Menurut Budi Darma dalam Warisan (1996), “Feminism mengarahkan fokusnya pada penindasan laki-laki terhadap perempuan. Pengertian laki-laki tidak selamanya individu. Laki-laki berarti tradisi atau lebih luas lagi adalah kebudayaan, yang telah begitu lama didominasi oleh laki-laki. Karena itu feminisme menggempur “adat istiadat” dan hukum yang tidak adil membatasi kebebasan dan kemajuan perempuan. Pencipta adat dan hukum itu tidak lain adalah laki-laki. Karena itu feminisme juga berjuang untuk mengubah peran perempuan, agar perempuan juga ikut dalam menentukan adat istiadat dan hukum.

Institusi adat dengan berbagai mekanisme hukumnya adalah suatu realitas yang paling dekat dengan rasa keadilan masyarakat. Masyarakat memiliki kapasitas untuk menciptakan aturan hukumnya sendiri dan mengerti konsep keadilan seperti apa yang paling dibutuhkannya. Mereka juga memiliki pengertian tentang keadilan hukum dan keadilan socialnya. Namun tak jarang juga bahwa baik institusi adat maupun lembaga penyelesaian sengketa dalam adat justru mengabaikan hak-hak perempuan yang merupakan salah satu elemen pembentuk hukum tersebut. System kekerabatan yang patriaki dalam sistem social masyarakat akan mempengaruhi hasil keputusan sengketa, sehingga terjadi resistensi perempuan terhadap patriaki.

Dalam situasi “netralitas hukum” mereduksi posisi perempuan sebagai pihak yang bersengketa. Sehingga dari perspektif gender, hukum tersebut dilihat sebagai produk kompromi. Dan, biasanya perempuan selalu berada di pihak yang dikalahkan. Kondisi seperti ini jika mengacu pada (Irianto, 2016) bahwa di banyak sistem hukum, bagaimanapun, tidak akan ada netralitas hukum selama posisi perempuan inferior terhadap laki-laki, terutama banyak dijumpai dalam sistem hokum yang mengatas namakan ajaran agama atau adat. Dan pada umumnya, inisiatif perempuan untuk menggunakan proses penyelesaian sengketa atau mekanisme alternative yakni peradilan adat dalam rangka mendapatkan akses kepada keadilan, juga sering tidak didukung oleh masyarakat luas yang secara kultural masih bersifat patriakis (Tong, 1998; Moore, 1998).

Permasalahannya adalah, apakah kemudian pilihan perempuan terhadap mekanisme alternative ini dapat mengakomodir keadilan bagi perempuan dalam menyelesaikan sengketa? Ketiadaan kekuasaan perempuan dalam relasi diantara dirinya dengan fungsionaris adat, tokoh dalam struktur kekerabatan, menghalangi aksesnya kepada keadilan yang subtantif, yakni keadilan yang betul-betul dinikmati secara nyata, bukan hanya ditulis dalam peraturan hukum secara formal.

Tulisan ini menggunakan perpektif feminis atau perempuan dalam melihat praktek-praktek peradilan adat sekaligus sebagai kritik terhadap proses peradilan adat Rejang yang mengkomparasikan hokum adat Rejang yang asli (genuine) di Kabupaten Lebong dan hukum adat Rejang yang sudah terkodifikasi dalam bentuk Peraturan Daerah di Kabupaten Rejang Lebong. Kritik ini ini dilakukan karena penulis melihat adanya jurang yang lebar antara hukum di ranah ideal dengan kenyataan dilapangan. Salah satunya banyak oknum hakim adat yang secara tidak sadar bertindak dengan dasar ide yang stereotipikal terkait posisi dan tingkah laku perempuan dalam norma-norma yang maskulin.
Sanksi/Denda Adat terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual.

