Nadia nama panggilannya.
Anak manis dengan potongan rambut Dora yang jatuh itu pertama kali kukenali saat menginap di rumah Laty Harjo untuk urusan DFS l di Desa Merpas. Saat itu, di perkenalan pertama menuju Maghrib, dia bersama beberapa orang anak tetangga menyambangi rumah Laty dan bermain bersama Ku. Kami mengunyah habis Snack yang ku beli untuk peneman perjalanan dari kota.

Di hari berikutnya, dia juga menemani kami untuk DFS I di salah satu kedai Laguna. Hari itu selain berayun bersama, foto bersama, dia juga lincah berlari di bibir pantai. Kentara sekali bahwa meski terbilang anak pantai, dia hampir jarang untuk dikatakan bermain atau sekedar membiarkan angin pantai menerbangkan rambut jatuhnya.

Saat pulang ke kota, ku pikir perpisahan kami akan biasa saja. Setiap mampir kedesa dampingan, umumnya kami pulang dan pergi dengan membawa pertalian dengan saudara baru, atau saudara lama yang makin mengerat.
Namun ternyata, kali ini kasusnya sedikit berbeda. Nadia, yang sejak awal memang cukup menaruh perhatian dengan Reinaldi di ceritakan oleh Lati sempat terkena demam panas sambil menyebut nama lelaki bertubuh jangkung itu.

Sosok Aldi yang di duga mirip dengan saudara tua anak itu di duga membuatnya menjadi meriang. Tak patah aku berdoa dan sesekali mengingatkan Aldi bahwa Nadia merindukan sosoknya.
Syukurlah, hari ini kami berjumpa lagi. Ah, tepatnya Nadia berkesempatan melepas rindunya dengan Aldi. Anak gadis itu berlari lincah di gandeng tangan mungilnya oleh Mas Arul dari rumahnya yang terletak diseberang jalan tepat depan rumah Lati.

Saat sampai, dia masih bersikap kaku sedikit malu-malu saat aku sodorkan untuk mendekat dengan Aldi.
Saat kami hendak melanjutkan perjalanan berkeliling kampung, Lati yang hoby sekali membuatnya misuh, malah membuat anak itu menghiba dengan mata berkaca-kaca. Kabar bahwa kami akan pergi untuk kembali ke kota tak urung membuat dia terduduk dengan mata memelas haru dan sedih yang sulit terbendung. Bibirnya memang tak banyak bicara. Namun sungguh, siapapun yang mendalami kornea matanya tentu tahu, bahwa manik itu belum siap melepas terlalu cepat.

Kami putuskan sore itu mengajak nya mengendarai mobil hitam yang legend milik Akar. Dia aktif meliuk di atas pangkuanku. Sesampainya di lokasi, ku biarkan dia dekat dengan Aldi. Anak itu bahkan berdiri dan melangkah cepat saat di ajak mencari kelapa muda yang tumbuh menjulang di bibir pantai.
Dia bahagia, aku yakin betul itu.

Di ujung senja, bahkan masih sempat semakin rapat berkata-kata dengan Aldi. Aldi bilang dia anak yang terbilang aktif. Barangkali maksudnya aktif berbicara.
Sorenya, aku dan Ayuk Anika menyempatkan diri melepas penat dengan memeluk ombak. Anak itu kembali ikut. Cahaya matanya berpendar girang tiap kali tubuhnya ku peluk manakala ombak menghempas keras pada tubuh kami. Dia tertawa, sesekali mengambil kerang manis untuk diberikan padaku.
Sungguh-sungguh aku berharap, semoga hari jni menjadi hari yang bahagia baginya.

Nadia memang bukan anak pertama yang kutemui setiap kali bersinggah di desa dampingan. Namun bagiku, hal paling istimewa dari Nadia adalah perihal matanya yang selalu jujur. Jujur tiap manakali ada keinginan yang dia harapkan pada pertemuan dengan orang yang baginya berharga dalam episode ruang waktu hidupnya.
Semoga mata dan lengkung sabit di bibirmu selalu terjaga dik. Bertumbuhlah, dan semoga waktu yang kamu lewati dapat mendewasakan mu menjadi puan yang bijak.

