Resensator: Erwin Basrin
Evolusi Hak dalam Teori Liberal karya Ian Shapiro adalah sebuah kajian mendalam mengenai perkembangan konsep hak dalam tradisi pemikiran liberal Barat. Buku ini mengulas bagaimana wacana tentang hak berevolusi seiring perubahan konteks sejarah, mulai dari abad ke-17 hingga era kontemporer. Shapiro menunjukkan mengapa bahasa tertentu tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan politik menjadi penting bagi tradisi liberal Barat sekitar masa Perang Saudara Inggris; bagaimana bahasa ini sejak saat itu berkembang dalam tradisi tersebut; dan dalam segi-segi apa bahasa itu mempengaruhi, membentuk, dan membatasi argumen-argumen politik dan moral dalam wacana politik Inggris-Amerika dewasa ini.
Shapiro menelusuri “changing place of individual rights in liberal political thinking from the seventeenth century on”. Buku ini tidak hanya bersifat historis, tetapi juga kritis-analitis. Shapiro membandingkan secara sistematis teori hak dari para pemikir liberal kontemporer dengan para pendahulu intelektual mereka di abad ke-17. Melalui pendekatan ini, ia berupaya menjawab pertanyaan kunci, mengapa cara-cara tertentu dalam membicarakan hak muncul dan mengakar pada momen sejarah tertentu, bagaimana cara pandang itu berubah sepanjang waktu, dan sejauh mana konsep hak liberal ini membatasi dan mendorong perdebatan politik masa kini.
Dari buku yang saya baca berkali-kali ini, saya akan menulis resensinya yang akan membahas tiga aspek utama dari buku Shapiro. Pertama, kita akan mengajak pembaca mengupas konsep hak menurut Shapiro, termasuk bagaimana ia merumuskan pertanyaan-pertanyaan fundamental terkait hak. Kedua, akan dibahas kritik Shapiro terhadap liberalisme sebagaimana diartikulasikan dalam buku ini terutama kritiknya terhadap teori hak liberal kontemporer. Ketiga, kita akan meninjau sejarah pemikiran tentang hak dalam tradisi liberal sebagaimana dijabarkan Shapiro, mulai dari periode klasik (abad ke-17) hingga perumusan hak oleh teoritisi liberal modern. Dengan gaya semi-formal dan reflektif, esai ini berusaha menjembatani analisis akademis Shapiro dengan minat pembaca umum yang tertarik pada filsafat politik.
Salah satu kontribusi penting Shapiro adalah kerangka analitis yang ia gunakan untuk membandingkan teori-teori hak. Menurut Shapiro, ada empat pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh setiap teori hak:
- Subjek hak – Siapa yang menjadi pemegang atau subyek hak? Apakah individu, kelompok, atau entitas lain? Dalam tradisi liberal, subjek hak umumnya adalah individu otonom.
- Substansi hak – Apa yang menjadi isi atau cakupan hak tersebut? Misalnya hak atas hidup, kebebasan, kepemilikan, hak politik, hak sosial-ekonomi, dan sebagainya.
- Landasan hak – Apa dasar justifikasi bagi adanya hak tersebut? Ini berkaitan dengan sumber legitimasi hak. Apakah hak dianggap berasal dari hukum alam, ketetapan Tuhan, kontrak sosial, akal budi, atau konsensus utilitarian?
- Tujuan hak – Untuk apa hak itu diberikan atau dipertahankan? Apa tujuan moral atau politik dari pengakuan hak tersebut? Apakah untuk melindungi kebebasan individu, mencapai keadilan, mencegah dominasi, atau menjaga keteraturan sosial?
Kerangka empat elemen di atas memampukan Shapiro untuk membedah dan membandingkan teori hak dari berbagai pemikir lintas zaman. Misalnya, dalam kasus Thomas Hobbes (abad ke-17) subjek hak adalah individu dalam state of nature. Substansi hak terutama hak alamiah untuk mempertahankan diri yang landasannya adalah kontrak sosial demi menghindari chaos dan tujuannya untuk menjamin perdamaian melalui kedaulatan negara. Berbeda dengan John Locke (abad ke-17), yang juga menjadikan individu sebagai subjek hak, namun substansi haknya mencakup life, liberty, and property sebagai hak kodrati yang luas. Landasannya berasal dari hukum alam (yang diyakini berakar pada ketentuan Tuhan maupun rasionalitas moral) dan tujuan hak versi Locke adalah melindungi kebebasan serta kepemilikan individu dari intervensi sewenang-wenang, sehingga terbentuk tatanan politik yang sah.
