Multi-Species Eco Justice adalah diskursus baru yang dideklarasi oleh Akar Global Inisiatif pada partners meeting yang dilaksanakan di Bali tahun 2025, keadilan lintas spesies (multi-species justice) adalah konsep yang memperluas kerangka keadilan tidak hanya bagi manusia, melainkan juga bagi makhluk hidup non-manusia dan ekosistem tempat mereka hidup. Dalam paradigma ini, kepentingan hewan, tumbuhan, sungai, hutan, dan keseluruhan alam dianggap sebagai klaim keadilan yang sah, sehingga institusi politik dan hukum berkewajiban mempertimbangkan kepentingan tersebut saat membuat kebijakan. Ide ini muncul dari perkembangan pemikiran lingkungan dan etika, menggabungkan tradisi keadilan lingkungan (environmental justice) yang lahir sejak 1980-an dengan pemikiran post-humanisme, etnografi multispecies, dan kosmologi masyarakat adat. Secara historis, hak dan perlindungan untuk alam mulai diakui melalui konsep rights of nature (hak alam) seperti konstitusi Ekuador 2008 yang memberi “Pacha Mama” (Ibu Bumi) hak hidup, regenerasi, dan pemulihan. Gerakan lingkungan modern kini menuntut pengakuan yang lebih luas atas agensi makhluk hidup lain, sebagaimana teoretikus sosial Danielle Celermajer paparkan bahwa multispecies justice mengajak kita melihat perusakan alam bukan sekadar “kejadian malang”, melainkan ketidakadilan yang harus dilawan.

Konteks Krisis Iklim dan Ekologis

Di era krisis iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati yang cepat, keadilan hanya untuk manusia dirasa tidak lagi cukup. Kerusakan ekologis dan pemanasan global menghantam semua spesies secara bersamaan. Contoh nyata adalah kebakaran dahsyat Black Summer di Australia (2019–2020) yang membunuh sekitar 3 miliar hewan vertebrata liar. Satwa yang terkena musibah ini jauh lebih banyak daripada jumlah manusia korban, namun kebijakan dan penanganan bencana hampir sepenuhnya menitikberatkan pada keselamatan manusia, sementara hewan dianggap “barang” dan hanya sebagian kecil yang mendapat pertolongan. Para peneliti menunjukkan bahwa ketika krisis iklim memanas, pertanyaan “keadilan untuk siapa?” harus melampaui batasan antropogenetik: keadilan perlu ditinjau lewat kacamata multispecies, mengakui kesalingtergantungan hasil bumi dan kehidupan manusia dengan flora-fauna lainnya.

Situasi ekologi di Indonesia juga menghadirkan urgensi serupa. Misalnya, sejak 2000 hingga 2024, Indonesia kehilangan sekitar 32 juta hektare tutupan hutan (sekitar 16% luas daratan). Deforestasi besar-besaran ini membuat Indonesia berada di urutan kedua penyumbang emisi karbon dari sektor kehutanan dunia. Kecepatan kepunahan satwa juga mengkhawatirkan: pada 2021, sebanyak 189 spesies fauna Indonesia dikategorikan kritis atau terancam punah, termasuk Komodo yang naik status ke “Terancam Punah”. Krisis iklim, polusi, dan erosi keanekaragaman hayati (triple planetary crisis) tidak hanya merugikan manusia, tetapi juga jutaan spesies lain yang habitat dan hidupnya terus terancam. Dalam konteks ini, pola pembangunan dan kebijakan berbasis ekonomi ekstraktif yang selama ini sering menempatkan alam semata-mata sebagai komoditas dianggap sebagai akar masalah ketidakadilan ekologis. Pernyataan WALHI menegaskan bahwa arah pembangunan perlu “dibalik”, agar bumi dan seluruh ekosistemnya memiliki hak hidup dan memulihkan diri, bukan hanya mengejar pertumbuhan yang justru merusak kehidupan makhluk hidup lain.

