Prugan atau kesatuan perkampungan Air Kiliran memiliki Sejarah Panjang dalam Sejarah Masyarakat suku Serawai, kata Kiliran berasal dari nama batu asahan atau dalam bahasa lokal di sebut kilir. Nama Kiliran dilekatkan dengan nama Sungai dimana batu asah tersebut bertebaran. Perkampungan Air Kiliran berbentuk tanjung yang dibelah oleh Sungai Air Kiliran dan Sungai Nelengau. Secara etnohistoris, Prugan Air Kiliran yang saat ini terintegrasi kedalam Dusun V Desa Administratif Bandar Agung Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan perkampungan tua sebagai peyanggah kawasan 9 kampung dan 7 lorong yang kemudian di kenal dengan Dusun Silam Sebakas atau Dusun Tinggi, perkampungan 9 kepuyangan dipercayai sebagai perkampungan atau Kerajaan yang hilang akibat sumpah si Pahit Lidah atau Puyang Serunting.

Saat ini, Prugan Air Kiliran dihuni setidaknya ± 60 kepala keluarga yang sebagian besar berpenduduk Desa Bandar Agung, fasilitas sosial satu-satunya yang dimiliki oleh Masyarakat adalah Masjid yang dibangun secara swadaya. Untuk sampai ke Air Kiliran bisa melalui Desa Ganjuh dengan waktu ± 2 jam menggunakan kendaraan double gardan, dan melalui Desa Bandar Agung dengan jalan kaki yang memakan waktu 3-4 jam perjalanan. Berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Raja Mendara atau Hutan Lindung Bukit Riki menjadikan Dusun Air Kiliran menjadi terisolir, banyak kebun dan areal persawahan Masyarakat tidak bisa dikelola disebabkan kebijakan kehutanan yang ketat dan aksesibilitas angkut produksi pertanian yang sangat terbatas dan mahal.

Gusti Raswan salah satu tokoh adat Air Kiliran menggagas satu kelembagaan yang mereka sebut Pemangu Carau sebagai media bagi Masyarakat untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan hak-hak Masyarakat salah satunya adalah hak mereka sebagai Masyarakat hukum adat Prugan Air Kiliran. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah pemangku wilayah adat Tanjung Gersik Bulan yang di dalamnya terdapat Dusun Air Kiliran sebagai wilayah pemukiman, areal persawahan dan Perkebunan, hutan negara dan wilayah spiritual yang sangat mereka hormati, Dusun Tinggi Sebakas. Pengakuan hak-hak adat bagi mereka menjadi sangat penting bukan saja untuk keleluasaan penataan dan pengelolaan wilayah adat tetapi bagaimana melakukan perlindungan terhadap berbagai ancaman bagi kelestarian wilayah adat sebagai ruang hidup Masyarakat Air Kiliran di masa depan.

Di hamparan yang luas masyarakat Air Kiliran masih berbicara dalam bahasa tradisi (bahasa rumpun serawai) dan melakukan praktek pertanian sebagai petani subsisten menjalankan kegiatan bertani dengan skala kecil, menggunakan metode yang telah diwariskan turun-temurun, serta memanfaatkan kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu. Mereka adalah para penjaga kehidupan, yang bertani tidak semata-mata untuk mencari keuntungan finansial, tetapi untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan komunitas. Mereka memahami ritme alam, kapan harus menanam, kapan harus panen, dan bagaimana menjaga keseimbangan antara memanfaatkan lahan dan merawat kesuburan tanah. Metode-metode tradisional, seperti rotasi tanaman, penggunaan pupuk alami, dan pengelolaan air secara efisien, merupakan inti dari praktik pertanian mereka. Tanpa teknologi modern yang canggih, mereka mengandalkan pengetahuan dan pengalaman yang telah diturunkan dari para leluhur, sehingga menghasilkan pangan yang cukup untuk menghidupi keluarga dan kadang-kadang bahkan menyediakan kelebihan untuk dijual di pasar lokal seperti beras, jengkol, rebung serta tanaman-tanaman yang bisa mereka petik bukan saja di lahan tetapi di sepanjang Sungai dan pekarangan mereka.