Shapiro menemukan bahwa jawaban atas keempat pertanyaan tersebut berevolusi seiring konteks intelektual dan sosial. Ia menekankan bahwa pergeseran kerangka epistemologis dari abad ke-17 ke abad ke-20 berdampak besar pada konsep hak. Sebagai contoh, Hobbes dan Locke menulis sebelum filsafat David Hume memunculkan skeptisisme radikal. Karena itu, keduanya dapat mengandaikan adanya landasan obyektif bagi hak (mereka percaya setiap individu rasional akan menyepakati seperangkat hak yang “obyektif benar” sesuai hukum alam). Namun pasca-Hume, asumsi tentang landasan moral obyektif semacam itu tak lagi diterima begitu saja. Ini menyebabkan teoritisi hak berikutnya menghadapi tantangan yaitu bagaimana membenarkan hak-hak universal tanpa bertumpu pada fondasi metafisik atau teologis abad lampau yang telah goyah? Shapiro berpendapat bahwa inilah yang membuat teori-teori hak modern kerap bersifat inkonsisten atau “kehilangan koherensi internal”, karena mereka mengadopsi sebagian elemen tradisi lama (misalnya, insistensi pada hak individu yang kuat) tanpa lagi didukung oleh asumsi pengetahuan dan sains yang dulunya menyatukan argumen klasik.
Konsep hak menurut Shapiro di era modern telah menjadi semacam “mutasi” dari tradisi liberal awal. Ia bahkan menyebut argumen-argumen kontemporer tentang hak dan keadilan sebagai “suatu mutasi yang mematikan (lethal mutation) dari tradisi [kontrak sosial] tersebut”. Deepest difficulties (kesulitan-kesulitan terdalam) dalam teori hak masa kini, menurut Shapiro, lahir karena kita “mengadopsi sebagian bagian dari tradisi lama tanpa asumsi penyatu tentang pengetahuan dan sains yang memberikan koherensi pada argumen abad ke-17”. Maka, konsep hak liberal modern cenderung mengalami tegangan internal. Di satu sisi ingin mempertahankan prinsip-prinsip hak individu yang kuat, namun di sisi lain kehilangan dasar filsafat yang dulunya menopang prinsip tersebut.
Melalui analisis historis-konseptual tadi, Shapiro melancarkan kritik tajam terhadap liberalisme kontemporer, khususnya terhadap para teoritisi hak liberal terkemuka seperti Robert Nozick dan John Rawls. Shapiro menunjukkan bahwa argumen hak yang dibangun Nozick (dalam Anarchy, State, and Utopia) maupun Rawls (dalam A Theory of Justice) sebenarnya merupakan adaptasi dari tradisi liberal klasik yang telah disesuaikan dengan kondisi modern dan adaptasi ini justru mengandung kelemahan serius. Ia berpendapat bahwa teori hak Nozick dan Rawls sama-sama mengambil potongan-potongan dari gagasan Locke, Hobbes, bahkan Kant, namun menggabungkannya dengan asumsi-asumsi ekonomi modern demi mencari “jangkar” objektif baru bagi hak. Nozick, misalnya, mengusung hak-hak individu absolut (terutama hak kepemilikan) yang mirip dengan tradisi Locke, tetapi untuk menjamin konsistensinya ia mengandalkan logika ekonomi neo-klasik tentang pasar bebas (gagasan “tangan tak terlihat” dalam distribusi) sebagai justifikasi tatanan minimal negara. Sementara Rawls mempertahankan kebebasan dan hak dasar tiap individu sebagaimana tradisi Kantian, namun membingkainya dalam teori keadilan sosial yang bersandar pada asumsi ekonomi Keynesian misalnya, bahwa redistribusi moderat dan welfare state diperlukan demi menjaga stabilitas dan produktivitas masyarakat. Shapiro menyebut upaya keduanya sebagai cara untuk menyediakan “jangkar obyektif bagi tujuan-tujuan subyektif” dengan “mengandalkan asumsi-asumsi ekonomi” modern.
