Konflik pertanahan di pedesaan umumnya bersumber dari perebutan tanah antara perkebunan (baik negara maupun swasta) dengan rakyat petani. Konflik perebutan tanah yang terjadi antara Petani yang tergabung dalam Serikat Petani Pejuang Bumi Sejahtera (SPBBS) dengan PT Bumi Bina sejahtera (BBS) di Malin Deman Kabupaten Mukomuko adalah manifestasi dari konflik perebutan tanah. Akumulasi persoalan agraria tersebut, sebagaimana yang terjadi di Malin Deman menjadi indikasi bahwa telah terjadi proses kemampatan pembangunan. Komunikasi dialogis antar elemen struktural tersumbat seiring dengan semakin terkikisnya tatanan tradisional akibat modernisasi. Sistem sosio-kultural pedesaan kemudian masuk ke dalam setting kapitalisme yang tidak responsif terhadap kepentingan petani.

 

Masyarakat petani di Malin Deman berhubungan dengan lingkungan yang lebih luas terkait dengan struktur relasi kekuasaan di sektor pertanian. Ini berarti bahwa mereka hidup di dua lingkungan yang berbeda, yakni lingkungan prakapitalis dan dalam struktur kapitalisme. Pada kondisinya yang relatif tertutup mereka bersifat spesifik, subsisten, tradisional, menggunakan tenaga kerja rumah tangga, memiliki perangkat sosio-budaya yang khas, memiliki pola, referensi dan logika hidup sendiri. Sedangkan dalam kondisinya yang terbuka lebih bersifat utilitarian dan memiliki kapasitas pilihan rasional. Asumsi teori formal menyatakan bahwa penetrasi kapitalisme akan mengikis ciri-ciri tradisional masyarakat petani dan akan semakin berkembang ciri-cirinya ke arah sistem kapitalistik.

 

Jika dikaitkan antara konsep petani dengan gerakan sosial, dalam hal ini gerakan perebutan lahan, maka maknanya akan berkembang beragam. Scoping study yang dilakukan Akar Foundation di Malin Deman menunjuk bahwa petani penggarap pedesaan (rural cultivators) di lahan PT BBS memiliki kontrol atas tanah yang digarap, tersubordinasi secara sosial terhadap kelas dominan pedesaan, dan secara khusus dicirikan oleh praktik kultural komunitas yang berbeda sekaligus menunjukkan sebagai mana dalam tradisi Marxian memfokuskan pada kombinasi pemilikan tanah dan subordinasi sosial. Posisi petani berada dalam struktur dominasi proses produksi pertanian, mengalami pemerasan dan penghisapan oleh institusi supra desa.

 

Pada titik ini, konsep petani dalam hubungannya dengan analisis gerakan sosial dapat dilihat dari beberapa ciri, bahwa petani di Malin Deman adalah petani penggarap pedesaan, komunitas yang memiliki kultur berbeda, berada dalam posisi tersubordinasi, dan memiliki kontrol atau penguasaan atas tanah pertanian yang lemah. Sebelum terbentuknya Serikat Petani Pejuang Bumi Sejahtera (SPBBS) gerakan yang dibangun masih mengunakan model gerakan perlawanan kaum petani sebagai model  perlawanan “Gaya Asia”, dimana gerakan petani miskin yang lemah dengan organisasi yang anonim, bersifat nonformal dengan bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi tetapi dilakukan setiap hari dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian.

 

Gerakan yang dibangun masih menekankan sifat yang lokal, parokial, atau memiliki kepentingan sektoral yang kuat, sebagai lawan dari yang berwatak nasional, universalistik dan memiliki kepentingan kelas. Memfokuskan perhatiannya pada “kepentingan mikro,” partisipasi lokal dan proyek-proyek komunitas petani dan “identitas politik” mereka.

 

Catatan penting yang di catat oleh Akar Foundation dari kondisi ini adalah melakukan transformasi gerakan agraria, yang harus difahami sebagai suatu institusi untuk selalu berusaha bagaimana sistem agraria yang diharapkan dapat terwujud. Transformasi ini mengacu pada tiga kondisi utama yang mendukung dilancarkannya aksi-aksi kolektif dalam gerakan petani, yaitu struktur peluang politik, struktur mobilisasi sumberdaya, dan pembingkaian kolektif.

 

Pasca terbentuknya SPBBS, gerakan-gerakan yang dilakukan perlahan-lahan bertransformasi akibat terjadinya perubahan hubungan antara lapisan petani (kaya dan miskin), munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukan perlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural serta terbangunnya gerakan perlawanan untuk mengakhiri pertentangan secara kolektif.

