Mendedah Kronologis Asal Mula Konflik
Kegagalan kaum politisi liberal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia telah melahirkan Politik Kolonial Etis di Hindia Belanda pada awal abad XX. Politik Kolonial Etis di dasarkan pada pemikiran Van Deventer tentang tiga hal untuk mensejahterakan rakyat Jawa yaitu pembangunan pendidikan, pembangunan sarana irigasi dan emigrasi penduduk Jawa keluar Jawa. Program kolonisasi sendiri awalnya bagian dari politik balas budi yang dirancang oleh penjajah Belanda. Semula kolonisasi dilakukan Belanda sebagai tanggapan atas tulisan C. Th. van Deventer, “En Ereschuld” (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids tahun 1899. Tulisan itu menceritakan kemiskinan di Pulau Jawa akibat Peraturan Tanam Paksa (Cultuur stelsel). Tahun 1860 Multatuli (nama samaran Douwes Dekker, Asisten Residen Lebak, Banten) menulis buku Max Havelaar. Buku ini mengisahkan tentang penderitaan petani teh akibat tekanan pejabat pemerintah Belanda. Tulisan singkat transmigrasi mendapat tanggapan dari Raja Belanda, dan menugaskan Minister van Kolonien untuk melakukan program perbaikan. Sehingga Pemerintah Belanda mengenalkan Politik Balas Budi (Etische Politiek). Politik balas budi adalah upaya memperbaiki nasib warga pribumi, melalui irigasi, edukasi, dan kolonisasi.
Untuk merealisasikan hal itu, maka bulan November 1905 dimulailah pengiriman kolonisasi, Berturut-turut sejak tahun 1906 sampai 1942 telah diberangkatkan sebanyak 30 kali, salah satu daerah tujuannya adalah Kepahiang Bengkulu. Tahun 1927 dalam Harian Soeloeh Indonesia Soekarno memperkenalkan istilah transmigrasi untuk pertama kali sebagai warga pribumi. Setahun setelah Kemerdekaan, dalam Konferensi Ekonomi di Kaliurang, Yogyakarta, 3 Februari 1946, Wakil Presiden Bung Hatta menyebutkan pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan industrialisasi di luar Jawa. Baru tahun 1948 pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi yang diketuai oleh A. H. D. Tambunan. Walaupun telah terbentuk kepanitiaan, keputusan yang menyangkut masalah transmigrasi baru diambil pada tahun 1950.
Tahun 1954, pemerintahan Soekarno mengirim 600 orang yang dibagi dalam 12 kelompok, dan masing-masing kelompok beranggotakan 50 orang. 600 orang ini berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta. Tujuan transmigrasi adalah wilayah Bengko dan Sengkuang Kabupaten Kepahiang. Sengkuang adalah suatu kawasan yang terletak di lereng vulkanik Bukit Daun merupakan bagian dari kewilayaan adat Marga Bermani Ilir, secara administratif berada di Kecamatan Kabawetan Kabupaten Kepahiang Propinsi Bengkulu.
Sampai pertengahan tahun 1920-an, Sengkuang merupakan wilayah adat Bermani Ilir dan masyarakat adatnya belum mengenal ada aturan kehutanan sehingga dapat dikatakan hutan masih dikuasai oleh rakyat dalam bentuk hutan adat atau wilayah adat yang diatur melalui kearifan dan hukum adat Rejang. Baru di tahun 1927 Pemerintahan Penjajahan Belanda mulai melaksanakan peraturan pengelolaan hutan dengan diawali membagi lahan hutan, sebagian kecil untuk rakyat dan sebagian besar untuk pemerintah kolonial. Pemisahan kawasan hutan ini dikenal masyarakat dengan sebutan ’BW atau Boshwesen’. Batas antara tanah marga dengan hutan negara ditandai dengan ”Pilar” yang disebut ”Batas”. Pemerintah kolonial Belanda mengangkat petugas untuk mengawasi hutan yang dikenal dengan sebutan ”Mantri imbo” untuk mengontrol hutan namun di masukan kedalam struktur pemerintahan marga.