Kritik Shapiro adalah bahwa solusi-solusi Nozick maupun Rawls tersebut pada akhirnya bersifat ideologis. Mereka terlihat ilmiah/obyektif, namun sebenarnya menyelubungi kepentingan dan asumsi sosial tertentu terutama terkait sistem ekonomi kapitalis. Shapiro berargumen bahwa konsep hak liberal modern (baik dalam varian libertarian ala Nozick maupun egalitarian ala Rawls) pada hakikatnya mengabdi pada dan melegitimasi praktik pasar kapitalis yang ada. Ia menyimpulkan bahwa “alasan utama mengapa konsep hak individu ala liberal begitu kuat bertahan – dengan ciri pandangan negatif-libertarian tentang isi hak, basis legitimasi hak pada consent individu, serta tujuan hak yang pluralistis-utilitarian – adalah karena formulasi-formulasinya telah berpadu mengekspresikan suatu pandangan politik yang dibutuhkan dan sekaligus melegitimasi praktik-praktik pasar kapitalis”. Artinya, teori hak liberal bukan netral nilai, melainkan cenderung berfungsi mempertahankan status quo tatanan sosial-ekonomi.
Pandangan di atas selaras dengan interpretasi Rocky Gerung dalam diskusi buku ini. Ia mencatat bahwa Shapiro mencurigai Nozick dan Rawls sebagai “para legitimator politik liberal Amerika” dua filosof yang secara ideologis bekerja “mempertahankan suatu sistem politik yang sudah ada dengan memanfaatkan teori Locke, Kant, dan Hobbes pada tingkat abstraksi yang lebih rumit”. Walaupun pendekatan dan kesimpulan Nozick vs. Rawls berbeda, Shapiro melihat keduanya berada dalam spektrum liberalisme yang sama-sama mengukuhkan tatanan kapitalisme demokratis pasca-Perang Dunia II (dengan perbedaan di level kebijakan, tetapi kesamaan dalam kerangka dasar bahwa individu dan pasar menduduki peran sentral). Kritik Shapiro juga menyasar para komunitarian seperti Michael Sandel atau Alasdair MacIntyre yang kerap mengecam individualisme liberal. Menariknya, Shapiro memperingatkan bahwa kritikus komunitarian pun berbahaya terjerumus mengadopsi kelemahan paling serius liberalisme. Maksudnya, jika komunitarian sekadar menambal konsep hak liberal dengan nilai-nilai komunitas tanpa menyadari akar epistemologis yang rapuh, mereka justru bisa membawa kelemahan ideologis liberalisme ke dalam teori mereka sendiri. Shapiro mengingatkan, debat antara liberal vs komunitarian sering masih terkurung dalam bahasa dan andaian liberal itu sendiri, sehingga kritik komunitarian berisiko kurang radikal dan gagal menyentuh akar permasalahan.
Secara keseluruhan, kritik Shapiro terhadap liberalisme dalam buku ini berintikan pada ketidakselarasan internal teori hak liberal modern dan fungsi ideologisnya. Teori hak liberal di era kontemporer dianggapnya mengalami incoherence karena putusnya hubungan dengan fondasi intelektual masa lalu, sekaligus berfungsi mempertahankan hegemoni ekonomi-politik kapitalisme dengan kedok moralitas universal. Kritik ini memaksa pembaca untuk melihat konsep “hak asasi” dengan lebih skeptis dan historis, bukan semata prinsip abadi yang suci, melainkan produk evolusi pemikiran yang bisa jadi sarat kepentingan tertentu.