Dalam kontek sosiologis, hukum adalah salah satu elemen yang mampu merekontruksi sistem social. Untuk kasus-kasus kekerasaan seksual yang dialami oleh perempuan, dapat secara gamblang dilacak dalam konten dan pratik-praktik hukum serta peradilan adat. Sehingga, praktik hokum adat tersebut mempersepsikan perempuan dan laki-laki bukan hanya dari konteks jenis kelaminnya, melainkan juga aspek gender dalam mekanisme penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Untuk mengetahui tindakan hukum yang akan diambil dalam ancaman kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan, pelacakan dilakukan melalui hukum adat Rejang yang murni yakni Punen Pegong Pakei di Kabupaten Lebong dengan hukum adat Rejang yang telah terkodifikasi yakni Lepeak Ukum Adat Jang di Kabupaten Rejang Lebong.

Menurut Salim (65 Th), Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa konten yang terdapat dalam hukum adat Rejang yang melindungi kaum perempuan dari tindak kejahatan, terutama kejahatan seksual. Misalnya dalam prinsip dasar hukum adat Rejang atau yang disebut dengan Punen Pegong Pakei dikenal istilah Cepalo. Cepalo adalah delik atau pelanggaran yang mendapatkan hukuman/ganjaran dalam komunitas adat, misalnya;

  • Pertama, Cepalo Matai atau Cepalo Mata adalah melihat atau kerlingan mata seseorang kepada orang lain yang melanggar adat, karena orang yang dilihat tidak senang dan apa yang dilihat adalah lain yang disampaikan. Delik ini masuk dalam unsur pelecehan seksual dan kerap terjadi terhadap perempuan di pedesaan. Mulanya hal ini memang sulit disadari, namun masyarakat hukum adat Rejang telah memiliki kognisi antisipasi terhadap delik yang lebih besar akibat delik ini.
  • Kedua, Cepalo Bayang Awok adalah ketika bayangan tubuh laki-laki mengenai bayang tubuh perempuan, apalagi perempuan tersebut masih lajang statusnya dan perempuan tersebut tidak senang dengan hal tersebut, maka delik ini juga akan dikenakan sanksi adat.
  • Ketiga, Cepalo Tangen, atau Cepalo Tangan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan tangan baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Istilah dalam adat Rejang untuk delik ini adalah “tangan mencincang, bahu mengusung”. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk atau modus pelecehan seksual yang sering terjadi bisa terhadap kelompok perempuan dari golongan apapun, tua, muda bahkan anak-anak perempuan.
  • Keempat, Cepalo Yung, atau Hidung adalah setiap mencium suatu barang dan membayangkan sesuatu, yang ditujukan kepada seseorang, kemudian orang yang kita lihat itu tidak senang.

Dan dalam Punen Pegong Pakei ini tidak secara eksplisit sanksi atas delik tersebut disebutkan atau ditegaskan. Karena seperti yang diterangkan sebelumnya bahwa Punen Pegong Pakei ini memiliki prinsip pencegahan hukum untuk mengantisipasi ketidakadilan yang dimaksud.

Sedangkan dalam buku Lepeak Hukum Adat Jang Kabupaten Rejang Lebong juga terdapat beberapa poin yang secara implisit lebih membahas delik dan sanksi bagi kasus-kasus kekerasan serta ancaman kejahatan yang menimpa perempuan adat Rejang. Misalnya, terdapat poin tentang pemerkosaan, “…memperkosa ini namanya memaksa sesuatu, kehendak terhadap perempuan baik gadis maupun sudah janda yang tidak senonoh (diluar tata susila). Sanksi : uang perkara buah sirih, uang Rajo, 1 ekor kambing + punjung mentah, ayam biring, denda Kuteui 4 Ria (pengapes), tepung setawar…”. Dan terdapat delik yang sama terkait pemerkosaan yakni pemerkosaan yang terjadi di dalam keluarga.

