AKANEWS. Hari itu Jumat (28/2/2014) tak kurang dari 40 petani dari berbagai desa di Kabupaten Lebong, Bengkulu, berkumpul di masjid Desa Embong I, Kecamatan Uram Jaya. Hal yang wajar jika pembahasan hukum, politik, ekonomi menjadi bahasan politisi, namun bagaimana jika hal tersebut juga menjadi bahasan para petani?
Kecerdasan para petani itu terlihat dalam Pelatihan Pembuatan Kebijakan Daerah (PKD) di Kabupaten Lebong, Bengkulu yang digagas Yayasan Akar, Jumat (28/2/2014) hingga Sabtu (1/3/2014).
Awal pembicaraan para petani tersebut berjalan normal mulai dari tata kelola pemanfaatan hutan, sungai, bahkan segala tata aturan yang berada di kampung mereka.
Hendi (30) salah seorang petani asal Desa Kota Baru Santan berkomentar, sejak tahun 1980, tanah sumber kehidupan kami diambil oleh negara dijadikan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) sementara para pemilik tanah tak pernah diajak duduk bersepakat.
“Saya ingat bapak punya beberapa bidang kebun di dalam kawasaan TNKS sekarang namun entah mengapa sejak 1980 bapak tak boleh lagi berkebun di sana, jika berkebun ia akan ditangkap, padahal jika ada Peraturan Desa (Perdes) tindakan seperti itu bisa dihindari,” kata Hendi, Sabtu (1/3/2014).
Hal senada juga diungkapkan Sargimin (59) ia juga merupakan salah seorang perangkat Desa Embong I.
“Jika tanah kebun kami tak dijadikan TNKS tentu saya sudah bisa berangkat haji,” katanya berseloroh.
Tidak dilibatkannya masyarakat setempat dalam setiap kebijakan pemerintah pusat dan daerah ujar beberapa peserta hingga kini masih kerap terjadi, masyarakat terkadang hanya menjadi penonton di kampung sendiri.
Korban dari kebijakan tersebut tidak sedikit warga Kabupaten Lebong harus pergi dari kampung halamannya karena tak lagi memiliki tanah untuk digarap.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa oleh presiden beberapa waktu lalu, merupakan peluang terbuka bagi masyarakat desa untuk dapat berdaulat atas wilayah adat mengingat dalam UU tersebut bukan persoalan dana per desa, melainkan hak desa semakin luas guna meningkatkan kemakmuran jika dikelola dengan sumber daya yang baik.
Direktur Yayasan Akar, Erwin Basyrin menekankan yang paling penting dalam UU itu menurutnya yakni adanya pengakuan keragaman dan adat istiadat yang ada di nusantara.
UU tersebut menyebutkan definisi desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Artinya, kedepan salah satunya yang akan bergeser tata hukum perlakuan terhadap masyarakt adat harus juga mulai menghormati nilai-nilai wilayah adat yang berlaku disebuah desa,” jelasnya.
Ia mencontohkan selama ini banyak kebijakan yang dibuat justru mengabaikan keberadaan masyarakat adat di sebuah objek pembangunan.
“Oleh karena itu pelatihan pembuat kebijakan daerah dapat menjadi inspirasi bagi para pemegang kebijakan, bayangkan tidak saja politisi dan para ahli bisa membuat UU, petani sekali pun saat ini sudah bisa membuat Peraturan Desa, Peraturan Daerah, dan kebaijakan lainnya yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka,” demikian Erwin.(kps)
Telah tayang di KupasBengkulu.com