Mengakui Hak dan Agensi Non-Manusia

Keadilan lintas spesies menuntut kita mengubah cara pandang terhadap keberadaan makhluk non-manusia. Dalam sistem pemikiran utama Barat, hewan, tumbuhan, bahkan sungai dan gunung sering diperlakukan sebagai “barang” atau “sumber daya”. Prinsip multispecies menolak pembedaan itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Celermajer, agar keadilan lingkungan dapat ditegakkan, “lingkungan dan hewan lain harus dipandang sebagai subjek keadilan, subjek yang dapat diperlakukan secara tidak adil dan kepada siapa kita punya kewajiban merawat dan menghormati. Artinya, kita harus mengakui nilai intrinsik dan kemampuan agensi makhluk lain. Sebagaimana Professor Celermajer berpendapat, makhluk lain bukan hanya ada untuk memenuhi kebutuhan manusia; keberlanjutan umat manusia bergantung pada bumi yang sehat dan keberadaan spesies lain yang ikut menopang sistem kehidupan global.

Salah satu manifestasi konsep ini adalah perluasan konsep kepersonaan hukum (legal personhood) untuk non-manusia. Jika pohon, sungai, atau spesies dapat diakui sebagai “warga hukum” dengan hak tertentu, maka pelanggaran terhadap mereka bisa digugat hukum. Contoh nyata: Undang-Undang Te Awa Tupua (Sungai Whanganui, Selandia Baru) 2017, yang mengakui Whanganui River sebagai “keutuhan hidup yang tak terpisahkan, dari pegunungan hingga laut”, dan memberinya “hak, tugas, dan kewajiban” layaknya subyek hukum. Prinsip ini mengambil inspirasi dari kearifan Māori: ungkapan “Ko au te awa, ko te awa ko au” (Aku adalah sungai dan sungai adalah aku) mencerminkan hubungan kemanunggalan manusia-dengan-alam. Di Ekuador dan Bolivia, landasan hak alam juga diatur dalam konstitusi. Misalnya, Pasal 71 Konstitusi Ekuador 2008 menyatakan “Pacha Mama (Bumi) memiliki hak mendapat penghormatan secara integral terhadap keberadaannya, serta pemeliharaan dan regenerasi siklus vital, struktur, fungsi, dan proses evolusinya.”. Sedangkan Bolivia melalui Undang-Undang Ibu Bumi (Law 071/2010) menetapkan berbagai hak bagi “Madre Tierra” termasuk hak atas kehidupan, keberagaman hayati, air bersih, udara bersih, pemulihan, dan hidup bebas polusi.

Dalam ranah pemikiran, pengakuan hak non-manusia terkait erat dengan pembentukan konsep ekosida. Celermajer menyoroti istilah ecocide, penghancuran lingkungan dan keanekaragaman sebagai kejahatan serius yang semestinya mendapatkan sanksi tegas, setara dengan genosida atau kejahatan kemanusiaan. Kesadaran ini mulai menggerakkan negara-negara dan masyarakat internasional mengeksplorasi pencabutan legitimasi norma destruktif tersebut. Sebagai gambaran, saat ini makin banyak perdebatan untuk memasukkan ekosida sebagai kejahatan internasional di ICC. Semua ini menegaskan bahwa nilai kehidupan non-manusia harus dilindungi bukan sebagai “kebaikan hati” manusia, melainkan sebagai kewajiban moral-politik.

Praktik dan Kebijakan Mendukung Keadilan Antarspesies

Penerapan keadilan lintas spesies memerlukan perubahan praktik dan kebijakan di berbagai tingkatan. Pertama, hukum dan regulasi perlu dirancang untuk mengakui kepentingan spesies non-manusia. Beberapa negara telah mulai melakukan ini: selain pengakuan hak alam di konstitusi Ekuador dan Bolivia seperti di atas, Irlandia sedang mempertimbangkan amandemen untuk memberi hak alam. Pengadilan di Kolombia bahkan memerintahkan perlindungan hutan Amazon demi generasi mendatang, dengan mengutamakan kepentingan ekosistem tersebut. Di tingkat lokal, UU Konservasi (misalnya di Indonesia, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati) dapat diperkuat dengan memasukkan kewajiban mengurus nasib spesies yang terancam punah dan habitatnya. Kebijakan kehutanan, perikanan, serta pertanian harus memperhatikan keberlangsungan makhluk hidup lain, misalnya menjaga migrasi satwa dan keanekaragaman genetik.

