Oleh: Erwin Basrin S.H.,

Diperkirakan terdapat 476 juta masyarakat adat atau kurang lebih 5 persen populasi dunia yang tinggal di 90 negara, memiliki 7.000 bahasa dan mewakili 5.000 budaya yang berbeda. Masyarakat adat adalah pewaris dan pelaku budaya dan cara unik dalam berhubungan dengan manusia dan lingkungan dan mereka telah mempertahankan karakteristik sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berbeda dari masyarakat dominan tempat mereka tinggal. Meskipun memiliki perbedaan budaya, masyarakat adat dari seluruh dunia memiliki masalah yang sama terkait dengan perlindungan hak-hak mereka sebagai masyarakat. Tahun 1982 dimulai dari laporan Mr. José Martínez Cobo berjumlah 21 Bab yang melaporkan Studi Masalah Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat (Study of the Problem of Discrimination Against Indigenous Populations). Laporan José Martínez Cobo berperan penting dalam membentuk fondasi intelektual dan advokasi yang melahirkan Konvensi ILO No. 107 berisi tentang perlindungan dan integrasi penduduk asli, suku asli, dan penduduk semi-suku.

Di berbagai negara, masyarakat adat ini telah berupaya mendapatkan pengakuan atas identitas, cara hidup, dan hak mereka atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam tradisional selama bertahun-tahun. Namun, sepanjang sejarah, hak-hak mereka telah dilanggar dan menjadikan mereka sebagai salah satu kelompok masyarakat yang paling tidak beruntung dan rentan di dunia. Setelah beberapa tahun negosiasi, termasuk partisipasi aktif oleh masyarakat adat, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat di bulan September 2007 untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas warisan biobudaya kolektif mereka secara keseluruhan, termasuk pengetahuan dan sumber daya tradisional, wilayah, dan nilai-nilai budaya dan spiritual serta hukum adat. (ck:1)

Meskipun tidak mengikat secara hukum, 146 negara telah mengadopsi Deklarasi tersebut dan telah berkomitmen untuk menghormatinya. Di Peru, misalnya, ketika sebuah Deklarasi diterima oleh Kongres, maka Deklarasi tersebut menjadi seperangkat standar dan prinsip yang perlu diterapkan. Jika masyarakat adat menggunakan Deklarasi PBB untuk menerapkan ketentuan-ketentuan tertentu dalam sistem pemerintahan lokal mereka, pemerintah nasional yang telah menandatangani Deklarasi tersebut memiliki kewajiban untuk menghormati ketentuan-ketentuan ini.

Terdapat sejumlah ketentuan di dalam UNDRIP yang dapat digunakan masyarakat untuk memperkuat hak dan warisan biobudaya seperti: Hak territorial dalam Pasal 26 UNDRIP menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, tempati, atau gunakan. Mereka memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan, dan mengendalikannya. Negara harus memberikan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah, wilayah, dan sumber daya ini. Hak bio-budaya untuk menjalankan dan menghidupkan kembali tradisi dan adat istiadat budaya mereka (Pasal 11). “Masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara, mengendalikan, melindungi, dan mengembangkan warisan budaya, pengetahuan tradisional, dan ekspresi budaya tradisional mereka, serta… sumber daya genetik, benih, obat-obatan, pengetahuan tentang sifat-sifat flora dan fauna…” (Pasal 31). Masyarakat adat memiliki hak untuk mewujudkan, mempraktikkan, mengembangkan, dan mengajarkan tradisi spiritual dan keagamaan mereka (Pasal 12). Masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara dan memperkuat hubungan spiritual mereka yang khas dengan tanah, wilayah, perairan, dan laut pesisir serta sumber daya lainnya yang secara tradisional mereka miliki atau tempati dan gunakan (Pasal 25).

