Oleh Erwin Basrin (Direktur Eksekutif) Akar Global Inisiaitif
Di tengah tantangan perubahan iklim, degradasi ekosistem, ketimpangan akses lahan dan pangan, dan semakin kompleksnya sistem pertanian global, muncul kebutuhan mendesak bagi model-pertanian yang tidak hanya produktif secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial dan lestari secara ekologis. Bagi petani pemegang izin Perhutanan Sosial, pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat dengan izin akses dari negara, keberlanjutan penghidupan mereka tidak hanya bergantung pada status lahan atau hasil komoditas saja, tetapi juga pada bagaimana sistem produksi pangan, gaya hidup keluarga, konsumsi pangan, pengetahuan lokal dan ekosistem hutan mereka terintegrasi dalam satu kesatuan.
Riset Akar Global Inisiatif di Rejang Lebong (2018) mengungkap meskipun banyak keluarga petani perhutanan sosial telah memperoleh akses lahan atau izin pengelolaan, tetapi masih terdapat persoalan dalam sistem foodways (cara memperoleh, memproduksi, mengolah, mengonsumsi makanan) dan ujungnya muncul fenomena hidden hunger (kelaparan tersembunyi: cukup kalori tetapi kurang mikronutrien) di kalangan keluarga petani tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa keberlanjutan penghidupan bagi petani perhutanan sosial tidak bisa hanya berkaitan dengan luas lahan atau produksi komoditas saja, melainkan harus mencakup diversifikasi pangan, kualitas gizi, keanekaragaman ekosistem dan penguatan kesejahteraan sosial-ekologis.
Dalam konteks ini, pemikiran Altieri dan Shiva tentang agroekologi menjadi relevan untuk dijadikan sebagai kerangka analisis. Altieri memberikan kerangka agroekologi sebagai ilmu dan strategi untuk sistem pertanian yang produktif, beragam, tangguh secara ekologis.[1] Shiva menghadirkan perspektif agroekologi sebagai gerakan keadilan pangan, pengakuan benih lokal, kedaulatan pangan, dan relasi antara manusia-alam yang harmonis.[2]
Altieri sebagai salah satu pionir agroekologis modern, menjelaskan bahwa agroekologi adalah ilmu yang menerapkan konsep ekologi dalam sistem pertanian mengelola agro-ekosistem agar memiliki keanekaragaman, integrasi biologis, efisiensi input, ketahanan terhadap guncangan, serta produktivitas yang berkelanjutan. Sistem agroekologi, menurutnya, mendorong pengurangan ketergantungan pada input eksternal (misalnya pupuk kimia, pestisida sintetis) dan menggantikannya dengan proses-proses alamiah seperti kesuburan tanah secara alami, pengendalian hama secara biologis, dan keanekaragaman tanaman.[3]
Salah satu prinsip pentingnya adalah diversifikasi tanaman dan spesies bukan monokultur, tetapi pertanian yang meniru ekosistem alami dengan banyak komponen pohon, tanaman pangan, sayur, legum, ternak dan ringan yang saling mendukung. Dengan demikian, sistem menjadi lebih tangguh menghadapi kondisi buruk, perubahan iklim dan fluktuasi pasar. Altieri juga menekankan bahwa pengetahuan petani lokal, organisasi petani, dan gerakan sosial petani adalah bagian integral dari pengembangan agroekologi, karena bukan hanya teknis lapangan, tetapi juga dimensi sosial-politik dan ekonomi.[4]
Vandana Shiva mengembangkan perspektif agroekologi yang sangat kaya, menghubungkan ekologi, feminisme, keadilan sosial, pengetahuan lokal dan kedaulatan pangan. Shiva menegaskan bahwa sistem pangan bukan sekadar komoditas, tetapi harus dipahami sebagai commons (barang bersama), di mana keberagaman benih, tanaman, pengetahuan tradisional dan hubungan manusia-alam menjadi pusat. Shiva menyebut “when we grow food in accordance with ecological laws, we regenerate the earth, her soil and biodiversity…”[5]
Shiva juga mengkritik pertanian industri dan revolusi hijau yang menurutnya telah merusak tanah, mengurangi biodiversitas, menyebabkan ketergantungan petani pada benih dan input korporasi, dan seringkali meninggalkan petani kecil dalam kondisi yang rentan. Baginya, agroekologi adalah jalan menuju kedaulatan pangan, hak petani untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri, benih mereka sendiri, dan penghidupan mereka sendiri.[6]
Persilangan pemikiran Altieri dan Shiva memberikan kerangka yang lengkap. Dari sisi teknis-ekologi (Altieri) dan dari sisi sosial-politik dan keadilan (Shiva). Jika kita masuk ke dalam konteks perhutanan sosial, dua sisi pemikiran tersebut sangat signifikan, petani perhutanan sosial bukan sekadar pengelola lahan hutan tetapi juga penjaga ekosistem hutan dan sistem pangan lokal. Melalui pendekatan agroekologi memungkinkan mereka untuk memperkuat posisi mereka sebagai subjek, bukan objek, dari kebijakan, sekaligus memperbaiki kualitas penghidupan mereka secara ekologis dan sosial.