 

Dusun Air Kiliran, Akar Global Inisiatif. 2025

 

Sebagai kesatuan Masyarakat yang masih memegang adat, spiritualitas bagi masyarakat Air Kiliran bukanlah sekadar dimensi keagamaan yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ia merupakan inti yang menyatukan segala aspek kehidupan dari hubungan dengan alam hingga penghormatan kepada leluhur terutama kepada sembilan kepuyangan yang mereka percayai bersemayam di perbukitan bagian timur perkampungan mereka. Dalam pandangan Masyarakat Air Kiliran, alam bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan bagian dari jalinan kehidupan yang sakral. Setiap pohon, sungai, dan batu dianggap memiliki roh dan cerita, yang menyimpan kearifan yang diwariskan secara turun-temurun. Ritual Pangku Paliare diawali dengan besebut, yaitu ratapan memanggil leluhur merupakan bentuk manifestasi dari praktek dan kepercayaan Masyarakat hukum adat Air Kiliran.

Ritual dan upacara tidak hanya menjadi momen spiritual, melainkan juga wadah untuk memperkuat ikatan sosial dan identitas kolektif. Proses jampi limau yang didoakan oleh Malim atau orang ‘pintar’ dan dibagikan kepada masyarakat diyakini akan membawa keberkahan dan keselamatan bagi yang menggunakannya. Dalam melakukan ritual berbagai simbol digunakan, seperti sirih pinang, kemenyan, bangle, kelapa, jeringau, beras ketan, dan ayam sebagai persembahan untuk mengucap syukur dan harapan agar dijauhkan dari bencana spiritual. Simbol-simbol ini merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan kepada leluhur dan mengundang kehadiran mereka dalam ritual tersebut. Setiap ritual, mulai dari upacara panen hingga perayaan pasca panen, mengandung makna mendalam yang mengingatkan mereka akan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Ritual-ritual itu menjadi sarana untuk menyucikan diri, memohon restu dari alam, dan menjaga keseimbangan ekosistem yang selama ini telah menjadi sumber kehidupan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kepercayaan akan keberadaan roh alam dan leluhur membimbing cara mereka mengelola sumber daya alam. Pengetahuan tradisional yang meliputi teknik pertanian, perikanan, dan pengobatan herbal tidak hanya berdasar pada pengalaman praktis, tetapi juga diwarnai oleh nilai-nilai spiritual yang menekankan pentingnya keseimbangan dan penghormatan terhadap alam. Setiap tindakan, dari menanam benih hingga memanen hasil, dilandasi oleh keyakinan bahwa alam adalah mitra hidup yang harus dijaga dan dihormati. Spiritualitas masyarakat hukum adat Air Kiliran mengajarkan bahwa kehidupan adalah suatu siklus yang terus berputar, di mana setiap makhluk memiliki peran dan setiap alam memiliki roh. Pengelolaan alam yang bijaksana dan penghormatan terhadap tradisi leluhur menjadi kunci dalam menciptakan keseimbangan antara dunia fisik dan Rohani sebagai sebuah warisan yang tidak hanya melestarikan lingkungan, tetapi juga menjaga keutuhan identitas dan martabat komunitas yang telah ada sejak zaman sembilan kepuyangan.

Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat Air Kiliran adalah wujud nyata dari harmoni antara manusia dan alam mengandalkan pengetahuan turun-temurun yang kaya akan kearifan lokal. Pengetahuan ini mencakup cara-cara tradisional dalam mengelola hutan, seperti sistem rotasi atau pembatasan penebangan yang ketat. Misalnya, mereka memiliki aturan tidak tertulis yang mengatur kapan dan bagaimana melakukan penebangan pohon, sehingga setiap tindakan yang mereka lakukan selalu disesuaikan dengan siklus alam dan kebutuhan regenerasi hutan. Pengelolaan hutan dilakukan secara kolektif, di mana setiap anggota komunitas memiliki peran dan tanggung jawab. Dalam sistem ini, keputusan tentang penggunaan dan konservasi hutan diambil melalui musyawarah adat, yang melibatkan para tetua. Ritual dan upacara adat memiliki peran sentral dalam pengelolaan hutan. Setiap kegiatan di hutan mulai dari penanaman benih, panen, hingga pemeliharaan sering kali diiringi dengan upacara untuk memohon restu kepada leluhur dan roh alam. Ritual ini tidak hanya memperkuat ikatan spiritual antara manusia dan alam, tetapi juga mengingatkan masyarakat untuk selalu menjaga kesucian dan kelestarian hutan.

