Catatan Perjalanan; Erwin Basrin. Di dedikasikan untuk para perapal nyanyian yang menjaga hutan
Ini kali pertama saya mengunjungi salah satu dusun dari Desa Bandar Agung Kecamatan Ulu Manna Bengkulu Selatan. Dusun Air Kiliran. Dusun yang diambil dari nama batu, batu berwarna hitam yang sering ditemukan di sepanjang sungai kecil yang membelah dusun. Akses menuju dusun ini hanya bisa dilalui dari Desa Bandar Agung dengan jalan kaki selama 4 jam dengan merajang di antara rimbunnya hutan dan jalur tanah yang berliku dan melalui Desa Ganjuh menggunakan mobil double gardan selama 2 jam perjalanan yang memaksa menyeberang sungai yang sama berkali-kali. Mesin meraung di bawah kaki, suspensi mobil double gardan bekerja keras menelan guncangan dari jalan batu dan tanah berlumpur yang tak lagi bisa disebut sebagai jalur. Roda-rodanya menggiling lumpur merah yang lengket, menciptakan jejak panjang yang segera ditelan kembali oleh rimba. Kami telah menempuh hampir satu jam perjalanan dari titik terakhir desa terdekat, tetapi Desa Ganjuh masih jauh di dalam hutan.
Matahari seperti enggan untuk beranjak tinggi saat kami melangkah jauh dari Desa Ganjuh, desa terakhir dan paling ujung di Kecamatan Pino Bengkulu Selatan. Ditemani suara gemerisik dedaunan dan gelegar sungai di kejauhan. Pada setiap putaran roda ford ranger double cabin dengan sistem penggerak double gardan, mobil saudara sekampung saya yang memilih tinggal menetap di Bengkulu Selatan. Saya merasa seperti menembus dimensi yang berbeda di mana waktu bergerak lambat, dan alam masih menjadi penentu utama kehidupan. Bebatuan sepanjang sungai, tanah liat yang basah menggenggam erat ban mobil tumpangan kami, licin dan penuh tantangan. Napas terengah, tetapi semangat tetap menyala.
Di hadapan kami, Sungai Nelengau terbentang, mengalir deras dengan air berwarna coklat keemasan, membawa serta ranting dan dedaunan yang hanyut dari hulu. Ini bukan sungai biasa. Ia adalah rintangan yang harus dilalui berulang kali. Dalam dua jam perjalanan menuju Air Kiliran, kami akan menyeberang lebih dari 20 kali, melawan arus yang terus menekan, seolah ingin menguji seberapa kuat tekad kami untuk mencapai desa yang tersembunyi di balik belantara.
Sopir, Pak Ujang seorang pria paruh baya dengan wajah yang menyiratkan pengalaman, menggenggam kemudi dengan erat. Ia tak banyak bicara, hanya sesekali menggumamkan doa sebelum menurunkan gigi persneling dan mendorong mobil ke dalam air. Roda depan terbenam, disusul roda belakang. Air sungai menyentuh bemper, lalu naik hingga hampir membasahi pijakan kaki di dalam kabin.
“Kalau air naik lebih tinggi dari ini, kita harus menunggu,” katanya tanpa menoleh.
Tak ada jembatan. Tak ada jalur alternatif. Sungai Nelengau adalah satu-satunya jalan yang bisa dilalui mobil dan ia tak selalu bersahabat. Jika hujan turun di hulu, arus bisa tiba-tiba membesar, mengubah jalanan menjadi jeram berbahaya. Tapi hari ini, keberuntungan masih berpihak pada kami. Perlahan, mobil merayap keluar dari air, roda-rodanya mencengkeram tanah di tepi sungai dengan sisa tenaga yang ada.
Di sepanjang perjalanan, batu-batu sepanjang aliran sungai, hutan di kiri dan kanan terasa semakin rapat, ranting-ranting rendah menggores kaca mobil, dan akar-akar pohon besar menyembul dari tanah, menambah kesulitan di jalur yang sudah berat. Tak ada suara selain gemuruh mesin dan kicauan burung yang terdengar di kejauhan.