Tahun 1954, peserta transmigrasi yang berjumlah 600 orang ini mulai membuka hutan dan membangun pondok-pondok yang mereka sebut dengan “Bedengan” sebagai tempat tinggal sementara di dalam hutan serta membuka hutan untuk lahan garapan. Tahun 1950-an adalah masa dimana kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Sehingga memunculkan konflik yang dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat.
Tahun 1959 Pemberontakan PRRI sampai di wilayah Bengkulu dan menjadikan wilayah Sengkuang dan rumah-rumah “Bedengan” di jadikan sebagai Markas Milisi, karena sering terjadinya kontak senjata peserta transmigrasi mengungsi turun ke wilayah yang tidak jauh dari Perkebunan Teh Kabawetan. Di tempat baru inilah dibangun rumah-rumah sementara di sepanjang wilayah Bukit Melintang dan Air Sempiang sambil berharap bisa kembali lokasi pertama mereka setelah kondisi diangap aman dan kondusif. Perkampungan sementarapun berkembang dan menjadi perkampungan definitif secara administratif dan diberi nama khas pendatang dari Pulau Jawa seperti Bandung Baru, Suka Sari, Tugu Rejo dan lain-lain, perkampungan pertama yang berada di dalam hutan mereka tinggalkan dan dijadikan sebagai lahan garapan setelah kondisi politik kondusif dan dibekukannnya PRRI.
Data yang disusun oleh Pramasty Ayu Kusdinar (Koordinator Program Akar Foundation, 2017) menjelaskan bahwa konflik dengan kawasan pertanahan (tanah masyarakat dengan tanah negara) baru muncul secara tajam sejak tahun 1980-an. Tanah garapan dan pemukiman masyarakat transmigrasi dulunya adalah tanah miliki Marga Bermani Ilir dan penyerahannya dilakukan oleh Pesirah Do’ib sebagai Kepala Marga Bermani Ilir di tahun 1954, menyerahkan sebagian wilayah Marga Bermani Ilir untuk dialokasikan sebagai wilayah tempatan transmigrasi. Selain wilayah adat Marga Bermani Ilir, di wilayah yang peruntukan tanmigrasi ini terdapat konsesi perkebunan teh miliki Pemerintah Hindia-Belanda. Pasca kemerdekaan, perkebunan tersebut diambil alih pemerintah Indonesia, hingga tahun 1965 perkebunan yang telah di nasionalisasi ini dikelola oleh PT Trisula Ujung Mega Surya, Pemerintah Daerah Tingkat I Bengkulu mengambil alih perkebunan pada 1975-1979 bersama dengan PT Kabawetan. Tahun 1980, perkebunan teh di sewakan pada PTPN XXIII dengan luas lahan 1.911,7 hektar dan masa sewa perkebunan tersebut berakhir di tahun 1988, pada tahun 1989 perkebunan tersebut diambil alih oleh Perusahaan Swasta PT Kepahiang Indah dengan menambah luas lahan perkebunan hingga mencapai 3.500 Ha. PT Kepahiang Indah membuka usaha perkebunan teh dan kopi yang tersebar di 2 Kabupaten, yakni Kabupaten Rejang Lebong tepatnya di Kecamatan Padang Ulak Tanding dan Kabupaten Kepahiang di Kecamatan Kabawetan. Total luas wilayah tersebut adalah 1.000 ha di Kabupaten Rejang Lebong dan 1.500 ha di Kabupaten Kepahiang. Menurut masyarakat setempat, wilayah perkebunan ini tumpang tindih dengan wilayah kelola dan pemukiman masyarakat.
