Kupasbengkulu.com – Ada yang menarik pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa oleh presiden beberapa waktu lalu, para kepala desa di Bengkulu dan perangkat hanya tahu jika aturan itu desa mendapatkan dana sebesar Rp 1 miliar per tahun.
Pernyataan itu didapat kupasbengkulu.com saat menghadiri Pelatihan Pembuatan Kebijakan Daerah (PKD)di Kabupaten Lebong, Bengkulu yang digagas Yayasan Akar, beberapa waktu lalu.
“Saya tidak pernah melihat apalagi membaca UU tersebut jadi saya sama sekali tidak mengetahui apa isinya,” kata Kepala Desa Embong Uram, Naharudin.
Namun saat ditanya apakah ia pernah mendengar jika desa akan mendapatkan dana sebesar Rp 1 miliar dari APBN, ia justru menjawab spontan tahu informasi tersebut.
“Iya, kalau desa akan dikasih dana Rp 1 miliar perangkat digaji saya pernah dengar tapi UU desa apa isinya saya tidak tahu,” tukas Naharudin.
Hal senada juga dikatakan beberapa kepala desa dan perangkat lainnya.
Sementara itu Direktur Yayasan Akar, Erwin Basrin menjelaskan hal yang paling penting dalam UU tersebut bukan persoalan dana per desa, melainkan hak desa semakin luas guna meningkatkan kemakmuran jika dikelola dengan sumber daya yang baik.
Selain itu, kata dia yang paling penting dalam UU itu menurutnya yakni adanya pengakuan keragaman dan adat istiadat yang ada di nusantara.
UU tersebut menyebutkan definisi desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Artinya, kedepan salah satunya yang akan bergeser tata hukum perlakuan terhadap masyarakat adat harus juga mulai menghormati nilai-nilai wilayah adat yang berlaku disebuah desa,” jelasnya.
Ia mencontohkan selama ini banyak kebijakan yang dibuat justru mengabaikan keberadaan masyarakat adat di sebuah objek pembangunan.
Misalnya, kata dia, Kabupaten Lebong, merupakan daerah yang wilayahnya berada dalam lingkungan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), jauh sebelum tahun 1980-an TNKS ditetapkan pemerintah, wilayah itu adalah tanah kelola masyarakat adat setempat.
“TNKS itu ditetapkan berdasarkan kepentingan pemerintah pusat sementara masyarakat setempat tidak diajak duduk untuk bersepakat, akhirnya masyarakat tak punya tanah karena kebun mereka dijadikan TNKS,” ujarnya.
Ia berharap UU desa sebagai bentuk kedaulatan desa dan masyarakat adat segera disosialisasikan kepada lapisan masyarakat.(kps)