Kemudian terdapat juga delik berzina yakni satu, pelanggaran hukum Utang Takep; takep lintang, takep lenyoa, si anjak, si kulo ucuk. Artinya adalah berzina didalam keluarga sendiri, bapak, ibu, anak bujang, denda uang perkara, uang rajo, uang pengapes kuteui, 1 ekor kambing + punjung mentah. Denda: 40 Ria s/d 80 Ria. Alat reneak-renei cukup, gemuk, mis, pelgeak, pe’eak, lidei, niyoa + tepung setawar = mencuci dusun.
Khusus untuk kasus berzina ini banyak jenisnya, yaitu berzina di dusun orang yang dalam bahasa Rejang diistilahkan dengan “kerbau berkubang ditengah dusun”. Lalu, berzina sampai melahirkan anak atau zina menga’em. Serta perempuan yang hamil karena zina yang dilakukan lebih dari satu lelaki. Untuk semua delik zina ini dendanya rata-rata sama, yakni 1 ekor kambing dan cuci kampong.

Delik atau pelanggaran yang terjadi dalam acara pernikahan yang merugikan pihak perempuan seperti keributan, batalnya pernikahan dari satu pihak keluarga, penipuan dalam hal rasan, juga diberikan denda berupa; sirih/iben lengkap, denda Kuteui 1 s/d 4 Ria dan Tepung Tawar. Sanksi atau denda adat di kedua hukum adat ini tentu sangat berbeda, karena Lepeak Hukum Adat Jang ini sudah dikodifikasikan dalam bentuk produk hukum daerah, maka denda adatnya ditetapkan secara jelas dan tegas serta tidak lagi bersifat kompromis tapi materil dan berpedoman dari Undang-Undang Simbur Cahaya serta karangan Pesirah A Sani dan M. Hoesein. Sedangkan di dalam Punen Pegong Pakei, sanksi atau denda tidak memiliki ketetapan sebagaimana Lepeak Hukum Adat Jang, dia muncul berdasarkan kesepakatan, kebiasaan yang ada di masing-masing wilayah serta kondisi pihak yang bersengketa.

Teer Har dalam teori Beslissingen-nya (ajaran keputusan), bahwa suatu peraturan mengenai tingkah laku manusia akan bersifat hukum manakala diputuskan dan dipertahankan oleh petugas hukum. Karena manusia itu melakukan sebuah tindakan yang dianggap salah. Maka dibuatlah hukuman bagi orang yang melakukan tindakan tersebut, dan muncullah sebuah delik (pelanggaran) adat yang adalah bersamaan dengan lahirnya hukum adat. Dan bahwa sebenarnya didalam hukum adat itu yang terpenting adalah jangan pernah membuat sanksi atau denda yang belum ada deliknya.

Selain itu, karna hukum adat Rejang yang murni ini memang tidak pernah memiliki aturan yang secara tertulis menjadi panutan atau pedoman dalam memutuskan perkara, maka bentuk denda seperti cuci kampung atau dinikahkan (bagi kasus kekerasan seksual) bisa saja berlaku, tapi tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa dan keluarganya. Namun, setiap perkara yang telah diselesaikan dalam proses peradilan adat oleh Kuteui ini tidak boleh kemudian menimbulkan masalah baru atau masalah turunan, sengketa harus selesai secara damai dalam peradilan adat. Itulah kenapa kebanyakan proses peradilan adat ini memerlukan waktu cukup panjang yakni paling lama adalah 3 bulan.

Dan dalam hukum adat Rejang tersebut memang tidak mengenal sanksi yang bersifat materil, berbeda dengan Hukum Adat Rejang di Kabupaten Rejang Lebong tersebut yang secara gamblang menyebutkan jumlah materil yang harus dibayar sebagai bentuk denda. Masyarakat hukum adat Rejang di Desa Tanjung Bajok ini menyatakan bahwa sebenarnya hukuman terberat bagi para pelaku kejahatan adalah dengan ritual tepung tawar. Tepung Tawar ini merupakan salah satu bentuk ritual adat untuk memulihkan kembali kondisi kekacauan yang terjadi di masyarakat. Bentuk dan istilahnya macam-macam untuk setiap daerah Rejang, ada yang menyebutnya Tepung Setabea ada juga Serawo.