Selain tumpang tindih dengan kawasan konsesi perkebunan, wilayah kelola dan pemukiman masyarakat juga tumpang tindih dengan kawasan hutan negara. Oleh negara, wilayah kelola masyarakat diklaim masuk dalam kawasan Hutan Lindung Bukit Kaba melalui Surat Penunjukan R.B No. 4 tanggal 8 September 1962. Tahun 1986 terjadi perubahan status hutan lindung menjadi hutan konservasi yang dilegalkan melalui SK Menteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/86 tanggal 29 Mei 1986 tentang perubahan status Hutan Lindung Bukit Kaba menjadi Taman Wisata Alam (TWA) CQ Taman Wisata dengan luas ± 13.490 ha. Tahun 2012 melalui Keputusan Menteri Kehutanan No SK.784/Men-Hut-II/2012 tanggal 27 desember 2012 Pemerintah melakukan penunjukan kawasan TWA Bukit Kaba. Dan, di tahun 2014 kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Hutan TWA Bukit Kaba seluas 14.650,51 Ha melalui surat keputusan Menteri Kehutanan No SK. 3.981/Men-Hut-VII.KUH/2014 ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2014.
Kondisi penguasaan oleh Negara dan penggarapan oleh masyarakat seperti pada narasi singkat diatas merupakan aspek utama dari mana sengketa-sengketa tanah harus segera diselesaikan, karena hakekatnya masalah tanah adalah masalah pembagiannya, penyebarannya atau distribusinya yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam proses produksi. Dan hal ini bertalian erat dengan masalah penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan ekonomi dan penguasaan politik. Terpusatnya penguasaan atas tanah berkontribusi pada ketimpangan, berpengaruh pada pembagian pendapatan secara ekonomi serta mendorong ke arah polarisasi masyarakat miskin dan menguatnya resistensi negara dalam menguasai tanah.
Menelisik Upaya Penyelesaian “Jalan Tengah” Atas Konflik Yang Terjadi
Dari pengalaman konflik yang terjadi di Indonesia, faktor kesenjangan ekonomi merupakan titik rawan bagi munculnya konflik. Selain itu akibat meluasnya kesenjangan ekonomi dan lemahnya keberdayaan individu dalam situasi sosial, telah menciptakan sikap skeptis dalam masyarakat. Proses kesenjangan tersebut disebabkan berbagai faktor. Diantaranya faktor sulitnya kesempatan untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan adanya sistem distribusi yang yang profesional, akibatnya struktur kepemilikan ekonomi masyarakat menjadi terpilah secara tajam.
Dalam memahami konflik harus dipahami bahwa setiap orang memiliki pandangan yang acap kali beragam tentang suatu hal. Demikian juga dengan kelompok masyarakat, entitas sosial dan politik. Masing-masing memiliki pandangan berbeda-beda, sejarah dan karakter yang unik, di besarkan dengan cara hidup dan budaya tertentu, memiliki nilai-nilai yang memandu pikiran, prilaku dan motivasi setiap megambil atau menolak tindakan tertentu. Karena itu, semakin banyak pola interaksi maka pandangan yang ada akan semakin banyak. Ada kalanya pandangan tersebut dapat disamakan, tetapi ada kalanya perbedaan pandangan tidak dapat dihindarkan. Penetapan status suatu wilayah oleh Negara di wilayah pertuanan melalui ataupun tanpa mekanisme persetujuan terlebih dahulu acapkali memicu perbedaan-perbedaan pandangan, apalagi ditambah dengan muatan perbedaan status, kekuasaan, peran menurut gender, keanggotaan dalam kelompok sosial dan politik dan sebagainya. Dalam situasi yang sama indikator-indikator posisi dalam masyarakat itu sering menentukan keinginan kelompok yang berbeda. Ketika sasaran dan kepentingan bertentangan, maka terjadilah konflik.