Bagian sentral buku Shapiro adalah penelusuran historis empat “momen” penting dalam evolusi gagasan hak liberal. Ia mengidentifikasi empat tahap atau inkarnasi tradisi hak liberal, yang masing-masing diwakili oleh seorang filsuf kunci:
- Momen Transisional – dilambangkan oleh Thomas Hobbes. Ini merujuk pada periode pertengahan abad ke-17 (masa Perang Saudara Inggris) ketika bahasa hak mulai muncul untuk mendobrak tatanan feodal dan religius sebelumnya. Hobbes mewakili transisi ke pola pikir liberal awal. Ia menekankan hak alamiah individu untuk hidup dan mencari selamat, namun solusi politiknya (Leviathan) menuntut penyerahan hak tersebut kepada negara absolut demi ketertiban. Shapiro menunjukkan bahwa pada tahap ini konsep hak masih sangat dipengaruhi obsesi terhadap ketertiban pasca-konflik sipil, dan dibingkai oleh epistemologi pra-Pencerahan yang relatif yakin akan kebenaran obyektif (Hobbes percaya pada ilmu pengetahuan dan logika deduktif untuk memahami hukum alam manusia).
- Momen Klasik – dilambangkan oleh John Locke. Tahap klasik (akhir abad ke-17 hingga pencerahan abad ke-18) memantapkan gagasan hak kodrati yang negatif sifatnya (hak untuk bebas dari gangguan orang lain dan negara). Locke mengembangkan konsep hak atas hidup, kebebasan, dan milik sebagai hak asasi yang harus dijamin oleh pemerintah terbatas. Landasan filosofisnya adalah hukum alam dan teologi natural, manusia sebagai ciptaan Tuhan memiliki hak yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Tujuan hak dalam versi Locke adalah melindungi liberty individu serta mendorong terbentuknya masyarakat sipil yang menghormati kontrak dan hukum. Ini sejalan dengan bangkitnya ekonomi pasar dan revolusi industri awal, di mana hak milik pribadi dan kebebasan pribadi menjadi nilai utama. Shapiro mencatat bahwa para pemikir liberal kontemporer sering merujuk kembali ke Locke (dan Hobbes) sebagai inspirasi, namun ia menilai bahwa argumen-argumen kontemporer itu sebenarnya “sama sekali lain” dari tradisi abad ke-17 tersebut. Artinya, konteks epistemologis dan sosial sudah berubah sehingga meskipun istilah yang dipakai sama (“hak alamiah”, “kontrak sosial”), maknanya bergeser.
- Momen Neo-Klasik – dilambangkan oleh Robert Nozick. Ini merujuk pada era akhir abad ke-20 (sekitar 1970-an) ketika terjadi revival pemikiran liberal klasik yang lebih radikal, sering disebut libertarianisme. Nozick adalah figur kunci yang menghidupkan kembali gagasan negatif rights Lockean, hak dipandang sebagai pembatas absolut terhadap tindakan negara. Ia menolak redistribusi kesejahteraan ala negara kesejahteraan, dan menganjurkan negara minimal yang hanya melindungi hak dasar (keamanan, kontrak, properti). Menurut Shapiro, kemunculan kembali ide ini tidak terlepas dari konteks sosial-ekonomi abad ke-20 yaitu krisis kepercayaan pada intervensi negara dan naiknya paradigma pasar bebas (pasca stagnasi era 1970-an). Nozick mengambil landasan hak bukan dari teologi seperti Locke, melainkan dari prinsip ekonomi dan moral sekuler. Ia menganggap hak milik muncul dari upaya kerja individu dan transfer sukarela (teori akuisisi yang dipengaruhi neo-classical economics). Tujuan hak versi Nozick sangat selaras dengan pembenaran pasar bebas yaitu hak ada untuk menjamin kebebasan individu berkompetisi dan menghindari dominasi negara. Shapiro menyebut pendekatan Nozick sebagai salah satu “mutasi” modern dari tradisi liberal, karena Nozick mempertahankan semangat hak negatif tapi mencoba menambalnya dengan rasionalisasi ekonomi demi konsistensi logis di era modern.
