Oleh Erwin Basrin (Direktur Eksekutif) Akar Global Inisiaitif
“Agroecology is a science of hope—its practice is the recovery of autonomy and dignity.” Tulis Altieri (2018), dan Shiva (2005) menegaskan “To care for the earth and to care for each other are not separate acts, they are the same practice of freedom.”
Perhutanan sosial di Indonesia berperan penting sebagai strategi negara untuk memperbaiki ketimpangan akses terhadap sumber daya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Namun, implementasinya menghadapi tantangan berupa kapasitas kelembagaan petani masih terbatas, akses pasar dan permodalan lemah, serta pengetahuan agroekologi belum tersebar luas.
Saya masih mengunakan kerangka pemikiran Miguel Altieri tentang agroekologi dan Vandana Shiva tentang ekofeminisme dan kedaulatan benih, seperti tulisan sebelumnya. Tulisan ini berupaya untuk membangun kerangka analisis baru bagi perhutanan sosial sebagai arena transformasi sosial-ekologis. Melalui pendekatan kualitatif teoretik, tulisan ini menunjukkan bahwa tantangan kelembagaan, pasar, dan pola konsumsi tidak dapat diatasi hanya dengan intervensi teknis, tetapi memerlukan transformasi epistemic berupa pengakuan kembali terhadap pengetahuan lokal, biodiversitas, dan ekonomi kehidupan. Diperlukan desain kelembagaan agroekologis yang menempatkan petani sebagai subjek ilmu, perempuan sebagai penjaga biodiversitas, dan hutan sosial sebagai laboratorium keadilan ekologis.
Program perhutanan sosial (PS) merupakan salah satu agenda strategis pemerintah Indonesia dalam reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam berbasis keadilan sosial. Hingga 2023, lebih dari 5 juta hektar lahan hutan telah diberikan izin kelola kepada masyarakat (KLHK, 2023). Namun, capaian kuantitatif tersebut belum sepenuhnya mencerminkan keberhasilan substantif. Di banyak lokasi, kelompok tani hutan (KTH) masih berfungsi administratif, belum menjadi basis transformasi ekonomi dan ekologi masyarakat (Antoro et al., 2021).
Kelembagaan yang lemah membuat KTH sulit bernegosiasi dengan pasar dan lembaga keuangan. Di sisi lain, perubahan sosial-ekologis belum berjalan seimbang seperti diversifikasi pangan belum kuat, sistem pengetahuan lokal terdesak oleh paradigma agribisnis, dan Perempuan yang berperan penting dalam produksi dan pengolahan hasil hutan masih sering tersingkir dari struktur pengambilan keputusan.
Masalah-masalah ini bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan epistemologis ketika cara berpikir pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai objek dan alam sebagai sumber daya mati. Di sinilah, menurut saya pemikiran Miguel Altieri dan Vandana Shiva menjadi penting.
Kedua pemikiran ini memandang bahwa krisis ekologi modern bukan semata akibat kesalahan manajemen, melainkan hasil dari sistem pengetahuan yang terputus dari kehidupan (Altieri, 2002; Shiva, 1993). Altieri menawarkan agroecology sebagai paradigma ilmiah yang menempatkan petani dan alam dalam hubungan simbiotik, sementara Shiva mengajukan ekofeminisme dan kedaulatan benih sebagai kritik terhadap patriarki dan kapitalisme dalam sains dan ekonomi.
Tulisan ini berupaya mempertemukan kedua kerangka tersebut untuk membaca ulang perhutanan sosial sebagai arena transformasi epistemik dari proyek pembangunan menjadi gerakan agroekologis berbasis kedaulatan dan solidaritas.
Altieri mendefinisikan agroekologi sebagai the application of ecological concepts and principles to the design and management of sustainable agroecosystems (Altieri, 1995). Namun, bagi Altieri, agroekologi bukan hanya sains, tetapi juga gerakan sosial dan politik (Altieri & Nicholls, 2017). Ia menolak model Green Revolution yang memusatkan kekuasaan pada korporasi benih dan kimia. Agroekologi justru mengandalkan keanekaragaman hayati, pengetahuan lokal, dan interaksi harmonis antara manusia dan alam.