Penetapan seluas 14.650,51 Ha sebagai Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba melalui Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.398/Menhut-VII/KUH/2014 dan terkosentrasinya konsesi perkebunan adalah pemicu konflik antara masyarakat sebagai peserta maupun keturunan transmigrasi Sengkuang yang mendiami wilayah tersebut sejak 1954. Pertentangan pandangan terhadap status dan fungsi kawasan tersebut disebabkan oleh kebutuhan dasar peserta dan anak keturunan peserta transmigrasi, baik fisik, mental maupun sosial yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Sehingga keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otoritas sering menjadi inti pembicaraan baik di tingkat masyakat. Di satu sisi, menguatnya resistensi dan represif oleh negara sebagai otoritas yang menduduki posisi memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang ada di dalam wilayah hutan tersebut, termasuk dalam katagori ini adalah Presiden, Menteri, Pemangku Kawasan maupun Pemerintah Daerah atas dasar otoritas yang bertemali dengan kewenangan. Preferensi negara dalam kasus ini dilukiskan sebagai tindakan dan bukan tindakan yang otoritatif terhadap setiap dan semua objek hubungan, karena para pejabat pemerintah itulah yang memiliki hubungan pilihan kebijakan sendiri dan bertindak atas pilihan tersebut, meskipun harus menegasi hak masyarakat sebagai penghuni utama suatu wilayah.
Belajar dari kasus sengketa lahan dan sistem pengelolaan Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba di wilayah Sengkuang Kabupaten Kepahiang, di mana hutan dan masyarakat memiliki karakter yang saling berhubungan, ketika potensi sumber daya diabaikan, konsekuensi yang akan muncul adalah potensi ancaman sebagai resultansi adanya kerusakan sendi-sendi budaya dan etika masyarakat yang menjadi penopang eksistensinya. Masyarakat yang sebaiknya menjadi rekanan dalam menangani permasalahan hutan, bukan sebaliknya di mana orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada hutan itu sendiri. Seharusnya dalam pengelolaan hutan termasuk juga pengelolaan masyarakatnya. Akar Foundation setidaknya mencatat bahwa konflik ini memuat tiga unsur utama yaitu; 1) ketidaksesuaian atau kontradiksi di antara kepentingan, ketidakcocokan di antara nilai-nilai sosial dan struktur sosial; 2) perilaku negatif dalam bentuk persepsi atau stereotip yang berkembang di antara pihak-pihak yang berkonflik; dan 3) perilaku kekerasan dan ancaman yang diperlihatkan.
Dengan disahkannya TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, ada titik harapan dari proses reformasi di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang sebelumnya tidak pernah mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan. Secara substansial, keluarnya ketetapan ini dilandasi kesadaran pemikiran tentang kegagalan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup sebelumnya. Dalam konsideran TAP MPR tersebut dijelaskan beberapa peta permasalahan yang membuat keputusan politik ini lahir, diantaranya; 1) sumber daya agraria dan sumber daya alam harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur; 2) adanya persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat serta kerusakan sumber daya alam; 3) pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik; 4) peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan; serta 5) pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik.
Pilihan Damai Dalam Mereposisi Ruang Kelola Melalui Kebijakan Berlaku
Di dalam Dokumen Arahan dari Kantor Staff Presiden; Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2016-2019, Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kala telah membuat strategi Nasional untuk Pelaksanaan Reforma Agraria mencakup enam komponen program, yakni: 1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria, yang ditujukan untuk menyediakan basis regulasi yang memadai bagi pelaksanaan agenda-agenda Reforma Agraria, dan menyediakan keadilan melalui kepastian tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam konflik-konflik agraria; 2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengidentifikasi subjek penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali hubungan penguasaan dan kepemilikannya; 3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan rakyat; 4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria, yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru; 5) Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh Masyarakat, yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk dikelola masyarakat; dan 6) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan Daerah, untuk memastikan untuk memastikan tersedianya dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola desa
Pelaksanaan Reforma Agraria yang dicita-citakan oleh Rezim Jowi-JK yang termaktub dalam Nawacita itu menyasar empat kategori tanah, yakni: 1) Tanah-tanah legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah diberikan hak untuk masyarakat namun kepastian hukumnya belum diperoleh penyandang haknya; 2) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; 3) Hutan negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-skema hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan 4) Pengelolaan dan pengadaan lahan aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama. Kategori pertama dan kedua adalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar.
