AKARNEWS. Sabtu, 28 Mei 2022 bertempat di Kedai Pizza & Pasta Akar Foundation adakan diskusi public mengsung tema “Bengkulu Darurat Agraria” untuk menyingkapi berbagai persoalan agraria yang ada di Provinsi Bengkulu. Diskusi yang dimoderatori oleh Deo Agung Pratama, Lawyer Akar Law Office menghadirkan narasumber dari YLBHI, Akar Foundation, PPPBS dan Akademisi UNIB.

Lobian Angrianto, Sekjen Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) mengawali diskusi dengan menyampaikan profil konflik Agraria yang terjadi di Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko. Konflik terjadi ketika tahun 1995 Badan Pertanahan Nasional Bengkulu Utara mengeluarkan HGU No 34  seluas 1.889 kepada PT Bumi Bina Sejahtera (PTBBS) dengan komoditi Kakao dan Kepala hibrida.

“Pada tahun 1997, PT BBS menghentikan aktivitas pengelolaan lahan dan masyarakat mulai mengarap lahan tersebut sampai tahun 2005 dengan menanam tanaman produktif,” Ujar Lobian

Menurut Lobian, Persoalan muncul pada tahun 2005-2006 ketika terjadi pengusuran dan pengusiran yang dilakukan oleh PT Daria Dharma Pratama (PT DDP) terhadap masyarakat yang telah mengelola lahan selama puluhan tahun. Dan, di lahan-lahan yang telah di kelola oleh masyarakat kelapa sawit. Klaim PT DDP terhadap lahan HGU PT BBS adalah akta pinjam pakai, sekaligus mengantikan komoditi kakao dan kelapa hibrida menjadi kelapa sawit, tahun 2012 petani yang tidak mau dan mendapatkan gati rugi di gusur secara paksa dan mendapatkan intimidasi dari aparat dan keamanan perusahaan.

Pada tahun 2009 ATR/BPN RI menetapkan HGU PT.BBS No.34/1995 masuk dalam data base tanah terindikasi terlantar . Di tahun 2012, melalui Pansus DPRD Mukomuko menyatakan bahwa penguasaan PT DDP atas HGU terlantar PT BBB merupakan Tindakan illegal dan merekomendasikan supaya PT DDP menghentikan semua aktivitas di lahan PT BBS. di tahun 2020 PT DDP melakukan kriminalisasi dan intimidasi kepada petani dan melakukan pemanenan secara paksa yang dikawal oleh keamanan perusahaan dan aparat kepolisian di lahan-lahan yang di kelola oleh petani.

“187 Petani yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera atau PPPBS tahun 2021 telah mengajukan lahan-lahan mereka untuk dijadikan sebagai Objek Tanah Refroma Agraria,” Lanjut Lobian dan menjelaskan advokasi penyelesaian konflik melelui skema reforma agraria yang dilakukan PPPBS mendapatkan dukungan dari Pemerintahan Provinsi, Kementerian ATR BPN dan DPRD Mukomuko.

“Tanggal 12 Mei 2022, saya bersama 39 orang petani anggota PPPBS ditahan dan dituduh melakukan tindak pidana pencurian oleh Polres Mukomuko, faktanya kami sedang mengelola lahan yang sejak lama kami kuasai jauh sebelum PT DDP menguasai lahan tersebut” Ujar Lobian.

Akar Foundation yang diwakili oleh Zelig Ilham Hamka, menyampaikan inisiatif penyelesaian konflik yang terjadi di Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko melalui jalan reforma agraria. Menurutnya di bulan Agustus 2021, 187 petani yang tergabung dalam PPPBS telah mengusulkan lahan garap 603,05 Ha sebagai tanah objek reforma agraria kepada Bupati Mukomuko.

“Bupati Mukomuko seharusnya segera membentuk Gugus Tugas Refroma Agraria (GTRA) Kabupaten Mukomuko,” Ujar Zelig

Menurut Zelig, di tingkat Provinsi dari konsolidasi yang dilakukan dengan Gubernur Bengkulu, Wakil Gubernur Bengkulu, Asisten I dan Dinas Perkebunan Bengkulu serta Kanwil ATR/BPN mendukung penyelesaian konflik yang terjadi melalui skema Reforma Agraria.

“Memastikan hak atas tanah untuk petani sangat penting, karena memisahkan petani dengan tanah, memporak-poranda ruang hidup masyarakat adalah mengantarkan petani menuju kematian. Keadaan kian memburuk yang akan dialami oleh petani ketika terjadi kondisi krisis (gangguan alam maupun sosial). Petani yang berhimpun dalam PPPBS mempunyai wataknya sendiri dalam bentuk subsistensi yang berbeda dengan kalkulasi kapitalis. Dalam situasi dan terjadi kondisi krisis, rumah tangga ‘mereka’ dipaksa memaksimalkan tenaga kerja yang ada hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan minimal.” Ucap Zelig.

Menanggapi berbagai Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap petani yang sedang menuntut hak atas tanah, Direktur YLBHI, Muhammad Isnur menyatakan telah banyak kebijakan hukum di tingkat nasional yang seharusnya mampu melindungi masyarakat.

“Faktanya arogansi aparat semakin menjadi ketika di hadapkan dengan rakyatnya, Sehingga semakin lama, makin banyak masyarakat yang kehilangan ruang hidupnya. Dan pola-pola perampasan lahan atau perampasan ruang hidup masyarakat difasilitasi dan diakomodasi oleh negara. Penangkapan terhadap 40 orang petani di Malin Deman dengan menelanjangi, di jejer serta di ikat dengan tali plastik merupakan Tindakan yang tidak manusiawi. Padahal katanya, di dalam KUHAP ada asas presumption of innocence seseorang dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan, bahkan proses penyelidikan pun belum dilakukan, tetapi 40 anggota PPPBS sudah mendapatkan penghukuman.

Isnur melanjutkan bahwa darurat agraria merupakan fenomena perampasan lahan yang dilakukan melalui skema legal, undang-undang Omnibus Law misalnya menjadi sandungan yang besar atas nama investasi dan program prioritas nasional, perampasan lahan rakyat menjadi legal.

“Akibatnya, jurang ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan antara masyarakat dengan pemilik modal semakin lebar.” Pungkas Isnur.