Menurut Kepala Desa Tanjung Bajok, hal yang paling ia takuti oleh pelaku yang bersengketa adalah kena denda Serawo ini. Biasanya setiap penyelesaian sengketa dalam peradilan adat ia ditutup dengan ritual masak Serawo, dan setiap masyarakat di desa mendapatkan bagian untuk makan Serawo tersebut. Serawo ini memiliki dampak yang sangat serius bagi pelaku juga masyarakat. Ia merupakan denda sosial dan bagian dari cara masyarakat untuk mengetahui dan menerima setiap keputusan peradilan adat.

Selain itu juga masyarakat hukum adat Rejang di Lebong ini mengenal istilah Pecuak Bekaping Sumbing Betitip. Yakni tindakan pemulihan untuk mengharmoniskan dan menyeimbangkan kondisi lingkungan masyarakat sampai pada posisi semula dengan cara mengumpulkan seluruh masyarakat dan memberikan informasi yang tepat terhadap perkara. Disinilah sebenarnya peluang proses pemulihan hak-hak perempuan korban kekerasan seksual. Masyarakat secara umum menerima kembali korban dan bahkan turut menjaganya dari ingatan traumatis terhadap pelaku. Menurut Bambang (46 Th) Desa Tanjung Bajok, kebanyak kasus kekerasan terhadap perempuan, pelaku yang setelah mendapatkan denda Serawo akhirnya memilih untuk meninggalkan desa, karena malu.
Berbeda dengan beberapa pasal yang terkandung dalam Lepeak Ukum Adat Jang, yang sangat fokus pada hukuman dan jumlah denda terhadap pelaku ketimbang pemulihan untuk korban. Di dalam Lepeak Ukum Adat Jang sendiri tidak terdapat pasal yang mengandung unsur-unsur pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan seksual. Pasal-pasal terkait kasus kekerasan yang dialami perempuan sebaliknya malah membuat korban untuk kedua kalinya menjadi korban lagi didalam lingkungan masyarakat.

Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa sebenarnya hukum adat menempatkan perempuan pada posisi yang setara di mata hukum adat Rejang. Namun ketimpangan kemudian tampak manakala tujuan dari hukum dan peradilan adat Rejang ini kontradiktif dengan sanksi atau adat yang diputuskan untuk pihak-pihak yang bersengketa, khususnya di dalam Lepeak Ukum Adat Jang tersebut. Hukum adat tidak mampu benar-benar memulihkan kondisi sosial yang sebelumnya kacau, menjadi harmonis kembali khususnya untuk perempuan korban kekerasan seksual.

Selain pemulihan medis dan psikis, kesatuan hukum yang hidup dalam masyarakat harus mendorong reintegrasi sosial untuk memulihkan kondisi sosial korban kekerasan. Denda seperti cuci kampong, menikah dengan pelaku dan potong kambing sebenarnya tidak sama sekali membantu proses pemulihan korban. Karena pada dasarnya butuh waktu yang panjang untuk memulihkan kondisi traumatis tersebut. Masyarakat harus menerima, menghargai dan mendukung kehadiran kembali korban ke lingkungan sosialnya untuk menjamin perlindungan korban dari pelabelan negative atau stereotip. Dan hal ini terdapat dalam hukum adat Rejang yang belum termodifikasikan dalam bentuk-bentuk hukum positif di Kabupaten Lebong.

*Tulisan ini merupakan potongan dari makalah utuh yang disusun oleh penulis dalam acara Konferensi Pengetahuan Perempuan III Komnas Perlindungan Perempuan dan Anak, Oktober 2017 Fakultas Hukum Universitas Indonesia