Bagi warga yang sudah terbiasa dan ikut dalam rombongan kami. Ada tiga orang pimpinan adat dan dua orang ibu-ibu yang juga pengurus adat di Air Kiliran. Perjalanan ini bagi mereka bukan sekadar rute, melainkan bagian dari kehidupan. Mereka biasa berangkat ke desa mereka, Desa Bandar Agung harus menempuh jalur dari Ganjuh maupun jalur jalan setapak yang sama setiap harinya. Dulu kami berjalan dalam gelap saat pagi masih berselimut kabut dan sampai saat senja mulai merayap di ufuk barat. Cerita Pak Gusti puitis yang duduk santai di kabin mobil.
Perjalanan dari Desa Ganjuh dengan mobil double gardan menawarkan sensasi yang berbeda. Ban kendaraan berderak di atas batu-batu sungai yang tajam, suspensi memantul liar setiap kali melewati jalan berbatu dan berlumpur yang nyaris menelan roda. Pohon-pohon besar berdiri tegak di sisi jalan, seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang masyarakat dusun Air Kiliran yang telah bertahan selama puluhan tahun.

Mobil kami berhenti di seberang sungai. Untuk sampai ke dusun kami menyeberang sungai yang dalamnya menenggelamkan pinggang. Setelah melewati hamparan sawah tibalah kami di dusun Air Kiliran, kesunyian menyambut. Rumah-rumah kayu berdiri berjejer sederhana, asap dari dapur tradisional mengepul lembut ke udara seakan menyambut kedatangan kami. Para lelaki duduk di beranda, mengisap rokok lintingan sambil berdiskusi soal panen yang kian sulit diprediksi. Perempuan-perempuan menganyam bambu, tangan mereka cekatan, seolah tarian yang telah diwariskan turun-temurun. Anak-anak berlarian di halaman, tanpa alas kaki, menikmati kebebasan yang tak tersentuh layar ponsel atau bising kota.
Di sini, kehidupan mengalir dengan ritme alam. Setiap suara burung, gemericik air sungai, dan desir angin yang menyelinap di antara pepohonan bukan sekadar latar, melainkan bagian dari nyanyian sehari-hari. Dusun ini bukan sekadar tempat di peta, melainkan dunia tersendiri, terpisah, namun tetap penuh kehidupan dan pengharapan. Di balik keindahannya, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Akses yang sulit membuat kebutuhan dasar sulit dijangkau. Saat hujan deras mengguyur, jalur menuju dusun bisa berubah menjadi lautan lumpur, membuat perjalanan yang sudah berat menjadi nyaris mustahil. Jika ada warga yang sakit parah, mereka harus berjuang menembus perjalanan panjang untuk mendapatkan pertolongan medis.
Dusun Air Kiliran adalah potret ketahanan manusia yang berpadu dengan alam. Sebuah pengingat bahwa di tengah derasnya arus modernisasi, masih ada tempat-tempat yang bertahan dengan cara mereka sendiri menghidupi diri dari tanah, air, dan udara yang telah menjadi bagian dari identitas mereka sejak lama.
Berada di jantung tanah Serawai, kampung Air Kiliran tak sekadar pemukiman, tetapi juga benteng terakhir dari warisan leluhur yang terus dijaga. Kampung ini berdiri sunyi di tepian hutan Sebakas, sebuah kawasan yang tak hanya dipenuhi rimbunan pepohonan, tetapi juga dihuni oleh cerita-cerita mistis yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hutan Keramat Sebakas bukan sekadar hutan. Ia adalah rumah bagi para roh leluhur, penjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Setiap pohon tua, setiap aliran sungai kecil yang membelah tanah, dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang tak bisa diganggu begitu saja. Tak sembarang orang boleh memasuki hutan ini, apalagi menebang pohon atau memburu hewan di dalamnya. Ada aturan tak tertulis yang harus ditaati, ada ritual yang harus dilakukan sebelum melangkahkan kaki lebih jauh ke dalamnya.
Siang itu, kabut masih bergelayut di pucuk-pucuk pohon ketika saya menjejakkan kaki di Air Kiliran. Di antara rumah-rumah panggung dari kayu yang berdiri di atas tanah merah, seorang lelaki tua duduk di beranda dengan tenang. Pak Binhar, salah satu tetua adat kampung dan juru kunci hutan keramat Sebakas, menatap saya dengan mata tajam yang penuh pengalaman.