Menurut Altieri (1995), agroekologi dibangun atas lima prinsip dasar yang saling berkaitan dan membentuk fondasi sistem pertanian berkelanjutan. Pertama, keanekaragaman (diversity), yaitu upaya menanam berbagai jenis tanaman untuk memperkuat daya tahan ekosistem terhadap hama, penyakit, dan perubahan iklim. Kedua, sinergi (synergy), yang menekankan pentingnya hubungan timbal balik antara tanaman, hewan, manusia, dan lingkungan agar tercipta keseimbangan produktif. Ketiga, daur ulang (recycling), di mana limbah organik dari hasil pertanian dikembalikan ke tanah untuk menjaga kesuburan dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Keempat, integrasi (integration), yakni memadukan sistem pertanian dengan peternakan dalam satu kesatuan yang saling mendukung, misalnya penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk alami. Terakhir, efisiensi (efficiency), yang berarti mengoptimalkan sumber daya lokal dan meminimalkan penggunaan input eksternal agar sistem pertanian lebih mandiri, berketahanan, dan ramah lingkungan. Bagi Altieri, transformasi agroekologis bukan hanya mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik, tetapi mengubah relasi pengetahuan dari sains yang hierarkis menjadi pengetahuan yang kolaboratif dan partisipatif.
Vandana Shiva mengembangkan gagasan ekofeminisme sebagai perlawanan terhadap kolonisasi tubuh perempuan dan alam oleh kapitalisme modern (Shiva, 1988). Ia berpendapat bahwa perempuan adalah penjaga utama kehidupan karena perannya dalam pengelolaan benih, air, dan pangan. Melalui konsep seed sovereignty, Shiva (2005) menegaskan bahwa benih bukan hanya sumber pangan, tetapi simbol kedaulatan hidup. Ketika benih dipatenkan dan dikomersialisasi, manusia kehilangan kendali atas masa depan ekologinya. Ia menyebut fenomena itu sebagai biopiracy pencurian kehidupan melalui hukum.
Shiva juga memperkenalkan istilah monocultures of the mind (1993) sistem berpikir modern yang menolak keragaman. Menurutnya, homogenisasi pertanian dan pikiran adalah akar dari krisis ekologi global. Karena itu, strategi perubahan harus menghidupkan kembali biodiversity of knowledge, di mana sains modern dan pengetahuan lokal saling melengkapi.
Kedua pemikiran ini bertemu pada satu titik yaitu pengetahuan sebagai arena perlawanan. Altieri menempatkan petani sebagai ilmuwan ekologis, sedangkan Shiva menempatkan perempuan sebagai penjaga kehidupan. Keduanya menolak reduksi alam menjadi komoditas dan ilmu menjadi instrumen kekuasaan. Maka, agroekologi bukan hanya soal bagaimana bertani, tetapi bagaimana kita mengenal dan hidup bersama alam. Kerangka analisis ini menuntun pembacaan baru terhadap perhutanan sosial sebagai ruang epistemologis, tempat bertemunya pengetahuan rakyat, biodiversitas, dan kedaulatan.
Analisis Kontekstual: Tantangan dan Potensi Perhutanan Sosial
Banyak KTH dibentuk untuk memenuhi syarat administratif perizinan, bukan karena dorongan dari bawah. Akibatnya, kelembagaan sering tidak berakar. Studi Antoro et al. (2021) menemukan bahwa lebih dari 60% kelompok perhutanan sosial belum memiliki struktur pembelajaran internal, sistem pencatatan produksi, maupun mekanisme transparansi keuangan.
Dari perspektif agroekologi, kelembagaan yang ideal bukan hanya wadah ekonomi, tetapi juga ekosistem pengetahuan. Altieri (2018) menekankan pentingnya farmer-to-farmer learning networks—jaringan antarpetani yang memungkinkan pertukaran ilmu dan pengalaman. Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat diwujudkan melalui Sekolah Lapang Agroekologi (SLA) dan Perpustakaan Hutan Sosial.