Kembali tentang Nadia atau sering ku panggil Yaya.

Hari ini, tepat hari terakhir kami bermalam di Merpas. Banyak warga baik dan ramah yang meminta kami untuk menambah barang sehari-dua hari untuk menginjakkan kaki di bibir Samudra yang ombak nya sedang besar ini.
Namun, sayang sekali permintaan menggiurkan itu tidak lah mungkin serta-merta kami iyakan. Kota dan segala urusan lainnya perlu membawa tubuh kami pulang ke tempat semula.

Namun aku, Ayuk Anika dan Aldi menyempatkan diri bertandang kembali kerumah Laty. Dijalanan, saat aku mengendarai motor pak kades, di kejauhan aku sudah melihat tubuh mungil Yaya bermain sendirian di teras warung rumahnya. Aku tidak mengambil keputusan apapun untuk menjemputnya. Namun saat menyantap mangga muda, sesekali aku melambaikan tanganku padanya. Anak itu mengangkat kedua tangannya dengan wajah riang bak mengirim salam jauh pada pesawat yang lalu lalang diatas kepala. Kami hanya tertawa renyah melihat ulah Yaya dari kejauhan, namun anak itu tampaknya tak sabar untuk menuju kami dan akhirnya (aku lupa dengan siapa dia berhasil menyebrang jalan lintas) sampai ke rumah Laty.

Bersama-sama kami menyantap mangga muda. Yaya seperti biasa tidak terlalu jelas saat bicara. Namun, kalau dia bicara, kadang ingin sekali aku mencubit manja bagian pipi nya yang punya lesung pipi mirip Ayuk Anika itu saat sedang melafalkan bahasa khas suku Kaur. Berkali-kali aku melihat mata nya berkaca-kaca. Wajahnya terang mengekspresikan rasa kecut dari mangga yang dia gigit dengan gigi mungilnya. Aku sudah menyuruh nya untuk berhenti namun anak itu justru sok tegar tetap lanjut makan. Dia bangun dan duduk di tangga pinggir teras.

“Ya, jangan dibuang ya mangganya. Kalau gak habis, kembalikan saja sini” ucapku sambil memperhatikan gelagat dia yang kucurigai hendak membuang mangga muda tersebut. Dia akhirnya tak melakukan apa-apa selain hanya duduk, lalu tak lama kembali masuk ke dalam rumah.

Tak lama kemudian kembali masuk dan akhirnya meletakkan mangga yang tak mampu dia makan setelah sedikit kami paksakan. Bukan apa-apa, anak ini kalau tidak di paksa, entah kenapa bisa-bisanya sok dewasa bisa menghabiskan apa yang tak mungkin dia bisa makan.

Tak lama setelah itu, dia mendekat ke Aldi. Kali ini jauh lebih akrab. Tak ada keraguan dan sikap malu seperti sebelumnya. Entah bagaimana ceritanya, dia terlihat lelap dipangkuan Aldi. Anak itu tenang sekali dalam tidurnya. Ayuk Anika yang kasihan melihat posisi tidur tersebut menyarankan untuk membuatnya lebih nyaman. Ibu Laty yang datang dengan membawa sekarung jambu air untuk kami pun juga menyarankan posisi nyaman untuk anak yang bagaikan sudah bak kadung terlelap mimpi indah dalam tidurnya. Aku justru sambil memaksa turut meminta Aldi untuk membuat Yaya lebih nyaman dengan tetap tidur di pangkuannya. Berkali-kali entah mengapa, seolah ada perasaan sedih saja bila sipemilik wajah mungil dan gemas ini bangun dan melihat pergi kami tanpa puas tidur dipangkuan lelaki yang membuatnya bahagia itu.