Sistem Foodways di Kalangan Petani Perhutanan Sosial
Riset Akar Global Inisiatif yang dilakukan di dua desa di Rejang Lebong (2018) mengungkap bahwa petani yang terlibat dalam skema perhutanan sosial memiliki tantangan spesifik terkait sistem pangan keluarga, foodways yakni cara memperoleh, memproduksi, mengolah dan mengonsumsi pangan serta nilai-budaya yang melekat pada pangan tersebut. Beberapa temuan utama antara lain:[7]
- Meski sudah memiliki akses lahan melalui perhutanan sosial, banyak kelompok petani belum memanfaatkan lahan tersebut untuk diversifikasi pangan rumah tangga secara optimal, produksi cenderung fokus pada komoditas ekonomi (misalnya, kopi)
- Keanekaragaman tanaman pangan lokal, sayur-mayur, buah hutan dan tanaman sela masih rendah. dan ini menyebabkan konsumsi pangan keluarga petani bergantung pada satu atau dua komoditas utama dan pembelian pasar luar untuk keperluan lain.
- Pengetahuan lokal tentang benih, tanaman pangan hutan, sayuran liar atau tanaman sela mulai terkikis, termasuk generasi muda yang lebih memilih pilihan konsumsi modern atau pola makan pasar.
- Infrastruktur (jalan, pasar, logistik), modal, pelatihan teknis, serta kelembagaan kelompok tani di perhutanan sosial masih belum memadai untuk mengembangkan sistem produksi pangan beragam untuk memenuhi konsumsi rumah tangga.
- Selain itu, terdapat relasi antara pengelolaan lahan hutan sosial, jarak ke pasar, beban kerja rumah tangga (termasuk perempuan yang sering bertanggung jawab ganda: ladang + domestik), yang mempengaruhi pilihan produksi dan konsumsi pangan.
Akibat sistem foodways tersebut, muncul fenomena hidden hunger yang merujuk pada kondisi di mana keluarga memiliki cukup kalori untuk makan sehari-hari, tetapi tetap mengalami kekurangan mikronutrien (vitamin, mineral) yang tidak tampak secara langsung sebagai kelaparan fisik tetapi berdampak panjang pada kesehatan, perkembangan anak, produktivitas dan kesejahteraan.[8] Di keluarga petani perhutanan sosial di Rejang Lebong, meskipun produksi pangan mungkin mencukupi secara kuantitas, tetapi pola konsumsi yang kurang beragam, kurangnya sayur-buah dan tanaman nutrien tinggi, dan ketergantungan pada pangan pasar luar menimbulkan risiko hidden hunger bagi anggota keluarga petani termasuk anak-anak dan perempuan hamil.