Keterbatasan modal dan akses pasar membuat petani hutan juga bergantung pada tengkulak. Jalan rusak, biaya transportasi tinggi, dan tidak adanya fasilitas penyimpanan memperparah situasi. Akibatnya, hasil hutan dijual murah. Altieri (2002) mengingatkan bahwa sistem pasar modern menciptakan ketergantungan structural. Petani tidak hanya kehilangan nilai ekonominya, tetapi juga kehilangan nilai ekologis dari kerja mereka.
Sebaliknya, Shiva (2005) mendorong pembentukan local living economies ekonomi hidup berbasis solidaritas, bukan persaingan. Model pasar agroekologis desa, koperasi perempuan, dan Community Supported Agriculture (CSA) bisa menjadi solusi. Pendekatan ini memperpendek rantai pasok dan memperkuat hubungan kepercayaan antara produsen dan konsumen.
Pengetahuan Agroekologi dan Pola Konsumsi
Pengetahuan agroekologi belum menjadi bagian utama dalam pendidikan formal maupun pelatihan KTH. Sebagian besar pelatihan masih berfokus pada aspek administrasi izin dan akses pendanaan. Padahal, seperti dikatakan Altieri (2004), keberhasilan agroekologi ditentukan oleh kemampuan masyarakat memahami ekologi setempat. Pengetahuan lokal tentang tanah, air, dan musim harus dijadikan fondasi inovasi.
Pola konsumsi rumah tangga juga menjadi tantangan. Masyarakat masih bergantung pada beras, gula, dan minyak sawit, sementara bahan pangan lokal (umbi, jagung, pisang hutan) dianggap inferior. Shiva (1993) menyebut fenomena ini sebagai cultural colonization of taste penjajahan rasa oleh sistem pangan industri. Transformasi konsumsi memerlukan gerakan kultural, bukan hanya penyuluhan. Program Dapur Agroekologi dan Sekolah Pangan Lokal yang dikelola perempuan dapat menjadi strategi perubahan yang efektif.
Re-institusionalisasi Pengetahuan Lokal
Untuk menjawab keterbatasan kelembagaan dan pengetahuan, perlu dilakukan re-institusionalisasi pengetahuan rakyat yakni mengembalikan fungsi kelembagaan sebagai ruang pembelajaran ekologis.
Langkah-langkah konkret untuk mewujudkan sistem agroekologi yang berkelanjutan dapat dimulai dengan pemetaan pengetahuan lokal melalui riset partisipatif (Participatory Rural Appraisal), agar setiap inovasi yang dikembangkan berakar pada kearifan dan pengalaman masyarakat setempat. Selanjutnya, dibentuk pusat pembelajaran agroekologis (community lab) di setiap Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai ruang praktik bersama untuk menguji pembuatan pupuk organik, menerapkan rotasi tanaman, serta melakukan rehabilitasi lahan secara mandiri dan berkelanjutan.
Selain itu, integrasi dengan sekolah formal menjadi strategi penting untuk melibatkan generasi muda dalam proses dokumentasi biodiversitas hutan, sehingga pengetahuan ekologis dan nilai-nilai pelestarian alam dapat diwariskan dan diperkuat melalui pendidikan lintas generasi. Dalam pandangan Altieri (2018), transformasi seperti ini akan menciptakan autonomous rural research systems ilmu yang tumbuh dari kebutuhan rakyat, bukan dari proyek.
Ekonomi Kehidupan dan Peran Perempuan
Perempuan di kawasan hutan sosial memainkan peran sentral dalam pengelolaan pangan, air, dan benih. Namun, mereka jarang diikutsertakan dalam perencanaan kegiatan KTH. Pemikiran Vandana Shiva (2005) memberi kerangka untuk membalik keadaan ini. Ia memperkenalkan konsep earth democracy, di mana kehidupan bukan laba menjadi pusat ekonomi. Dalam model ini, kerja perawatan (care work), memasak, menanam, dan merawat alam dipandang sebagai kontribusi ekonomi yang nyata.
Program Dapur Agroekologi dapat dijadikan manifestasi ekonomi kehidupan dimana perempuan mengolah hasil kebun dan hutan menjadi produk pangan bernilai tambah. Selain memberi pendapatan, kegiatan ini memperkuat solidaritas dan kedaulatan pangan rumah tangga.