Kedua, perencanaan tata ruang yang inklusif spesies merupakan kunci. UNDP menyoroti bahwa perancangan perkotaan yang ramah ekologis seperti menambah koridor hijau dan jalur migrasi hewan—dapat memperkokoh keanekaragaman. Contoh di beberapa kota besar (Singapura, Rio de Janeiro, Mexico City, dan lain-lain) menunjukkan perencanaan berupa koridor biologi dan taman berbasis alam yang memungkinkan satwa hidup berdampingan dengan infrastruktur manusia. Prinsip green infrastructure ini dapat diadopsi lebih luas, misalnya dalam pembangunan jalan tol yang mempertimbangkan terowongan satwa atau membuat zona konservasi di pinggiran kota. Di sisi lain, perpindahan energi menuju sumber terbarukan juga harus memperhatikan habitat alami; misalnya, ladang angin perlu dipetakan supaya tidak mengganggu jalur migrasi burung atau kelelawar.

Ketiga, lembaga dan perwakilan non-manusia dalam pengambilan keputusan perlu dikembangkan. UNDP mengemukakan ide bahwa alam seharusnya memiliki kursi di “dewan direksi” perusahaan dan pemerintahan, layaknya pemangku kepentingan lain. Sudah ada prakarsa memberi perwakilan lingkungan dan satwa di dewan perusahaan (nature on boards) sebagai simbol tanggung jawab sosial perusahaan. Demikian pula, sejumlah komunitas adat di Indonesia telah lama menerapkan sistem pengelolaan sumber daya (misalnya sasi di Maluku atau hutan adat) yang secara de facto memberi suara masyarakat terhadap hutan tempat mereka bergantung. Mendorong model co-governance semacam ini membantu mewujudkan prinsip multispecies justice dalam tataran praktik kebijakan.

Keempat, pendidikan dan penelitian harus memperluas fokus. Akademisi dan pendidik didorong untuk memasukkan pendekatan multispecies dalam kurikulum dan riset, misalnya kajian etika lingkungan yang mempertanyakan posisioning manusia dalam semesta. Membangun kesadaran masyarakat tentang nilai intrinsik alam dan penderitaan hewan dalam krisis dapat dimulai dari sekolah dan media massa. Gerakan komunitas, misalnya melalui film dokumenter atau kampanye satwa liar, kian penting untuk “membangkitkan empati”. Sebagaimana yang ditegaskan, perubahan sistemik tidak cukup hanya dengan teknologi baru—diperlukan juga cara pandang yang menempatkan manusia sebagai bagian ekosistem, bukan penguasa absolut.