Misalnya, bila keluarga hanya menanam kopi dan beberapa komoditas utama, tetapi tidak menanam sayuran lokal, buah-buahan, kacang-kacangan, tanaman sela yang bergizi, maka mereka mungkin memperoleh karbohidrat cukup tetapi kekurangan zat besi, vitamin A, zinc, protein kualitas tinggi. Francesco Burchi dalam artikelnya menyebut bahwa sistem pangan dan makanan yang kurang beragam adalah salah satu penyebab utama hidden hunger.[9]
Status lahan sebagai bagian dari skema perhutanan sosial sering juga membawa tantangan berupa lahan jauh dari rumah, modal dan akses teknologi terbatas, kelompok kelembagaan belum kuat sehingga membuat keluarga petani tidak memprioritaskan produksi konsumsi rumah tangga, melainkan produksi komoditas yang cepat hasil atau untuk pasar. Akibatnya, pola konsumsi rumah tangga tetap sederhana dan kurang gizi. Akar Global Inisiatif menemukan beberapa hambatan sistemik antara lain berupa; izin atau status lahan yang belum sepenuhnya stabil dan petani enggan melakukan investasi jangka panjang seperti menanam pohon pangan, tanaman sela, atau sistem agroforestri yang hasilnya panjang.
Kelembagaan kelompok tani perhutanan sosialpun masih lemah pada pendampingan teknis, akses ke pasar, modal mikro, chain value produk pangan lokal kurang dan infrastruktur dan logistik yang buruk, pengetahuan teknis tentang agroekologi, diversifikasi pangan, praktek hutan-sawah, agroforestri, benih lokal masih terbatas di kalangan petani perhutanan sosial. Dan, budaya konsumsi pangan yang sudah berubah, generasi muda mungkin kurang tertarik dengan pangan tradisional atau sayur liar; pasar luar menawarkan konsumsi cepat; hal ini memperlemah sistem foodways lokal. Semua hambatan ini menunjukkan bahwa untuk menjadikan skema perhutanan sosial sebagai jalur keberlanjutan penghidupan yang kuat, perlu ada integrasi antara akses lahan, produksi pangan rumah tangga yang beragam, sistem konsumsi pangan yang sehat, dan penguatan ekosistem hutan dan sosial.
Agroekologi sebagai Jalan Transformasi untuk Keberlanjutan Penghidupan
Dengan mengacu pada kerangka Altieri dan Shiva, berikut beberapa jalur strategis bagaimana agroekologi dapat diterapkan dalam konteks petani perhutanan sosial di Rejang Lebong untuk memperkuat penghidupan mereka. Altieri menyebut diversifikasi tanaman adalah kunci. Petani perhutanan sosial dapat diarahkan untuk mengembangkan sistem agroforestri dan integrasi tanaman pangan rumah tangga yang beragam; misalnya menanam pohon buah, sayur-mayur, legum, tanaman sela, tanaman hutan yang produktif, serta tanaman pangan utama. Sistem ini bisa menggabungkan bagian komoditas ekonomi dan bagian konsumsi rumah tangga yang bergizi. Untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga (tidak hanya mengandalkan satu atau dua tanaman utama), menurunkan risiko bila satu komoditas gagal, menyediakan akses langsung ke pangan yang bergizi untuk keluarga petani serta menjaga keanekaragaman ekosistem, memperkuat kesehatan tanah dan resilensi terhadap perubahan iklim.
Dari perspektif Shiva, diversifikasi ini juga menyangkut keanekaragaman benih lokal, pengetahuan tradisional dan pengakuan pangan lokal sebagai bagian dari identitas dan kedaulatan pangan. Mengembangkan “bank” benih lokal di komunitas, memanfaatkan tanaman sayur/ buah/legum lokal yang telah lama tumbuh di hutan atau di pekarangan hutan sosial, adalah langkah penting. Petani bukan hanya menggunakan benih korporasi atau varietas tunggal, melainkan memegang kendali atas benih mereka sendiri dan ini memperkuat posisi mereka sebagai subjek penghidupan, bukan objek pasar.