Dengan perkampungan yang berada di antar dua Sungai, masyarakat hukum adat Air Kiliran menggangap sungai bukan sekadar saluran air. Sungai adalah nadi kehidupan yang menyambungkan alam, budaya, dan komunitas. Selama berabad-abad, mereka telah mengelola sungai dengan penuh kearifan, mengintegrasikan pengetahuan tradisional, ritual, dan praktik keberlanjutan untuk menjaga kesucian dan kelestarian aliran air yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Masyarakat Air Kiliran sangat tergantung hidupnya pada hutan sebagai tempat tinggal, sumber pangan, aktivitas religi, dan aktivitas lainnya. Dari hasil wawancara dengan penduduk Air Kiliran menunjukkan bahwa 100 % masyarakat membuka kebun di dalam kawasan hutan, baik yang hanya membuka di dalam hutan ataupun di dalam dan di luar hutan. Rata-rata luas lahan garapan masyarakat setiap kepala keluarga adalah 2,5 hektar; dengan demikian jika dirata-ratakan berdasarkan jumlah petani dan luas lahan garapan serta kepemilikan lahannya, maka setiap kepala keluarga petani di desa ini memiliki luas lahan di dalam kawasan hutan sekitar 1,6 hektar. Jika setiap kepala keluarga membuka lahan kebun di hutan seluas 1,6 hektar, maka lahan hutan yang terbuka di desa ini telah mencapai 443,5 hektar, dan akan terus bertambah sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan jumlah penduduk dari luar Dusun. Berdasarkan letak lokasinya, kebun masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kebun yang terletak di dalam kawasan hutan lindung dan di luar kawasan hutan lindung. Perlakuan untuk kebunnya, baik yang di dalam atau di luar hutan, relatif sama dan umumnya hanya ditanami tanaman pokok kopi dan tanaman pengisi lainnya seperti jengkol, cengkeh. jahe, lada, dan tanaman sayuran. Hasil pertanian lainnya umumnya digunakan sendiri untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, karena itu pendapatan petani di Air Kiliran sangat ditentukan oleh jumlah produksi yang mereka tanam.

Penetapan status hutan di wilayah Masyarakat Hukum Adat Air Kiliran secara sepihak tersebut telah memicu konflik antara masyarakat dan negara. Masyarakat Hukum Adat Air Kiliran yang sejatinya merupakan penyandang hak atas tanah-hutan yang ditetapkan sebagai hutan negara tersebut mengalami perlakuan secara tidak adil. Mereka diusir dari lahan yang telah mereka garap secara turun temurun, tumbuhan yang ditanam ditebang, bahkan diberi label sebagai perusak hutan dan pelanggar aturan. Konflik yang belum kunjung terselesaikan tersebut mengakibatkan Masyarakat Hukum Adat Air Kiliran kehilangan sumber penghidupan, material pelaksanaan hukum adat dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam/hutan. Kondisi yang dialami oleh Masyarakat hukum adat Prugan Air Kiliran saat ini menggambarkan kondisi di mana individu atau kelompok tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya, layanan, atau kesempatan yang diperlukan. Masyarakat hukum adat Air Kiliran dipinggirkan sehingga tidak memiliki akses penuh atau setara terhadap berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dan mereka mengalami exclusion (pengecualian), mereka seperti disengaja dikeluarkan atau tidak diberi kesempatan untuk mengakses sesuatu, baik itu informasi, sumber daya alam, atau partisipasi dalam sistem pemerintahan dan pembangunan.