Provinsi Bengkulu adalah salah satu Provinsi yang ada di Pulau Sumatera yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah baik terbaharukan maupun yang tidak terbaharukan, tetapi sekaligus merupakan wilayah rawan bencana. Dan, Provinsi Bengkulu adalah contoh gambaran lengkap satu kesatuan sistem dan fungsi hutan, selama beberapa abad sebagai penyedia sumber kehidupan dan penghidupan dan pada saat yang sama memainkan peran kunci dalam menjamin kelangsungan fungsi-fungsi alam.
Sekaligus memiliki jejak historis perombakan bentang alam, sosial dan politik yang sangat panjang, dan terjadi sejak masa pendudukan Belanda di Abad ke-18. Jejak historis tersebut ditandai pola yang konsisten: Perkebunan besar, pembalakan hutan, penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat.[1]

Sebagai salah satu upaya mereduksi ancaman kerusakan di masa mendatang, Pemerintahan Provinsi Bengkulu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Bengkulu Tahun 2015-2021, BAPPEDA merumuskan dan menetapkan visi Pembangunan dengan memperhatikan visi Kepala Daerah yaitu “TERWUJUDNYA BENGKULU YANG MAJU, SEJAHTERA, BERMARTABAT DAN BERDAYA SAING TINGGI”. Berdasarkan pada visi tersebut, BAPPEDA Provinsi Bengkulu menetapkan visi Pembangunan Provinsi Bengkulu: “Terwujudnya Sumberdaya Perencana, Peneliti yang handal dan terpercaya berbasis penguasaan teknologi dalam menghasilkan dokumen perencanaan untuk mewujudkan Bengkulu yang Maju, Sejahtera, Bermartabat dan Berdaya Saing”, visi ini mejadi paduan perencanan dan pelaksanaan pembangunan sampai dengan tahun 2021.[2]

Pada Misi poin 12 di tetapkan tujuannya untuk “Mewujudkan Pengelolaan Lingkungan Yang Berkelanjutan” sebagai salah satu unsur yang akan di tujuh oleh Pemerintahan Bengkulu sampai 2021. Untuk sampai pada misi ini, BAPPEDA akan menguatkan kebijakan berbasis informasi, efektivitas pengelolaan dan pegendalian kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam, partisipasi public dan kemitraan serta penguatan kapasitas kelembagaan dan masyarakat.
Misi pada poin 12 ini sejalan dengan Program Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan bahwa ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan social sekaligus menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Secara Nasional Pemerintah sudah menempuh strategi pembangunan pro-growth, pro-job, pro-poor, pro-environment. Namun pelaksanaan keempat strategi tersebut belum berjalan seimbang, dan keterpaduan terutama strategi pro-lingkungan ke dalam strategi pertumbuhan, penurunan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja. Sebagai negara yang memasuki negara berpendapatan menengah (middle income country), Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pertumbuhan dari sektor sumberdaya alam primer, namun sudah harus menginjak pada sektor sekunder yang memiliki nilai tambah tinggi.
Dampak negative pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bengkulu dapat dilihat dari ketidakseimbangan siklus ekologi sebagaimana seringnya terjadi bencana longsor dan banjir yang terjadi pada bulan April 2019. Hal ini menegaskan bahwa pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi dan ekploitasi sumberdaya alam primer telah terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan.
Dalam catatan Akar Foundation, penyebab asimetris paradigma dalam pembangunan ini bermula pada kompleksitas konsep desentralisasi antara perspektif desentralisasi politik (political decentralisation perspecitve) dan perspektif desentralisasi administrasi (administrative decentralisation perspecitve). Perbedaan mendasar dua perspekstif ini terletak pada rumusan definisi dan tujuan desentralisasi dalam proses pembangunan.
Perspektif desentralisasi politik mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif (administrative authority) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Bagi Pemerintahan Daerah, tujuan pertama desentralisasi adalah untuk mewujudkan political equality sehingga pelaksanaan desentralisasi tersebut diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik pembangunan di tingkat lokal. Dan local accountability yang diharapkan dapat tercipta peningkatan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak rakyatnya, yang meliputi hak untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan di daerah, serta hak untuk mengontrol pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Dan terakhir, adalah local responsiveness. Asumsi dasarnya adalah Pemerintah Daerah dianggap lebih mengetahui berbagai masalah yang dihadapi rakyatnya, pelaksanaan desentralisasi akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.
Misi poin 12 “Mewujudkan Pengelolaan Lingkungan Yang Berkelanjutan” adalah bentuk local responsiveness atas kondisi Bengkulu yang rawan bencana akibat ekploitasi sumber daya alam primer. Sekaligus mendukung transformasi internasional untuk pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang terdapat di dalam dokumen Our Common Future yang diterbitkan pada tahun 1987 didefinisikan sebagai: “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya”.
Pada Bulan September 2016, Akar Foundation sebagai organisasi yang bergerak pada tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan menyerahkan konsep pembangunan ekonomi hijau kepada Pemerintahan Propinsi Bengkulu. Konsep ekonomi hijau diharapkan menjadi jalan keluar. Menjadi jembatan antara pertumbuhan pembangunan, keadilan sosial serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang berkelanjutan. Di dalam Konsep Pembangunan Ekonomi Hijau (Green Economy) yang di tawarkan oleh Akar Foundation tersebut terangkum dalam 7 Prinsip, 21 Manifesto, 7 Koridor dan 7 Skema Pembangunan Ekonomi Hijau Propinsi Bengkulu. Konsep ini di susun atas dasar pengalaman kerja lapangan dalam mitigasi perubahan iklim dan reposisi ruang kelala rakyat sejak tahun 2017, kondisi Bengkulu yang rawan bencana dan rencana Investasi Pembangunan baik Nasional maupun Daerah yang masih berbasis sumberdaya alam primer.[3]
Perkembangan politik investasi dan perspektif masyarakat, suatu kewaspadaan dini (early precaution) terhadap dampak dan risiko berbagai bentuk prakarsa pembangunan menjadi langkah mendasar. Kegentigan ini memerlukan masukan dari berbagai elemen melalui dialog public. Karena, ekonomi dan lingkungan bukan dua hal yang diametrikal. Yang diperlukan untuk menjembatani keduanya adalah mencari ”the right kind of growth”, yakni selain memenuhi pertumbuhan ekonomi, juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya alam dan lingkungan tanpa merusaknya. (Erwin Basrin)
 
[1] Hutan Kemasyarakatan Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan https://akar.or.id/?p=1655
[2] https://bappeda.bengkuluprov.go.id/?page_id=14
[3] Initial Draft Pembangunan Ekonomi Hijau di Bengkulu, https://akar.or.id/wp-content/uploads/2018/01/Policy-Brief-Ekonomi-Hijau-untuk-Bengkulu.pdf