Agroekologi menurut Shiva juga menekankan bahwa tanah yang sehat menghasilkan pangan yang sehat. Dalam konteks petani perhutanan sosial, ini berarti bahwa tidak cukup hanya produksi pangan dan harus juga memperhatikan kualitas konsumsi rumah tangga dengan memastikan bahwa keluarga petani mengonsumsi hasil diversifikasi pangan rumah tangga (sayur/ buah/legum) dan tidak hanya menjual semuanya ke pasar serta memperkuat sistem pangan lokal yang menghubungkan antara produksi, konsumsi, pengetahuan lokal dan nilai-budaya pangan; menjaga foodways tradisional yang mendukung kualitas kehidupan. Dengan demikian agroekologi membantu mengatasi hidden hunger bukan melalui suplementasi atau fortifikasi semata, tetapi melalui produksi dan konsumsi yang lebih beragam, lokal, sehat dan berkelanjutan sesuai juga dengan literatur bahwa diversifikasi pangan dan food systems pendekatan adalah kunci dalam mengatasi hidden hunger.
Salah satu dimensi penting yang Shiva tekankan adalah bahwa petani harus menjadi subjek, memiliki hak atas benih, lahan, pengetahuan, dan sistem pangan mereka sendiri. Dalam konteks perhutanan sosial, ini berarti bahwa keberlanjutan penghidupan petani perhutanan sosial tidak akan tercapai hanya dengan pemberian izin atau akses lahan. Lebih dari itu, yang dibutuhkan adalah pengakuan masyarakat sebagai pengelola dan penjaga ekosistem hutan, bukan sekadar penerima izin formal. Mereka adalah pelaku utama sistem pangan lokal yang menghubungkan hutan, lahan, dan kehidupan sehari-hari. Untuk memperkuat peran itu, kelembagaan petani perlu dibangun secara kokoh melalui kelompok tani, koperasi pangan lokal, dan jaringan antarpetani yang berfungsi sebagai ruang pembelajaran kolektif dan solidaritas ekonomi. Sistem pertukaran benih, pasar lokal, dan praktik gotong royong menjadi jalan untuk membangun ekonomi berbasis agroekologi yang memulihkan tanah sekaligus memperkuat ketahanan pangan keluarga.
Transformasi ini memerlukan dukungan kebijakan yang berpihak. Pemerintah daerah perlu memandang hutan adat dan perhutanan sosial sebagai ruang produksi pangan lokal, bukan sekadar kawasan komoditas ekstraktif. Insentif untuk diversifikasi tanaman, perlindungan benih lokal, dan pendampingan agroekologi harus menjadi bagian dari agenda pembangunan daerah. Dalam proses ini, peran perempuan dan generasi muda sangat penting. Sejalan dengan pemikiran eco-feminist Vandana Shiva, perempuan adalah penjaga benih dan pengetahuan pangan lokal yang menopang kehidupan, sementara generasi muda menjadi penghubung nilai-nilai ekologis lintas zaman. Dengan menempatkan mereka di pusat pengelolaan agroekologi, perhutanan sosial dapat tumbuh sebagai ruang hidup yang adil, berdaulat, dan berkelanjutan bukan sekadar proyek pengelolaan lahan, melainkan gerakan merawat bumi dan kehidupan bersama. Transformasi agroekologi bukan hanya teknis lapangan, tapi juga transformasi sosial-politik. Petani perhutanan sosial memperoleh penghidupan yang lebih adil, kuat, mandiri secara pangan dan tidak tergantung pada logika komoditi pasar semata.
Di sisi lain, Altieri menekankan bahwa sistem agroekologi memiliki daya tahan tinggi terhadap berbagai guncangan, baik iklim, pasar, maupun perubahan sosial. Dalam konteks perhutanan sosial di Rejang Lebong, ladang yang dikelola dengan prinsip-prinsip agroekologi—seperti keanekaragaman tanaman, penutupan tanah yang baik, integrasi pohon, dan praktik agroforestri—akan lebih tangguh menghadapi kebakaran hutan, erosi, curah hujan ekstrem, serta fluktuasi harga komoditas. Diversifikasi produksi pangan rumah tangga dalam sistem ini juga menciptakan cadangan pangan internal yang memperkuat ketahanan keluarga ketika akses pasar atau komoditas ekonomi terganggu. Lebih jauh, penerapan agroekologi tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga memulihkan kesehatan ekosistem hutan sebagai aset utama petani perhutanan sosial, menegaskan peran mereka bukan sekadar sebagai pengelola lahan produksi, melainkan sebagai penjaga ruang hidup yang menopang keberlanjutan ekologis dan sosial.