- Momen “Keynesian” – dilambangkan oleh John Rawls. Istilah “Keynesian” mengacu pada liberalisme era negara kesejahteraan pasca-Perang Dunia II, di mana ekonomi Keynesian (dengan peran aktif pemerintah mengelola pasar) dominan. Rawls mewakili upaya merumuskan ulang liberalisme yang lebih egalitarian tanpa meninggalkan dasar individualistik. Dalam teori keadilannya, Rawls menjunjung tinggi hak-hak dasar (kebebasan berpendapat, beragama, integritas pribadi, dll.) sebagai hak yang tak dapat ditawar (lexicographically prior atas tujuan sosial lainnya). Namun Rawls juga memasukkan prinsip perbedaan yang membolehkan ketidaksetaraan ekonomi sejauh menguntungkan yang paling miskin, yang secara implisit mendukung peran negara dalam redistribusi. Shapiro menilai Rawls mencari landasan “obyektif” bagi hak dan keadilan dengan model kontrak sosial hipotesis (situasi original position), tapi model ini bekerja di atas asumsi masyarakat makmur modern yang sudah menerima intervensi negara demi keadilan (karena itu ia sebut bersifat “Keynesian”). Tujuan hak dalam perspektif Rawls bukan sekadar melindungi kebebasan negatif, tapi juga memastikan keadilan sosial dan kestabilan masyarakat demokratis jangka panjang. Meski tampak berbeda arah dengan Nozick, Shapiro menunjukkan keduanya berbagi warisan liberal yang sama: hak individu tetap pusat, dan baik Rawls maupun Nozick akhirnya mengandalkan logika ekonomi modern untuk mengisi celah legitimasi moral yang ditinggalkan runtuhnya asumsi metafisik lama.
Dengan menelusuri keempat tahap di atas, Shapiro menghadirkan suatu sejarah intelektual hak yang terikat pada perubahan sosial-ekonomi. Ia menyimpulkan bahwa “pandangan liberal tentang hak berkembang melalui proses adaptif yang sangat dipengaruhi dan berfungsi bagi evolusi pasar kapitalis”. Hak-hak liberal bukan muncul di ruang hampa, pola pikir tentang siapa subjek hak, apa saja haknya, atas dasar apa, dan untuk tujuan apa semuanya dibentuk oleh kebutuhan zaman. Pada era Hobbes/Locke, misalnya, hak kodrati individu fungsional bagi lahirnya tatanan masyarakat pasar awal (melawan feodalisme dan absolutisme berbasis divine right).
Pada era Rawls/Nozick, konsep hak disesuaikan untuk menanggapi tantangan masyarakat kapitalis lanjut: baik berupa tuntutan kebebasan pasar sepenuhnya maupun tuntutan keadilan sosial dalam kerangka negara demokratis. Perubahan epistemologi juga memainkan peran: Shapiro menunjukkan bagaimana asumsi pengetahuan obyektif di abad ke-17 (seperti keyakinan Hobbes-Locke bahwa manusia dapat mengetahui hukum alam moral secara rasional) tidak lagi tersedia di abad ke-20 yang dipenuhi skeptisisme Humean. Implikasinya, koherensi internal teori hak klasik sulit direplikasi. Sebagai gantinya, ekonomika modern dipakai sebagai “lem” untuk menyatukan teori, misalnya dengan menganggap pasar atau distribusi sebagai mekanisme obyektif. Namun, seperti telah dibahas di bagian kritik, “lem” ekonomi ini datang dengan bias ideologisnya sendiri.
Membaca Evolusi Hak dalam Teori Liberal memberi kita wawasan berharga tentang bagaimana sebuah konsep normatif seperti “hak” ternyata bersifat dinamis dan historis. Shapiro berhasil mengajak pembaca menyelami lapisan-lapisan filsafat politik dari yang tersurat (teori eksplisit para filsuf) hingga yang tersirat (andaian konteks sosial yang membentuk teori tersebut). Pendekatan ini mencerminkan nuansa semi-formal dan reflektif yang juga diinginkan oleh saya dalam tulisan ini, kita diajak berpikir kritis namun tetap relevan dengan realitas praktis. Salah satu kekuatan buku ini adalah kemampuannya menghubungkan ide-ide abstrak dengan perubahan sosial-ekonomi konkret. Shapiro tidak terjebak dalam menilai teori hak secara ahistoris (benar atau salah secara mutlak), melainkan menilai fungsi dan koherensi teori itu dalam zamannya. Misalnya, ia memahami mengapa teori Hobbes dan Locke muncul pasca Perang Saudara Inggris, atau mengapa Nozick dan Rawls populer di Amerika abad ke-20, seraya menilai koherensi logis argumen mereka. Pendekatan ini menghasilkan analisis yang komprehensif dan kita melihat benang merah tradisi liberal sekaligus mutasi-mutasi yang terjadi.
