Dua hari lalu, Rabu dan Kamis (27–28 Agustus 2025), tim Akar Global Inisiatif mengadakan kegiatan community profiling dan consent data bersama para nelayan di Desa Merpas dan Desa Linau, Kabupaten Kaur. Tidak hanya nelayan, kami juga mengundang penyuluh perikanan, pemerintah desa dan pengepul untuk turut hadir dalam acara tersebut. Tujuannya agar para pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan di dua desa ini mendukung, menghormati dan mengakui praktik pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional.
Kabupaten Kaur yang berada di ujung selatan Provinsi Bengkulu ini dikenal memiliki kekayaan laut yang melimpah. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari laut, terutama dari perikanan tangkap. Bahkan, gurita dari Kaur sudah dikenal luas sebagai komoditi khas daerah ini. Dan desa di Kabupaten Kaur yang tercatat memiliki potensi perikanan gurita terbesar adalah desa Linau dan desa Merpas. Hal ini juga mengindikasikan bahwa dua desa ini masih memiliki Pantai, laut yang indah dan ekosistem terumbu karang yang masih sehat.
Sejak tahun 2019, Akar telah bekerja mendampingi masyarakat pesisir Kaur untuk mendorong pengelolaan laut dan perikanan berbasis masyarakat. Desa Merpas di Kecamatan Nasal dan Desa Linau di Kecamatan Maje kini menjadi desa dampingan yang aktif dalam kerja-kerja konservasi dan peningkatan kesejahteraan nelayan.
Kegiatan kali ini menjadi penting karena community profiling tidak hanya mendata, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat untuk membaca kembali kondisi desanya melalui pengalaman nelayan. Sementara itu, proses consent data memastikan bahwa setiap informasi yang dikumpulkan digunakan dengan persetujuan nelayan sendiri. Artinya, nelayan tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek yang memiliki kendali atas data mereka. Dengan cara ini, data perikanan tidak lagi dipandang sekadar laporan, melainkan cermin kehidupan masyarakat pesisir. Data tersebut akan menjadi dasar dalam menyusun kebijakan desa, mendukung perencanaan program pemerintah, hingga menjadi bahan advokasi untuk memastikan hak-hak nelayan diakui.
Dalam Focus Group Discussion (FGD) tersebut, berbagai masukan dan keluhan nelayan terkait harapan pembangunan pesisir turut disampaikan. Salah satu isu utama adalah informasi cuaca. Nelayan menilai aplikasi prakiraan cuaca yang ada sering kurang akurat, sehingga mereka lebih sering mengandalkan informasi dari Krui—wilayah yang sebenarnya berada di luar daerah utama mereka. Padahal, akurasi informasi cuaca sangat penting bagi nelayan tradisional. Kesalahan prediksi bisa berakibat fatal, baik pada keselamatan di laut maupun hasil tangkapan. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem informasi cuaca yang lebih lokal, real-time, dan mudah dipahami, sehingga nelayan dapat merencanakan aktivitas melaut dengan aman.
Selain itu, masyarakat bersama pemerintah desa juga menanyakan mengenai asuransi alat tangkap. Diskusi ini penting karena kerusakan atau kehilangan alat tangkap sering menjadi beban besar bagi nelayan. Asuransi dapat menjadi salah satu solusi perlindungan, agar nelayan tidak sepenuhnya menanggung kerugian jika terjadi kecelakaan atau kerusakan. Dalam kesempatan tersebut, tim kami berusaha memberikan penjelasan dan alternatif solusi di luar kebijakan formal pemerintah, sekaligus membuka ruang diskusi lebih luas mengenai keseharian nelayan. Melalui dialog ini, diharapkan lahir gagasan bersama untuk memperkuat ketahanan nelayan, baik dari sisi keselamatan melaut, perlindungan ekonomi, maupun pengelolaan pesisir secara berkelanjutan.
Saat ini, desa Merpas, yang mendapatkan program bantuan sebagai Kampung Nelayan Merah Putih yang akan dimulai Oktober 2025 ini, bersama Desa Linau yang pernah menjalankan program Smart Fisheries Village (SFV), sedang berproses membangun basis data perikanan mereka sendiri. Inisiatif ini menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Kaur mampu berdaya, memanfaatkan data sebagai alat untuk menjaga keberlanjutan laut sekaligus memperkuat kesejahteraan ekonomi nelayan.

Melalui community profiling dan consent data, Akar ingin menegaskan bahwa pembangunan berbasis data harus lahir dari masyarakat itu sendiri. Data bukan hanya catatan atau program singgah, tetapi suara kolektif nelayan yang dapat mengarahkan pembangunan desa, memperkuat pengelolaan sumber daya laut, serta meletakkan dasar bagi kebijakan perikanan yang berkelanjutan di masa depan.(Report: Sulastri/Cici)