Masyarakat adat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait masalah yang akan memengaruhi hak mereka (Pasal 18). Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (Pasal 3). Dan, Persetujuan awal tanpa paksaan dan berdasarkan informasi: “Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk pengembangan atau penggunaan tanah atau wilayah mereka atau sumber daya lainnya. Negara harus berkonsultasi dengan masyarakat adat melalui lembaga perwakilan mereka sendiri untuk memperoleh persetujuan awal tanpa paksaan dan berdasarkan informasi sebelum persetujuan proyek apa pun yang memengaruhi tanah atau wilayah mereka dan sumber daya lainnya, khususnya yang terkait dengan penggunaan mineral, air atau sumber daya lainnya.” (Pasal 32).

Politik hukum di Indonesia telah mengakui keberadaan Masyarakat hukum adat yang di tuangkan dalam konstitusi dan beberapa UU. Keberadaan pasal 18 B ayat (2) dan 23 I (3) dan juga dalam Undang-Undang (UU) sektoral (UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara; UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan UU terkait lainnya) telah berupaya memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Secara das sollen pemerintah pusat berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang mensejahterakan dengan memperjuangkan tercapainya pemenuhan hak-hak konstitusional (ck:2) dan hak-hak tradisional (ck:3). Dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat baik secara materiel maupun secara imateriel keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas yang acapkali diperlakukan diskriminatif.

Meskipun diakui dalam berbagai UU dan kebijakan negara, fenomena konflik dan sengketa tanah masih saja muncul, baik sengketa antara pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan investor, pemerintah dengan pemerintah maupun masyarakat itu sendiri semakin intensif. Sebagian besar muncul sebagai akibat pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, industri, perumahan, pariwisata, kehutanan maupun pertambangan dan perkebunan skala besar. Dari catatan Akar Global Inisiatif (2023), konflik dan sengketa disebabkan oleh; konflik kepentingan, yang disebabkan karena adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substantif (contoh: hak atas sumber daya agraria termasuk tanah), kepentingan prosedural maupun kepentingan psikologis (ck:4); Konflik struktural, yang disebabkan pola perilaku atau interaksi yang destruktif; kontrol kepemilikan atau pembagian sumber daya yang tidak seimbang serta faktor geografis, fisik atau lingkungan yang menghambat kerjasama (ck:5); Konflik nilai yang disebabkan karena perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan atau perilaku; Konflik hubungan disebabkan karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk atau salah pengulangan perilaku yang negatif serta konflik data karena informasi yang tidak lengkap; informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbeda dan perbedaan prosedur penilaian.

Untuk meningkatkan kepedulian terhadap kebutuhan kelompok populasi yang rentan dan tidak beruntung ini, Akar Global Insiatif akan melaksanakan rembuk melalui koferensi dengan tema “Dekonstruksi Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka Konstitusional” pada tanggal 21-23 Januari 2025 bersama Masyarakat adat dan komunitas epistemic bertempat di Universitas Bengkulu.

Pada hari pertama pembukan konferensi dilakukan pada tanggal 21 Januari 2025 di Hotel Santika dan dilanjutkan presentasi panel di beberapa Fakultas di Universitas Bengkulu. Konferensi ini dilakukan bersama Masyarakat dari 8 Propinsi dan empat pulau besar di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa bersama para akademis dan Universitas Bengkulu dibagi menjadi beberapa tema “Quo Vadis Politik Legislasi Pemajuan, Pengakuan dan Perlindungan MHA”,  “Dinamika Sistem Jaminan Sosial Masyarakat Hukum Adat dalam Transisi Agraria”, “Eksklusi Masyarakat Hukum Adat di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Kerangka Pengakuan MHA di Indonesia”, “Subsistensi Perempuan Adat dan Reaksi terhadap Liberalisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam”, “Resiliensi Masyarakat Adat dalam Perubahan Iklim; Produksi Pangan, Dinamika Karbon, Gangguan Ekosistem dan Pengelolaan Sumber Daya Berkelanjutan”. Sebagai teman diskusi Konferensi ini menghadirkan Antropolog, Akademisi dari Universitas Gajah Mada, Universitas Pertanian Bogor, Universitas Andalas, Universitas Amsterdam, Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, International Lawyer dan beberapa NGOs dan para pendukung Gerakan Masyarakat hukum adat.