Dari sisi gaya, Shapiro menulis dengan nada ilmiah namun tidak dogmatis. Ia tidak segan mengkritik baik kubu libertarian maupun egalitarian dalam liberalisme, bahkan juga memberi catatan pada para komunitarian. Sikap ini mencerminkan upaya untuk melampaui oposisi biner yang lazim di filsafat politik (misal: liberal vs komunitarian, hak individu vs kebaikan komunal). Shapiro seolah mengajak pembaca merefleksikan bahwa perdebatan ideologi sering memiliki common ground sejarah yang sama yang jika diabaikan, bisa membuat perdebatan itu mandul. Sebagai contoh, peringatan Shapiro bahwa komunitarian bisa saja tanpa sadar mengadopsi kelemahan liberalisme mengajak kita waspada terhadap solusi teoretis yang terlihat “anti-liberal” tapi sejatinya masih terkungkung paradigma lama.
Beberapa kritik bisa diarahkan pada karya Shapiro ini. Pertama, fokus Shapiro yang kuat pada keterkaitan hak dan kapitalisme bisa menimbulkan kesan reduksionis seolah-olah seluruh evolusi hak digerakkan oleh logika pasar semata. Meskipun ia benar menyoroti fungsi ideologis konsep hak, ada argumentasi bahwa perkembangan konsep hak juga dipengaruhi oleh faktor moral, agama, dan budaya yang mungkin kurang diulas. Misalnya, hak-hak asasi manusia pasca Perang Dunia II juga dipicu horor moral terhadap Holocaust, bukan semata dinamika kapitalisme.
Kedua, pilihan Shapiro untuk tidak membahas tokoh seperti Immanuel Kant atau Hegel (yang disebut diabaikan dalam buku) mungkin membuat narasi sejarahnya agak loncat. Kant padahal meletakkan dasar penting konsep hak sebagai imperatif moral universal, dan Hegel membahas hak dalam kerangka institusi sosial, keduanya bisa memperkaya analisis evolusi hak. Shapiro memilih langsung loncat ke Rawls dan Nozick sebagai representasi modern, mungkin demi fokus pada Anglo-American discourse, tapi hal ini bisa dianggap menyederhanakan spektrum liberalisme (contoh: tradisi liberal utilitarian ala Bentham/Mill atau liberal progresif awal abad 20 tidak dibahas mendalam).
Terakhir, ada pertanyaan tentang apa tawaran Shapiro setelah membedah habis kelemahan teori hak liberal. Dalam diskusi, Rocky Gerung sempat bertanya, “kalau begitu Shapiro mau menawarkan apa?”. Buku ini lebih bersifat kritik genealogis daripada manifesto normatif. Shapiro memang tidak memberikan teori hak alternatif secara utuh di sini. Namun, petunjuk pemikirannya bisa dilacak di karya-karya Shapiro selanjutnya tentang demokrasi dan anti-dominasi. Pendekatan realistis Shapiro cenderung mengarah pada penekanan pada demokrasi sebagai sarana mengontrol dominasi kekuasaan, alih-alih mengagungkan katalog hak abstrak. Jadi, barangkali solusinya tersirat “mengembalikan politik pada persoalan kekuasaan dan dominasi nyata, bukan perdebatan metafisik tentang hak semata.” Ini sejalan dengan argumennya di tempat lain bahwa demokrasi bernilai untuk mencegah dominasi.
Secara reflektif, Evolusi Hak mengingatkan kita bahwa gagasan besar dalam politik perlu sesekali ditinjau ulang asal-usul dan perjalanannya. Hak-hak individual yang kerap kita anggap pilar tak tergoyahkan liberalisme, ternyata memiliki “riwayat hidup” yang berliku. Pemahaman ini mestinya membuat kita lebih bijak dalam berdialektika. Tidak menelan mentah-mentah jargon hak asasi, tetapi juga tidak gegabah menolaknya tanpa memahami konteks. Bagi pembaca umum yang tertarik filsafat politik, buku Shapiro menawarkan semacam “lensa kritis” untuk melihat politik hak dari sudut pandang evolusioner. Lensa ini menggugah pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah wacana hak yang kita gunakan saat ini benar memperjuangkan kebebasan dan keadilan, atau jangan-jangan hanya membenarkan tatanan yang ada? Pertanyaan semacam itu tetap relevan hingga sekarang, mengingat debat soal hak (hak asasi manusia, hak minoritas, hak ekonomi) masih menjadi medan pertarungan ideologi di seluruh dunia.
