Bengkulu, 10 November 2025. Sebanyak 20 orang perwakilan pemuda, perempuan, dan pegiat usaha perhutanan sosial serta hutan adat dari Kabupaten Lebong mengikuti Pelatihan Community Enterprise untuk Kelompok Usaha Komunitas Masyarakat Adat, yang berlangsung selama dua hari di Hotel Xtra Kota Bengkulu.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Akar Global Inisiatif bekerja sama dengan Pengelola Hutan Adat Kabupaten Lebong, sebagai bagian dari upaya memperkuat kapasitas ekonomi masyarakat adat berbasis kearifan lokal dan keberlanjutan ekologis.
Dalam sambutannya, Pramasty Ayu Kusdinar, Program Manager Akar Global Inisiatif, menjelaskan bahwa pelatihan ini dirancang untuk memperkenalkan konsep community enterprise model usaha yang menempatkan komunitas sebagai pemilik sekaligus pengelola utama sumber daya ekonomi mereka sendiri.
“Community enterprise bukan sekadar bisnis. Ini adalah cara masyarakat adat mengelola ekonomi dengan berpegang pada nilai-nilai gotong royong, transparansi, dan tanggung jawab ekologis,” ujarnya di hadapan peserta yang datang dari berbagai wilayah seperti Kecamatan Topos, Plabai, Lebong Atas dan Uram Jaya.
Dinar menambahkan, pelatihan ini menjadi momentum penting untuk mengembalikan semangat ekonomi adat di tengah tantangan pembangunan modern. “Kami ingin masyarakat adat tidak hanya bertahan, tetapi juga memimpin perubahan ekonomi berbasis komunitas,” katanya.
Para peserta berasal dari beragam latar belakang pemuda adat, kelompok perempuan pengrajin hasil hutan bukan kayu (HHBK), hingga pengelola perhutanan sosial dan hutan adat. Mereka datang membawa pengalaman masing-masing dalam mengelola sumber daya lokal, seperti madu hutan, kopi organik, rotan, dan tanaman herbal.
Resi Widya (37), perwakilan kelompok perempuan dari Uram Jaya, mengaku pelatihan ini membuka pandangannya tentang pentingnya pengelolaan usaha bersama.
“Selama ini kami hanya menjual hasil hutan secara individu. Lewat pelatihan ini kami belajar bagaimana membangun usaha kolektif dan menghitung keuntungan secara adil,” ungkapnya.
Sementara itu, Yosep Mardianse (28), pemuda dari Kecamatan Topos yang aktif dalam pengelolaan hutan adat, mengatakan bahwa pelatihan ini membantu dirinya memahami hubungan antara kelestarian hutan dan kesejahteraan ekonomi.
“Kami belajar bahwa menjaga hutan berarti menjaga masa depan ekonomi kami sendiri. Konsep community enterprise ini menghubungkan dua hal itu secara konkret,” ujarnya
Selama pelatihan, peserta mengikuti beberapa sesi tematik seperti “Konsep Dasar Community Enterprise”, “Kelembagaan Ekonomi Komunitas”, dan “Perencanaan Bisnis Berbasis Nilai Adat”. Fasilitator menggunakan metode partisipatif dan learning by doing untuk mendorong peserta menganalisis potensi ekonomi lokal di masing-masing kampung.
Dalam salah satu sesi, peserta dibagi ke dalam kelompok dan diminta menyusun rancangan rencana usaha komunitas. Ide-ide yang muncul antara lain pengembangan madu hutan Lebong sebagai produk unggulan daerah, pengolahan kopi lokal dengan branding berbasis adat, dan pembuatan teh herbal dari tanaman hutan.

“Semua ide ini berangkat dari pengetahuan lokal dan sumber daya yang sudah ada. Kami hanya membantu mereka melihat nilai tambah dan cara memperkuat kelembagaannya,” jelas Sulastri, fasilitator pelatihan.
Pelatihan ini juga menghadirkan sesi diskusi bersama perwakilan Asosiasi UMKM Bengkulu Bersatu Provinsi Bengkulu, yang menyoroti pentingnya sinergi antara pelaku usaha mikro, komunitas adat, dan berbagai pihak dalam memperkuat ekonomi berbasis nilai lokal.
Dalam sesi tersebut, Harzonzori, Ketua Asosiasi UMKM Bengkulu Bersatu, menyampaikan bahwa asosiasi berkomitmen untuk mendukung dan memperkuat inisiatif ekonomi komunitas adat yang berakar pada nilai budaya dan kelestarian lingkungan. Menurutnya, kerja sama antara UMKM dan komunitas adat dapat membuka peluang pasar yang lebih luas sekaligus mendorong tumbuhnya ekonomi daerah yang mandiri dan berkelanjutan.
“Kami ingin membantu kelompok-kelompok ini mendapatkan legalitas usaha, akses permodalan, dan peluang pasar yang lebih luas. Tapi kami juga belajar dari mereka bagaimana nilai adat bisa menjadi fondasi ekonomi yang kuat,” ujarnya.
Selain sesi materi, pelatihan juga menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Forum Ekonomi Komunitas Adat Lebong, yang akan menjadi wadah komunikasi antar kelompok usaha dan jaringan pasar etis di tingkat provinsi. Forum ini diharapkan menjadi cikal bakal sistem ekonomi adat yang mandiri, berkelanjutan, dan inklusif.
Menutup kegiatan, para peserta menyatakan komitmen untuk mengembangkan usaha berbasis komunitas di kampung masing-masing dengan prinsip keberlanjutan. Bagi mereka, pelatihan ini bukan hanya tentang cara berbisnis, tetapi tentang menemukan kembali cara hidup yang selaras dengan alam dan sesama.
“Community enterprise adalah jalan pulang bagi ekonomi adat,” ujar Yarni Eliza (26), peserta dari MHA Demong Samin. “Kami ingin membangun usaha yang tidak merusak hutan, tapi justru menumbuhkan kehidupan di sekitarnya.”
Dengan semangat itu, pelatihan community enterprise di Hotel Xtra Bengkulu menandai langkah awal baru bagi masyarakat adat Lebong dalam membangun ekonomi yang berakar, adil, dan berkelanjutan dari hutan, oleh komunitas, untuk masa depan bersama.