“Hutan Sebakas bukan sekadar tempat,” katanya, suaranya dalam dan mantap. “Ia adalah bagian dari kami. Jika hutan ini mati, maka kami juga akan mati.”

Di Air Kiliran, kehidupan berjalan dengan ritme yang berbeda. Para lelaki berangkat ke ladang saat fajar mulai menyingsing, sementara perempuan menumbuk padi di lesung, menciptakan irama yang berpadu dengan suara burung dari kejauhan. Setiap tahun, masyarakat mengadakan jampi limau, sebuah upacara adat untuk menghormati roh-roh penghuni hutan. Mereka membawa sesaji beras ketan, sirih, dan ayam kampung ke tempat-tempat tertentu di dalam hutan, memanjatkan doa agar keseimbangan tetap terjaga. Bagi mereka, menjaga hutan berarti menjaga kehidupan, bukan hanya untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk anak-cucu mereka kelak.
Di beranda rumah paling ujung, seorang lelaki tua duduk diam, menghisap rokok dengan tenang. Pak Madrin, tetua adat kampung ini yang giginya telah habis dimakan usia, menatap dengan mata yang dalam, seperti menyimpan ribuan kisah yang belum sempat diceritakan.
“Hutan ini bukan sekadar hutan,” katanya pelan. “Ia adalah darah dan nafas kami.”
Di Air Kiliran, hutan adalah sesuatu yang sakral. Tak sembarang orang boleh memasukinya, apalagi dengan niat jahat seperti menebang pohon atau berburu hewan di dalamnya. Setiap langkah di tanah Sebakas harus dihormati, setiap pohon tua adalah penjaga yang tak boleh diganggu sembarangan.
“Dulu, pernah warga kami yang mencoba menebang pohon, akibatnya setelahnya dia gila,” Cerita Pak Madrin sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Masyarakat Air Kiliran percaya bahwa roh-roh leluhur bersemayam di dalam hutan. Jika keseimbangan terganggu, bencana akan datang. Itulah sebabnya ritual dan doa-doa dilantunkan, bukan hanya untuk meminta perlindungan, tetapi juga sebagai pengingat bahwa manusia bukanlah pemilik alam, melainkan hanya bagian kecil darinya.
Hukum adat di kampung ini lebih kuat daripada hukum negara. Barangsiapa yang melanggar aturan hutan, hukuman akan datang bukan hanya dari manusia, tetapi juga dari alam sendiri. Sudah banyak cerita tentang orang-orang yang berani melanggar aturan dan akhirnya jatuh sakit tanpa sebab, atau mengalami musibah yang tak terduga.
Senja mulai turun perlahan di Air Kiliran. Langit yang semula biru terang kini berangsur redup, tersapu semburat jingga yang memantul di puncak pepohonan. Saya berdiri di tepi kampung, menatap lebatnya Hutan Keramat Sebakas di seberang kampung yang menjulang di kejauhan. Kabut tipis mulai turun, melayang seperti selendang yang menyelimuti rimba. Di balik dedaunan, suara burung-burung terakhir hari ini terdengar, bersahutan dengan gemerisik angin yang menyelinap di antara batang-batang kayu raksasa.
Di dunia yang terus bergerak maju, di mana jalan aspal merayap ke pelosok-pelosok terpencil dan gedung-gedung beton menggantikan hutan-hutan lama, Air Kiliran tetap teguh pada akar tradisinya. Kampung Air Kiliran seperti perahu kecil yang terus mengayuh di tengah gelombang modernisasi yang ganas. Di saat banyak tempat menyerah pada arus pembangunan, Air Kiliran memilih jalan berbeda. Jalan yang diwariskan oleh leluhur mereka, di mana alam bukan sesuatu yang harus ditaklukkan, tetapi dijaga, dirawat, dan dihormati.
Bagi dunia luar, kampung ini mungkin tak lebih dari titik kecil di peta. Sebuah pemukiman sederhana, jauh dari listrik yang stabil, tanpa jaringan internet yang menghubungkan mereka dengan dunia yang lebih luas. Tapi bagi mereka yang memahami, Air Kiliran adalah benteng terakhir, sebuah perlawanan diam-diam terhadap hilangnya keseimbangan antara manusia dan alam. Hutan Keramat Sebakas bukan hanya pepohonan dan tanah yang subur. Ia adalah jiwa, tempat bersemayamnya roh-roh leluhur, rumah bagi kehidupan yang tak bisa diukur dengan angka atau nilai jual. Setiap pohon yang tumbuh, setiap akar yang mencengkeram tanah, adalah bukti bahwa ada cara lain untuk hidup. Cara yang tidak merusak, tetapi merawat.