Entah berapa lama waktu berlalu, kami akhirnya memutuskan untuk pulang setelah hujan berhenti mengguyur bangunan dan tumbuhan di bumi nelayan Samudra Ujung Lancang ini. Yaya ternyata sudah separuh sadar mengekor kami duduk di kursi teras tempat keluarga Laty biasa menyambut tamu. Aku memeluk tubuh mungil yang ternyata sedikit mengompol itu. Pipi tembem dengan bentuk wajah manis bak gadis Filiphin itu ku cubit pelan sambil ku ucap perlahan kalimat perpisahan. Manik matanya melotot sebentar sampai akhirnya sayu sebab menyadari akan ada yang hilang selain tidur lelap yang telah dia lalui. Pelan-pelan ada rembesan kecil air mata di sudut matanya. Yah, anak itu tak lagi mampu mempertahankan benteng kekuatan untuk terlihat baik-baik saja yang biasa dia paksa tampilkan ke kami. Senyum nya benar-benar memudar. Tak ada sepatah katapun yang lahir dari bibir mungil yang selalu membuat aku tersenyum mendengar bahasa Kaur yang dengan cepat dia biasa suarakan.

Ayuk Anika juga memeluk anak itu sambil mengelus kepalanya penuh kasih. Hingga yang Terakhir, Aldi menyampaikan salam perpisahan padanya. Anak itu benar-benar terpaku diam. Tak hanya mata berkaca-kaca dengan embun yang air nya pelan aku hapus. Dia memilih bak menjadi patung yang bisu dan tuli. Tak sedikitpun ia hiraukan Aldi yang mengulurkan tangan padanya. Anak itu, memaksa terlihat baik-baik saja. Sungguh, siapapun yang melihat mata milik nya itu pasti merasakan betapa dalam duka perpisahan yang begitu sengaja dia sembunyikan.

Aldi bangkit mengambil kue dari mobil, tubuh Yaya yang tadinya memutar membelakangi kami itu pelan-pelan akhirnya menghadap Aldi. Bungkus roti itu berat sekali dia terima. Karena tentu, setergila-gila apapun anak-anak pada makanan, bagi Yaya dia hanya ingin tetap tak menemukan kepergian selepas Bangun dari tidur nyenyak yang singkatnya.

Aku tak bisa terlalu lama melihat semua itu. Kupacu motor merah membelah jalanan Merpas dengan angin sejuk selepas guyuran hujan tanpa menoleh kebelakang.

Sesak mengingat Yaya yang sok dewasa mengaduk pikiran ku sampai saat ini. Mengapa anak 5 tahun tersebut bisa sehebat itu menyembunyikan perasaan sedihnya? Mengapa ia tak tantrum seperti anak seusianya? Mengapa dia memilih terlihat tenang walau akhirnya kalah juga dengan air mata?

Semua pertanyaan itu jelas tidak akan pernah ku pertanyakan meski kelak (dan kuharap dapat tersemogakan) berjumpa dengan nya kala usianya mengerti apa itu manusia dan kemanusiaan.

Sungguh Yaya mengajar kan aku banyak hal pun membawa ku mengingat banyak hal. Dan yang paling mengetuk ulu hati ialah perihal betapa didunia ini akan ada perasaan yang memang akan kita hadapi dan harus kita kelola.

Ketenangan milik Yaya adalah barang mewah yang belum tentu semua orang bisa miliki. Untuk sebagian orang (yg membaca utuh tulisan ku ini) mungkin akan berkata bahwa aku teramat hiperbola dalam menulis tentang sosok Nadia. Terkesan menjual kesedihan dan romantisme untuk mengikat perhatian.

Tapi, sungguh…
Aku ingin dunia tahu bahwa ada sosok Nadia di semesta bernama bumi ini. Ada anak gadis usia 5 tahun yang bisa terlihat dewasa di tengah usianya yang bahkan belum melewati masa puber. Tak banyak mampu ku tulis lagi selain pengharapan semoga banyak orang yang berbesar hati menitipkan rapalan doa pada yang Esa agar anak itu bisa mendewasa dan mengenal kebijaksanaan dan kebahagiaan seutuhnya. Sampai jumpa lagi sayang “❤️”

Catatan Merpas, 14-15 Agustus 2021