Pergerakan perhutanan sosial atau community based forest management (CBFM) sudah berkembang sejak tahun 1980an. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan melalui pemberdayaaan masyarakat dengan memperhatikan aspek kelestariannya. Pemberdayaan ini berupa penguatan kapasitas dan pemberian akses terhadap kawasan. Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo dalam mewujudkan Nawacita sejak tahun 2014 telah mencanangkan terwujudnya wilayah kelola rakyat di areal hutan minimal seluas 12,7 juta hektar. Dampak dari target tersebut, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab memastikan angka ini tercapai. Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan merupakan skema-skema yang harus didorong manifestasinya karena pemberian izin atas skema-skema perhutanan sosial tersebut akan menjadi bukti dari terwujudnya perluasan wilayah kelola rakyat.
Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan Kemitraan atau kolaboratif (co-management) dalam pengelolaan kawasan konservasi sudah lama dipromosikan oleh berbagai pihak. Pendekatan Co-Management adalah sebuah kerangka kerja yang menggambarkan suatu situasi dimana satu atau lebih aktor sosial menegosiasikan, mendefinisikan dan menyepakati diantara mereka sendiri. Secara implementatif pendekatan kolaboratif menyasar kelompok komunitas mengelola hutan, atau pengelolaan hutan negara di mana masyarakat memiliki hak akses dan kontrol atas kawasan hutan yang dibebani hak oleh negara dalam pengelolaannya. Sebagai kelompok yang memiliki akses kelola lebih mungkin mengadopsi perspektif jangka panjang dan praktik-praktik yang lebih berkelanjutan dan mampu menahan laju deforestasi dan melindungi kehidupan komunitas pengelola hutan selain mampu untuk menjamin ketahanan pangan, keanekaragaman budaya, kesatuan sosial dan pasar serta mengimplementasi praktik-praktik demokratik serta distribusi kekayaan yang lebih merata.
Berkenaan dengan pembagian peran dan tanggung jawab pengelolaan suatu kawasan sumberdaya tertentu serta menjamin adanya pembagian manfaat yang adil atas sumberdaya tersebut. Lebih spesifik lagi, pengelolaan kolaboratif merupakan proses mengembangkan kerjasama antar pihak yang relevan, terutama antara masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab.
Menurut Erwin Basrin dan Rahabilah Firdha, dalam Laporan Study Dominasi Penguasaan Kawasan Hutan Konservasi, Study Kasus di Wilayah Marga Jurukalang Kabupaten Lebong, 2012, Beberapa alasan substantif berkaitan dengan pentingnya kolaboratif itu dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah: 1) Upaya konservasi membutuhkan kapasitas dan pelibatan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya para ahli konservasi, kaum professional serta pihak pemerintah; 2) Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam mengkaitkan kepentingan keanerakaragaman hayati dan kebudayaan yang memberi ruang bagi masyarakat lokal dan adat untuk secara aktif dan terberdayakan selama kolaborasi berlangsung; 3) Upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam prinsip kesetaraan dan keadilan, baik pembagian biaya dan manfaat yang diterima baik dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumberdaya alam maupun pemanfaatannya; dan 4) Upaya konservasi menuntut penghormatan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat. Prinsip “do no harm” dalam pelaksanaan konservasi penting dikedepankan agar tidak memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar kawasan. Apabila memungkinkan, diupayakan insiatif konservasi untuk memberi dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting mengingat masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan konservasi sebelum kawasan tersebut ditetapkan. Karenanya menegasikan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cukup tinggi. Masyarakat adalah aset yang eksistensinya dapat mendukung terwujud-nya pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang telah diberikan Negara selayaknya menjadi landasan dalam memba-ngun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam kerangka pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari dan mensejahterakan masyarakat.