Studi Kasus Keadilan Antar spesies

  • Kebakaran Hutan Australia (Black Summer 2019–2020): Peristiwa ini menunjukkan betapa besar dampak krisis iklim terhadap hewan. Diperkirakan 3 miliar vertebrata liar tewas. Kajian multispecies menyoroti bahwa tanggap darurat bencana semestinya melindungi semua nyawa: misalnya, memberikan suaka bagi satwa liar, mengorganisir penyelamatan spesies, atau membuat koridor pelarian satwa dari area terdampak kebakaran. Masalahnya, kebijakan konvensional hanya menyediakan panduan dasar (misalnya saran tempatkan kucing/anjing) bagi hewan peliharaan, sementara satwa liar nyaris tidak tersentuh. Kasus ini menekankan kebutuhan evaluasi ulang rencana tanggap bencana nasional agar memuat pertimbangan keberagaman hayati.
  • Whanganui River, Selandia Baru: Tahun 2017, Pemerintah Selandia Baru mengesahkan Te Awa Tupua Act yang mengakui Sungai Whanganui sebagai entitas hidup dan independen dengan hak-hak legal. Sungai tersebut dipandang “satu kesatuan hidup dari hulu hingga laut”, yang memiliki “hak, tugas, dan kewajiban” sebagai subjek hukum. Prinsip ini lahir dari hasil perjuangan suku Māori yang menganggap sungai sebagai leluhur yang harus dihormati. Landasan ini memungkinkan aktivis dan masyarakat adat berperan langsung mengelola sungai secara lestari, serta membuat pihak merusak dapat digugat. Model perlindungan berbasis hak alam semacam ini semakin menarik perhatian global sebagai inspirasi kebijakan baru.
  • Pengakuan Hak Alam di Konstitusi: Sejumlah negara mulai menyematkan hak alam dalam konstitusi. Ekuador (2008) memformalkan hak alam agar pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab menjaga kelangsungan siklus alam. Bolivia (2010) menegaskan hak “Ibu Bumi” atas kehidupan, keanekaragaman, air, udara bersih, pemulihan, dan bebas polusi. Walaupun tidak secara eksplisit menyebut “lintas spesies”, pengakuan ini memberi fondasi hukum kuat bagi tindakan konservasi dan memberikan lokus pengaduan baru bagi rakyat yang ingin menuntut perlindungan lebih bagi bumi. Indonesia pun sudah memiliki landasan hukum terkait: misalnya, pasal 28H dan 33 UUD 1945 mewajibkan negara melindungi rakyat serta mengelola bumi dan kekayaan alam sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Konsep keadilan antarspesies bisa memperkaya implementasi pasal-pasal ini dengan menegaskan bahwa kepentingan generasi mendatang dan keberagaman hayati juga harus dipertimbangkan sebagai bagian dari kemakmuran bersama.
  • Kebijakan Koridor Hijau Perkotaan: Beberapa kota besar sudah menerapkan kebijakan hijau sebagai bentuk keadilan ekologis. Contohnya, taman kota, hijau vertikal, dan koridor satwa mulai diperhitungkan dalam rencana kota bertumbuh. UNDP menyoroti penambahan jalur hijau berbasis alam di kota-kota seperti Singapura, Brasil, dan Meksiko, yang membantu terciptanya koeksistensi manusia dan satwa di area urban. Dalam konteks ini, program masyarakat peduli satwa seperti city sanctuary atau transekt kota bisa diperluas: misalnya, taman kantong satwa dan dinding hijau vertical garden untuk burung dan serangga. Semua langkah ini mewujudkan prinsip bahwa kota tidak harus menjadi zona mati bagi hayati, melainkan bagian dari ekosistem yang inklusif.

 

Ilustrasi sapi di lahan terbuka. Gambar ini merefleksikan salah satu jenis makhluk non-manusia yang masuk dalam perhatian keadilan ekologis lintas spesies. Sesuai prinsip ini, pengelolaan peternakan dan pertanian harus mempertimbangkan kesejahteraan satwa dan dampak ekologi, bukan semata mengejar produktivitas ekonomi.

 

Seruan Aksi: Bersama Mewujudkan Keadilan Antarspesies

Untuk mewujudkan keadilan ekologis lintas spesies, diperlukan aksi kolektif dari berbagai pihak. Beberapa langkah yang dapat ditempuh antara lain:

  • Kepada Pemerintah dan Pembuat Kebijakan: Masukkan hak alam dan perlindungan satwa ke dalam undang-undang serta tata kelola sumber daya alam. Pertimbangkan membentuk lembaga independen yang mewakili kepentingan lingkungan dan makhluk hidup lainnya. Tetapkan wilayah konservasi sebagai koridor migrasi satwa dan perlindungan habitat strategis. Hentikan izin eksploitasi (pertambangan, perkebunan, deforestasi) yang menghancurkan keanekaragaman sebelum solusi pemulihan tersedia. Pastikan proses perencanaan umum selalu melibatkan pakar lingkungan, konservasionis, dan komunitas adat yang menjaga alam.
  • Kepada Akademisi dan Peneliti: Kembangkan riset dan pendidikan yang menekankan perspektif multispecies. Selidiki konflik kepentingan antara komunitas manusia marjinal dengan spesies lokal dan usulkan kebijakan kompromi yang adil. Publikasikan hasil studi kasus keadilan antarspesies untuk memperkaya wacana publik. Arahkan kajian hukum lingkungan pada konsep baru seperti ecocide dan personifikasi alam. Jadikan filosofi dan sejarah gerakan lingkungan (termasuk dari perspektif ilmu sosial dan etika) sebagai bagian dari kurikulum interdisipliner.
  • Kepada Organisasi Lingkungan dan Masyarakat Sipil: Ratakan kritik lingkungan Anda dengan suara-suara hewan dan tumbuhan. Kampanye “hak alam” dan perlindungan spesies harus ditempatkan sejajar dengan isu-isu sosial lainnya. Bentuk aliansi lintas gerakan — misalnya, pegiat hak hewan, petani organik, aktivis iklim, dan masyarakat adat — untuk menyuarakan persamaan nasib di muka kebijakan publik. Manfaatkan jaringan seperti WALHI, Greenpeace, atau lembaga lokal untuk menggelar peringatan Hari Keadilan Ekologis (mis. inisiatif WALHI memperingati 20 September sebagai Hari Keadilan Ekologis Nasional). Aksi bersama ini memperkuat pesan bahwa bumi dan spesies lainnya juga memerlukan keadilan.
  • Kepada Masyarakat Umum dan Pemuda: Pelihara empati pada makhluk lain dalam kehidupan sehari-hari. Kurangi konsumsi produk yang merusak habitat (misalnya produksi daging intensif, deforestasi). Dukung produk lokal berkelanjutan dan perlindungan konservasi. Ajarkan anak-anak Anda menghormati hewan sebagai sesama makhluk hidup. Suarakan keprihatinan Anda lewat media sosial, diskusi publik, dan suara pemilu. Bergabunglah dengan komunitas ramah lingkungan, relawan konservasi, atau forum studi alam. Menurut survei, 41% responden global kini menempatkan perlindungan lingkungan di atas pertumbuhan ekonomi; momentum dukungan publik ini harus diubah menjadi tekanan nyata bagi perubahan kebijakan.

Kita semua harus berperan aktif. Jika kerusakan ekosistem dan kepunahan spesies terus berlanjut tanpa perlawanan, generasi mendatang akan mewarisi kerusakan yang tak termaafkan. Sebaliknya, dengan menjadikan keadilan antarspesies sebagai agenda bersama, kita dapat memantik transformasi sosial yang lebih adil dan berkelanjutan. Akar Global Inisiatif mengajak pembaca untuk menyebarluaskan konsep ini, berkolaborasi lintas disiplin, dan menekan pembuat kebijakan agar menegakkan hak bagi seluruh penghuni planet. Mari bertindak sekarang, karena keadilan di Bumi tidak akan terwujud jika hak kehidupan non-manusia terus diabaikan. Dalam kata lain, pertahankan keadilan bagi seluruh spesies, selagi masih ada waktu dan kesempatan.

 

Sumber Tulisan: Laporan-laporan kegiatan Akar Global Inisiatif dan beberapa sumber bacaan dari Internet.

Language

 - 
Arabic
 - 
ar
Bengali
 - 
bn
German
 - 
de
English
 - 
en
French
 - 
fr
Hindi
 - 
hi
Indonesian
 - 
id
Portuguese
 - 
pt
Russian
 - 
ru
Spanish
 - 
es

Sosial Media

Privacy Preference Center