Paling tidak dalam Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Ian Shapiro berhasil menyajikan sebuah esai filsafat politik yang kombinatif yaitu historis sekaligus kritis. Dengan memfokuskan pada konsep hak, kritik liberalisme, dan sejarah pemikiran hak, Shapiro membawa pembaca menelusuri transformasi ide-ide dari era Hobbes hingga Rawls. Struktur buku ini yang bertumpu pada empat pertanyaan kunci (subjek, substansi, landasan, tujuan hak) memberikan kerangka jelas untuk memahami persamaan dan perbedaan pemikiran para teoritisi liberal lintas zaman. Shapiro menunjukkan bahwa bahasa hak liberal bukanlah bahasa yang statis ataupun netral, melainkan “hidup” dalam konteks sosialnya dan kerap menjadi ajang pertarungan ideologi. Kritiknya terhadap liberalisme kontemporer, bahwa teori hak modern kehilangan koherensi dan cenderung melegitimasi kapitalisme yang mengajak kita melakukan introspeksi intelektual mendalam.
Sebagai sebuah resensi, tulisan saya ini menilai bahwa Shapiro menawarkan sumbangan penting bagi wacana filsafat politik. Ia menjembatani sejarah ide dengan analisis normatif. Gaya penulisannya yang argumentatif namun reflektif membuat topik berat ini dapat diakses oleh pembaca yang mau berpikir kritis. Bagi kalangan akademik, buku ini memperkaya literatur mengenai liberalisme dan hak asasi dengan perspektif yang tidak ortodoks. Bagi pembaca umum yang tertarik filsafat politik, karya Shapiro dapat menggugah pemahaman baru bahwa konsep hak yang sering kita anggap “alami” ternyata hasil konstruksi pemikiran yang panjang dan tak lepas dari kontroversi.
Akhirnya, Evolusi Hak dalam Teori Liberal mengajarkan kita bahwa mempertahankan kebebasan dan keadilan tidak cukup hanya dengan mengucapkan mantra “hak asasi” kita perlu memahami asal-usul, logika, dan implikasi dari konsep hak itu sendiri. Dengan begitu, kita dapat lebih waspada terhadap jebakan ideologis dan lebih arif dalam memperjuangkan hak dalam konteks masyarakat kita kini. Shapiro menutup analisanya dengan nada yang agak pesimistis namun realistis “kita tidak bisa kembali sepenuhnya pada konsistensi filosofis liberal di masa lampau, tetapi dengan memahami evolusinya, kita bisa menghindari mengulang kelemahan-kelemahan yang sama di masa depan.” Sebuah pelajaran yang relevan bagi setiap pencari keadilan dan kebebasan di abad ke-21.
Referensi:
- Ian Shapiro, The Evolution of Rights in Liberal Theory. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. (Terjemahan Indonesia: Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Jakarta: Freedom Institute & Yayasan Obor, 2006). [Uraian tujuan dan cakupan buku oleh Freedom Institute]
- Rocky Gerung & Ignas Kleden, Diskusi Buku Evolusi Hak dalam Teori Liberal, Freedom Institute, 18 Oktober 2006. [Transkrip diskusi – pandangan bahwa Nozick/Rawls menjadi “legitimator” politik liberal; kerangka 4 pertanyaan hak menurut Shapiro].
- Shapiro, Ian. Publications – The Evolution of Rights in Liberal Theory. Yale University. [Deskripsi singkat buku oleh penulis – argumen tentang “lethal mutation” tradisi liberal dan implikasi bagi perdebatan hak vs utilitarian, liberal vs komuni-tarian].
- Wikipedia: “Ian Shapiro – Early Work.” [Ringkasan isi The Evolution of Rights in Liberal Theory – empat momen (transisional, klasik, neo-klasik, Keynesian) masing-masing diwakili Hobbes, Locke, Nozick, Rawls; kaitan evolusi hak dengan pasar kapitalis dan pergeseran epistemologi Humean].