, dalam mengupayakan kegiatan cadangannya, kelompok perempuan ini juga di kalahkan dengan proyek-proyek industri padat karya yang hanya membutuhkan tenaga kerja pria. Misalnya proyek pembangunan infrastruktur desa berupa jalan atau jembatan. Dengan begini maka perempuan sudah tidak lagi memiliki jalan keluar dari silang sengkarut tragedi ini.

Dulu sebelum bentang alam masyarakat berubah menjadi ladang bagi industri perkebunan, relasi masayarakat desa Lunjuk terhadap alam memiliki intensitas yang tinggi. Ini terbukti dari kanal-kanal yang saat ini terdapat di dalam kawasan SIL yang digunakan untuk memisahkan sawah-sawah masyarakat dengan tanaman perkebunan tersebut. Serta banyaknya pohon-pohon kelapa di halaman depan setiap rumah masyarakat desa Lunjuk yang dulu dimanfaatkan sebagai minyak untuk sayur dan sebagai obat untuk berbagai macam penyakit. Ada juga tanaman tua yang merupakan khas dari desa Lunjuk, yakni pohon Kemang. Menurut ketua Forum Petani Bengkulu, (Osian Pakpahan, 54 Th), pohon Kemang ini merupakan identitas wilayah desa Lunjuk. Buah dari pohon Kemang ini biasanya di gunakan sebagai syarat dalam melakukan ritual adat, seperti membuka lahan di hutan atau sawah. Namun sekarang, pohon Kemang tersebut hampir tidak bisa ditemukan lagi di desa, menurutnya ini juga merupakan salah satu dampak mengangkangnya perkebunan raksasa tersebut di desa mereka. Masyarakat sekarang lahir sebagai generasi bingung yang di paksa beradaptasi dengan kondisi alam yang di ciptakan oleh kelompok kapitalis yang membabi buta menyerobot lahan masyarakat.

Sebelum era kolonial, masyarakat memanfaatkan lahannya sebagai sawah tada hujan atau sawah darat dan tanaman campuran seperti karet, kelapa dan sayur-mayur lainnya. Kemudian, pola pertanian masyarakat berubah setelah Belanda masuk dan menjajah masyarakat setempat. Tanaman masyarakat di ratakan menjadi ladang perkebunan besar ketika Belanda mulai membuka perkebunan cengkeh, karet, kopi dan lada secara massive di Bengkulu dan melarang masyarakat membuka ladang baru diluar komoditi dan lahan yang di kuasai oleh Belanda. Di tambah pula dengan kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh rezim orde baru yang membuka keran bagi para investor domestik dan asing untuk menanam saham di Indonesia melalui UU No. 01 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing.

Perubahan ekonomi dibawah kolonialisme secara mantap mengurangi ruang lingkup katup-katup pengaman subsistensi. Dengan menyempitnya pilihan-pilihan itu, ekonomi masyarakat menjadi jauh lebih rapuh dan berdampak penting bagi ekonomi rumah tangga. Pertama, keadaan tersebut mendorong masyarakat semakin jauh dari produksi untuk keperluan sendiri dan semakin jauh ke dalam pasar. Beras dan sayur tidak lagi dapat di ambil begitu saja, akan tetapi harus dibeli. Untuk memenuhi kebutuhan itu, yang dibutuhkan hanya uang yang diperoleh dengan jalan menjual jasa tenaga kerja atau melakukan pekerjaan sampingan. Sementara semakin banyak dari produksi dan konsumsinya harus melalui system harga, masyarakat bisa saja tidak menjadi lebih miskin, tetapi lebih rawan terhadap fluktuasi harga yang berada diluar kekuasaanya. Kedua, mundurnya usaha-usaha kerajinan tangan yang padat karya, telah meniadakan banyak kemungkinan bagi masyarakat desa untuk mencari nafkahnya sendiri. Perkembangannya semain menjurus ke keadaan dimana satu-satunya jalan untuk dapat terus hidup di dalam lingkungan desa adalah dengan menggantungkan nasib selama-lamanya pada mereka yang menyewa tenaga kerja. Ketiga jalan keluar yang masih memungkinkan masyarakat untuk tetap hidup adalah dengan bermigrasi, melawan atau menggantungkan diri pada upah sebagai buruh.

Kepustakaan

James Scoot (1983) Moral Ekonomi Petani, LP3ES

Ruth I Rahayu, (2017) Ketika Pengeluaran Lebih Besar Dari Pada Pengeluaran, 20 Juli 2017 dari https://indoprogress.com/2017/07/ketika-pengeluaran-selalu-lebih-besar-ketimbang-penghasilan/

Tania Muray Li (2016) The Will to Improve, Marjin Kiri

Erwin Basrin (2017) Mendedah Hidden Hunger pada Masyarakat Sekitar Hutan dibalik Ketimpangan Penguasaan dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Unpublished

Karl J. Pelzer (1985) Toean Keboen dan Petani; Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863 – 1947, Sinar Harapan

1 Wawancara dengan Bapak Sali (38 tahun) Desa Baru Manis Rejang Lebong, Bengkulu Sabtu 08.56
2 Wawancara dengan Maimunah (82 tahun), Bengkulu, Sabtu 11.05
3 Masyarakat menganggap motor sebagai kebutuhan primer, karena motor merupakan satu-satunya alat transportasi yang memudahkan masyarakat untuk pergi ke kebun atau berhubungan langsung dengan kegiatannya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
4 Hasil FGD Kepemimpinan Perempuan di Desa Lunjuk tanggal 30-31 Juli 2017

5 Ndodos untuk kebun sawit dan nyadap untuk kebun karet