Pada hari kedua tanggal 22 Januari 2025, bertempat di Desa Bandung Jaya Kabupaten Kepahiang dilanjutkan diskusi dengan Pemerintahan Desa, Kelompok Tano Wanita dan Petani Muda dengan mengusung tema “Resistensi Petani dan Gerakan Politik Pedesaan”, “Ekonomi Moral dan Usaha Kolektif Petani”, :Petani dan Masalah Generasional.” Pada tanggal 23 Januari bertempat di Hotel Santika dilanjutkan presentasi dengan “Masyarakat Hukum Adat, Keanekaragaman Hayati dan Kekayaan Budaya”. Dan pembacaan hasil konferensi oleh reporteur yang terdiri dari para akademisi dari Fakultas Hukum, FISIP, Program Study Pertanian, Program Study Kelautan dan Program Study Kehutanan Universitas Bengkulu.

Panel yang dilakukan di Fakultas Hukum melihat inkonsistensi mengenai jenis produk hukum daerah yang digunakan untuk pengakuan dan merekomendasi langkah perjuangan atas Pemajuan,Pengakuan dan Perlindungan masyarakat hukum adat dapat dilakukan melalui rekayasa konstitusi (constitutional engineering) dengan pengujian peraturan perundang-undangan. Panel yang dilakukani FISIP Universitas Bengkulu meyoroti terjadinya epistemic injustice seperti pemenjaraan daya subsisten Perempuan melalui rekolonisasi dimana peran-peran perempuan yang sebelumnya berdaya menjadi masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap produk dari luar seperti: bahan pangan dan keperawatan.

Panel Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian menegaskan batas tanah adat dan diperlukan pendekatan perlindungan sosial transformatif terhadap akses sumber-sumber produktif untuk menghasilkan pemberdayaan dan perubahan sosial. Sementara Fakultas Kehutanan menyampaikan rekomendasinya untuk melakukan pendampingan yang berkelanjutan, peningkatan kapasitas, dan kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan perubahan yang signifikan bagi masyarakat hukum adat. Panel di Program Studi Kelautan melaporkan bahwa pengakuan Masyarakat Hukum Adat pesisir dan pulau-pulau kecil masih sulit karena rumitnya birokrasi, tumpeng tindih kebijakan dan penguasaan wilayah laut. Untuk kondisi ini Penel ini menyampaikan rekomendasi bahwa Fish Collab dapat menjadi solusi untuk akselerasi proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan revitalisasi adat yang hilang bagi Masyarakat hukum adat yang ada di wilayah pesisir.

 

Catatan Kaki (CK):

CK1: https://biocultural.iied.org/un-declaration-rights-indigenous-peoples

CK2: Hak-hak Konstitusional adalah Hak-hak dasar dan Hak kebebasan dasar setiap warga negara, terkait dengan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan didepan hukum, hak sosial ekonomi, kebebasan berpendapat, hak untuk hidup dan bertempat tinggal yang dijamin oleh UUD.

CK3: Hak-hak Tradisional yaitu Hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan dimiliki oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal-usul (geneologis), kesamaan wilayah, dan obyek-obyek adat lainnya, hak atas tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya.

CK4: https://akar.or.id/lobian-anggrianto-memisahkan-petani-dengan-tanah-merupakan-bentuk-percepatan-kematian-petani/

CK5: Dalam konflik Agraria yang terjadi di Malin Deman dapat dilihat bahwa hubungan struktur agraria dan kesejahteraan petani dalam kontek masyarakat petani sangat erat. Karena bagi para petani yang adalah Masyarakat hukum adat, sumberdaya agraria atau lahan merupakan sumber nafkah utama. Hubungan seperti ini melahirkan tindakan mereka sejak lama dalam bentuk dimensi kerja dan interaksi, artinya politik agraria haruslah memastikan bahwa tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas, meremas dan menggerus hidup orang banyak.