Perempuan juga menjadi penjaga benih lokal. Mereka tahu kapan menanam, bagaimana menyimpan, dan mana varietas yang tahan kekeringan. Dalam kerangka Shiva, ini adalah bentuk epistemic agency, hak perempuan untuk menentukan masa depan ekologinya sendiri.
Ekonomi Agroekologis dan Pasar Solidaritas
Transformasi pasar tidak dapat dicapai hanya dengan memperbaiki logistik. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma ekonomi. Altieri & Nicholls (2017) menulis bahwa agroekologi harus membangun new market ethics: etika pasar yang berpihak pada produsen kecil dan lingkungan. Prinsipnya: adil, lokal, dan transparan.
Model pasar solidaritas agroekologis bisa dikembangkan melalui sistem langganan antara petani dan konsumen (CSA), pasar mingguan komunitas yang menjual produk lokal dan label ekologi rakyat sebagai alternatif dari sertifikasi organik komersial. Shiva (2005) menekankan bahwa pasar seperti ini bukan hanya tempat transaksi, tetapi ruang pertemuan nilai dan tempat solidaritas menggantikan kompetisi.
Dengan tantangan struktural yang kompleks yang dihadapi oleh Perhutanan Sosial berupa lemahnya kelembagaan, ketimpangan akses pasar, pengetahuan agroekologi yang terbatas, dan pola konsumsi yang seragam. Melalui kerangka agroekologi Altieri dan ekofeminisme Shiva, hutan sosial dapat dilihat bukan sebagai lahan produksi semata, melainkan ruang transformasi sosial-ekologis.
Dari analisis di atas, terdapat tiga arah strategis kebijakan dan aksi yang dapat dilakukan yaitu; Pertama. restorasi pengetahuan lokal dan agroekologi partisipatif,
pemerintah perlu memfasilitasi learning hub agroekologi di tingkat desa, mendorong riset kolaboratif antara petani, perempuan, dan lembaga pendidikan. Kedua, ekonomi kehidupan dan inklusi Perempuan dalam bentuk pengakuan peran perempuan dalam ekonomi hutan harus diwujudkan dalam akses terhadap tanah, modal, dan ruang kepemimpinan. Program pemberdayaan sebaiknya diarahkan pada penguatan kapasitas produksi dan pengolahan pangan lokal. Ketiga, Reformasi pasar dan infrastruktur solidaritas. pasar agroekologis berbasis komunitas perlu diperkuat melalui dukungan logistik, promosi produk lokal, dan mekanisme pembiayaan sosial.
Daftar Pustaka
- Altieri, M. A. (1995). Agroecology: The science of sustainable agriculture (2nd ed.). Boulder, CO: Westview Press.
- Altieri, M. A. (2002). Agroecology: The science of natural resource management for poor farmers in marginal environments. Agriculture, Ecosystems & Environment, 93(1–3), 1–24.
- Altieri, M. A. (2004). Linking ecologists and traditional farmers in the search for sustainable agriculture. Frontiers in Ecology and the Environment, 2(1), 35–42.
- Altieri, M. A., & Nicholls, C. I. (2017). Agroecology: A brief account of its origins and currents of thought in Latin America. Agroecology and Sustainable Food Systems, 41(3–4), 231–237.
- Altieri, M. A. (2018). Agroecology: Small farms as a planetary solution. Oakland, CA: Food First.
- Antoro, D., Satria, A., & Suharjito, D. (2021). Peran kelembagaan kelompok tani hutan dalam penguatan perhutanan sosial. Jurnal Ilmu Kehutanan, 15(2), 245–260.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2023). Laporan capaian perhutanan sosial nasional 2016–2023. Jakarta: KLHK.
- Shiva, V. (1988). Staying alive: Women, ecology and development. New Delhi: Kali for Women.
- Shiva, V. (1993). Monocultures of the mind: Perspectives on biodiversity and biotechnology. London: Zed Books.
- Shiva, V. (2005). Earth democracy: Justice, sustainability and peace. Cambridge, MA: South End Press.