Di kampung ini, keyakinan itu masih bertahan. Bahwa manusia bukanlah penguasa alam, melainkan bagian kecil dari ekosistem yang lebih besar. Bahwa kemajuan bukan selalu soal pembangunan fisik, tetapi juga bagaimana menjaga keseimbangan yang telah ada jauh sebelum peradaban modern datang. Malam mulai turun. Dari kejauhan, terdengar suara anak-anak tertawa, suara ibu-ibu yang memanggil mereka untuk masuk ke rumah. Asap dapur masih mengepul dari beberapa rumah panggung, menyebarkan aroma kayu terbakar yang khas. Di tengah dunia yang semakin melupakan akar-akar lamanya, Air Kiliran tetap berdiri teguh. Menjadi penjaga hutan terakhir, menjadi bukti bahwa masih ada tempat di bumi ini yang memilih berjalan selaras dengan alam, bukan melawannya.
Malam merambat pelan di Air Kiliran, menyisakan pijar langit yang meredup di ujung barat. Di tengah kampung, sebuah pelataran terbuka menjadi panggung bagi suara-suara yang telah hidup jauh sebelum generasi ini lahir. Kami duduk melingkar, disambut dengan cara yang tak hanya hangat, tetapi juga sakral. Rejung, nyanyian khas Suku Serawai, menggema di udara, mengalun di antara batang-batang kayu rumah panggung yang berdiri kokoh di sekeliling kami.

Suara itu bukan sekadar nyanyian. Ia datang dari tempat yang lebih dalam, lebih tua, seolah membawa kisah yang telah dirapalkan oleh nenek moyang mereka sejak berabad-abad lalu. Suara nyanyian terdengar melengking, bergetar di udara malam, membentuk irama yang memanggil masa lalu ke dalam waktu yang kini. Di sela-sela nyanyian, ketukan rebana berpadu dengan gemuruh langkah kaki di atas tanah.
Para lelaki mulai bergerak. Tarian itu bukan sekadar tarian. Setiap langkah mereka adalah pesan, setiap gerak tangan dan ayunan tubuh adalah doa. Ini bukan pertunjukan biasa. Ini adalah ritual, ini adalah penghormatan kepada tanah, hutan, leluhur, dan semesta yang telah menjaga mereka.
Mereka menari dengan gerak yang menyerupai silat, tubuh mereka merunduk, tangan mereka yang dililiti selendang meliuk, menandai hubungan yang tak terputus antara manusia dan alam. Setiap ayunan tangan, setiap hentakan kaki, memiliki makna yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang tumbuh bersama tanah ini.
Pak Madrin, tetua kampung, duduk sedikit di belakang, matanya tajam mengamati setiap gerakan. Di usianya yang senja, ia tak lagi menari seperti dulu, tetapi semangatnya masih terpancar dalam sorot matanya.
“Dulu, sebelum pergi berburu, sebelum menanam padi, sebelum memasuki hutan, kami selalu menyanyikan rejung,” katanya pelan, suaranya tenggelam dalam alunan ritmis yang masih bergema. “Ini bukan hanya nyanyian, ini cara kami berbicara dengan alam, dengan leluhur.”

Saya memperhatikan wajah-wajah mereka. Warga kampung yang masih teguh menjaga tradisi, yang masih percaya bahwa ada hal-hal yang lebih berharga daripada sekadar kemajuan fisik.
Di dunia luar, di kota-kota besar, modernitas telah merenggut banyak hal. Tapi di Air Kiliran, suara rebana masih menggema, langkah-langkah tarian masih berpijak pada tanah yang sama, dan nyanyian itu masih menjadi jembatan antara manusia dan alam.
Malam semakin larut. Rejung terus berkumandang, meresap ke dalam kulit, ke dalam hati. Di sini, di tengah kampung kecil yang tersembunyi di belantara hutan, saya merasa bahwa saya bukan sekadar tamu. Saya adalah saksi dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah perlawanan senyap terhadap dunia yang semakin melupakan akar-akarnya.