 

Gerakan sosial yang terjadi pada masyarakat yang tergabung di dalam SPBBS sedang mengalami perubahan, transisional menuju perubahan sosial karena terbukanya kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi struktur-struktur sosial dan budaya yang ada sehingga memungkinkan dilakukannya komunikasi, koordinasi, dan komitmen di antara para aktor sehingga menghasilkan kesamaan pengertian dan memunculkan kesadaran bersama tentang apa yang sedang terjadi.

 

Perlawanan petani yang dilakukan oleh SPBBS tidaklah dimaksudkan untuk menentang program negara tapi lebih dimaksudkan untuk menentang kekuasaan elite lokal (petani kaya dan pejabat) yang selama ini mengklaim komunitas tradisional, padahal lebih untuk mempertahankan tatanan demi keuntungan mereka.

 

Konsolidasi struktur sumberdaya integratif petani dan non petani harus menjadi ciri utama gerak SPBBS yang meluas. Kemunculan secara dramatis aksi-aksi kolektif petani dalam memanfaatkan momentum peluang politik tidak dapat dipisahkan dari peran sinergis di antara kedua elemen sumberdaya tersebut.

 

Dengan demikian gerakan petani yang tergabung dalam SPBBS akan memunculkan dualitas orientasi, yakni material (tujuan petani basis) dan postmaterial (tujuan non petani). Sebagai gerakan modern, SPBBS berkewajiban untuk penguatan kesadaran bersama untuk melakukan aksi-aksi kolektif, didesain dengan struktur organisasi dan pembagian tugas yang jelas, dan memiliki daya tekan kuat dan posisi tawar seimbang.

 

Pada titik ini, penyadaran dan pengorganisasi petani didasarkan pada fakta bahwa selain petani masih belum memiliki kesadaran politik (masih berada pada kesadaran konfliktual), terbukanya peluang politik pada tataran praksis ternyata tetap tidak bebas dari tekanan-tekanan. Realitas ini juga berpengaruh terhadap keragaman sikap partisipatif petani terkait dengan respon mereka terhadap peluang politik dalam penyelesaian konflik.

 

Dalam pembingkaian kolektif, gerakan sosial tidak dipandang hanya menyangkut ide-ide dan makna-makna deterministik, merupakan kejadian yang tidak terantisipasi, dan sebagai ideologi yang sudah ada. Lebih dari itu, para pelaku dipandang sebagai penandaan para agen yang secara aktif terlibat memproduksi dan memelihara makna-makna yang dikonstruksi, dan terwujud dalam tindakan yang diorientasikan pada seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan makna-makna kultural yang mengilhami dan meligitimasi aktivitas gerakan sosial.

 

Oleh karena itu, bingkai kolektif bukan hanya berupa kumpulan sikap dan persepsi individu, tetapi juga merupakan hasil dari proses negosiasi makna-makna bersama.Hasilnya adalah komitmen terhadap hasil proses pembingkaian yang menjadi acuan bersama dalam melakukan tindakan kolektif, meskipun kondisi ini tidak berlaku ketat. Sebagai organisasi gerakan sekaligus memiliki dua tujuan ideologis dan instrumental. Seperti membangun struktur kelembagaan organisasi gerakan yang kuat lebih dipandang sebagai tujuan ekspresif daripada tujuan instrumental. Pada kenyataannya, kedua tujuan tersebut tidak dapat dipandang secara terpisah karena tujuan perubahan personal dan perubahan institusional merupakan dua sisi yang berada pada satu mata uang yang sama

 

Semakin cepatnya penguatan struktur mobilisasi sumberdaya gerakan petani dan respon positif petani terhadap peluang politik (dekonstruksi struktur politik negara sebagai momentum) karena telah tersedia sumberdaya mobilisasi potensial (sub kultur oposisi petani). Berkembangnya sub kultur oposisi petani menunjukkan bahwa persoalan pertanahan di lingkungan komunitas petani terus-menerus diaktifkan. Terbukanya peluang politik mendorong kesadaran konfliktual petani secara cepat dapat dirubah ke dalam kesadaran politik. Disini proses pembingkaian kolektif menjadi penting dalam menjembatani keterkaitan antara sub kultur oposisi petani, respon terhadap peluang politik dan kekuatan sumberdaya mobilisasi untuk sampai pada aksi-aksi kolektif dalam gerakan sosio-politik petani.