Riset Akar Global Inisiatif di Rejang Lebong mengungkap bahwa meskipun skema perhutanan sosial menawarkan akses lahan dan potensi penghidupan bagi petani, kenyataannya banyak keluarga petani masih terjebak dalam pola produksi-komoditas, pola konsumsi sederhana, dan rawan hidden hunger. Ini menunjukkan bahwa akses lahan saja tidak cukup untuk menghasilkan keberlanjutan penghidupan diperlukan pendekatan yang lebih holistik.
Agroekologi, sebagaimana dikembangkan oleh Altieri dan Shiva, menawarkan kerangka yang mampu menggabungkan produksi pangan, konsumsi keluarga, keanekaragaman ekosistem, pengetahuan lokal, keadilan sosial dan kedaulatan petani. Dalam konteks perhutanan sosial, petani berada dalam posisi strategis untuk mengelola hutan dan pangan secara terpadu namun untuk menjalankan transformasi tersebut perlu dukungan teknis, kelembagaan, modal, dan kebijakan yang tepat.
Tantangan besar tetap ada, antara lain; kapasitas kelembagaan petani masih terbatas, modal dan akses pasar lokal masih lemah, pengetahuan agroekologi kurang tersebar, dan pola konsumsi pangan keluarga belum berubah secara signifikan. Pada saat yang sama, kawasan hutan sosial sering berada di lokasi dengan infrastruktur terbatas dan akses pasar jauh menjadi hambatan untuk diversifikasi pangan dan pemasaran hasil. Namun, potensi untuk transformasi tetap kuat, hutan sosial menyediakan ekosistem yang kaya biodiversitas, potensi benih lokal dan tanaman hutan/selah yang bisa dimanfaatkan, dan komunitas petani yang sudah terhubung dengan kebijakan perhutanan sosial sebagai jalur penghidupan baru.
[1] Miguel A. Altieri, Agroecology: The Science of Sustainable Agriculture, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 1995), 5–8.
[2] https://thetenurefacility.org/article/there-is-no-food-without-forest-there-is-no-forest-without-collective-indigenous-rights-an-interview-with-vandana-shiva/
[3] Miguel A. Altieri Clara I. Nicholl, Agroecology and the Search for a Truly Sustainable Agriculture 1st edition (University of California, Berkeley, 2025)
[4] https://bioneers.org/the-social-and-political-aspects-of-agroecology-an-interview-with-miguel-altieri/
[5] https://foodprint.org/blog/vandana-shiva-is-still-mad/
[6] https://navdanyainternational.org/key-issues/agroecology/
[7] https://akar.or.id/pramasty-ayu-kusdinar-perubahan-sistem-foodway-memicu-kelaparan-tersembunyi-bagi-masyarakat-sekitar-hutan/
[8] Hodge, Judith. 2016. Hidden hunger: Approaches to tackling micronutrient deficiencies. In Nourishing millions: Stories of change in nutrition. Gillespie, Stuart; Hodge, Judith; Yosef, Sivan; and Pandya-Lorch, Rajul (Eds.) Ch. 4 Pp. 35-43. Washington, DC: International Food Policy Research Institute (IFPRI). https://doi.org/10.2499/9780896295889_04
[9] Burchi F, Fanzo J, Frison E. The role of food and nutrition system approaches in tackling hidden hunger. Int J Environ Res Public Health. 2011 Feb;8(2):358-73. doi: 10.3390/ijerph8020358. Epub 2011 Jan 31. PMID: 21556191; PMCID: PMC3084466.
