AKARNEWS – Akar Foundation menggelar Pelatihan Tata Kelola Kawasan Hutan yang Berkelanjutan dengan Pendekatan Agroekologi, Jumat, 9 Juni 2023 di Kantor Desa Tanjung Dalam Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Kegiatan ini diikuti 17 peserta dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tri Setya atau masyarakat Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Hadir sebagai Pemateri dari Universitas Bengkulu (Unib) yaitu, Maulana Insanul Kamil S.P., M.P dan Elsa Lolita Putri.

Staff Program Akar Foundation, Warman Kudus mengatakan, bahwa Gapoktan yang mengelola kawasan Hutan Bukit Daun sudah sejak 2013 dengan pendampingan Akar Foundation bersama pihak lainnya melalui skema Perhutanan Sosial. Dalam spektrum lebih luas, terjadi kemorosotan ekosistem ekonomi pertanian yang berdampak kepada degradasi lingkungan, penurunan produksi pangan dan kehancuran produksi pertanian secara umum. Untuk itu, dibutuhkan sistem pertanian yang menjaga kelestarian ekosistem dan tidak mengedepankan ekonomi semata. Formulasi yang cocok untuk hal ini adalah Agroekologi.

“Kami pikir perlu ada konsep dan pendekatan berbasis ekologi supaya jargon di Perhutanan Sosial ‘Masyarakat Sejahtera, Hutan Lestari’ ini benar sesuai realitanya. Artinya, keberlangsungan ekologi dan kegiatan pertanian yang berkelanjutan untuk peningkatan pangan baik di rumahtangga dan masyarakat petani”, kata Warman.

Warman melanjutkan, terkait Agroekologi ini, ada metode lebih lanjut yang perlu dilakukan. Dengan harapan ke depan, masyarakat jadi lebih tahu banyak terhadap pengetahuan dan wawasan tentang Agroekologi. Agroekologi adalah konsep yang tepat untuk sistem pertanian yang mensyaratkan keseimbangan ekosistem. Agroekologi adalah sistem pertanian yang menjaga kelestarian ekosistem dan tentunya tidak mengedepankan ekonomi semata.

“Nanti akan diketahui, apakah ada  kesamaan dari proses pengelolaan hutan selama bapak-bapak dan ibu-ibu lakukan itu sesuai dengan materi yang disampaikan. Atau mungkin ada hal baru,  termasuk salah satunya tentang biochar yang bisa meminimalisir limbah kopi untuk dikelola oleh masyarakat”, demikian Warman.

Maulana insanul Kamil, S.P., M.P mengatakan, pengelolaan hutan yang sudah diberi legalitas oleh pemerintah, bukan berarti pemerintah memberikannya bukan tanpa syarat. Akan tetapi ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Salah satunya, hutan harus dikelola tanpa memberikan dampak negatif ke lingkungan. Utuk pengelolaannya, itulah yang dinamakan lingkungan terpadu. Seperti tata Kelola air, flora dan fauna di hutan. Sistem pengelolaan lahan yang terpadu inilah disebut Agroekologi.

“Artinya kita ingin mengharapkan produksi yang cukup secara ekonomi, tetapi kita juga tetap mengedepankan fungsi ekologi. Yang tujuannya selain mengolah lahan itu supaya mendapat hasil pertanian yang berkelanjutan namun juga mempertimbangkan kondisi kelestarian hutan dari fungsi ekologi”, kata Maulana.

Lanjutnya, butuh manajemen pengelolaan hutan yang baik. Manajemen baik itu disebut pengelolaan Sistem Pertanian Terpadu (SPT). SPT ini adalah salah satu usaha untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Berkelanjutan di sini maksudnya terus berproduksi, tetap ekonomis tetapi dampak ekologinya tetap terjaga dan produksinya juga tetap stabil. Ada beberapa konsep yang bisa dilakukan dari sistem SPT. Diantaranya; ramah lingkungan, tidak ada energi yang terbuang, seperti limbah dan sampah tidak boleh ada pembakaran serta tepat sasaran.

SPT ini dilatarbelakangi karena lahan petani yang sempit dengan kualitas panen menurun, harga produk yang relatif rendah serta petani hanya mengandalkan satu komoditi. Oleh karena itu diformulasikanlah SPT yang bisa mengintegrasi beberapa komponen. Sehingga bisa lebih efisien karena minimal input dari luar. SPT bisa menggunakan konsep LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture).

Konsep LEISA merupakan bentuk pertanian yang berupaya mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang tersedia secara lokal dengan mengkombinasikan komponen yang berbeda dalam sistem lapang produksi (tanaman, hewan, air, iklim, dan manusianya). Sehingga komponen-komponen tersebut saling melengkapi dan memiliki pengaruh sinergik yang maksimal dalam sistem LEISA. Dengan demikian resiko ekologik dari masukan eksternal yang tinggi dapat dihindari. Konsep Penting SPT adalah pengelolaan hara (makanan tanaman). Diantaranya, ada daur ulang limbah, sumber dan siklus hara. Membuat dan menggunakan pupuk organik. Dan semuanya itu harus tepat sasaran baik perhitungan terkait efisiensi pemupukan sehingga lebih terarah.

“Contohnya, ada integrasi tanaman padi dengan sapi. Jerami bisa untuk pakan sapi, dan kotoran sapi bisa untuk pupuk padi. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani sampai 100%. Sapi bisa dijual, padi pun bisa dijual”, papar Maulana.

Tujuan SPT, sambungnya, sudah tentu meningkatkan pendapatan ekonomi, mengurangi pengeluaran, mempertahankan keanekaragaman hayati, mewujudkan pertanian berkelanjutan dan efisiensi.  Keuntungannya, produksi akan efisien, mengurangi ketergantungan dengan pupuk kimia, sistem ekologi lebih terjaga, meningkatkan produksi, dan yang paling penting mengembangkan rumahtangga petani yang lebih stabil.

Sementara itu, Kepala Desa Tanjung Dalam, Bambang Irawan, mengingat materi yang disajikan sangat diperlukan bagi masyarakat desa terhadap pengelolaan HKm, itu artinya kegiatan seperti ini harus lebih digiatkan lagi ke depannya.

“Materi yang didapatkan ini tentunya sangat bermanfaat dan semoga bisa dipraktekkan di lapangan dan bisa disosialisasikan ke masyarakat lain yang tidak hadir. Tentunya juga kami masih ingin terus belajar banyak setelah dari kegiatan ini”, kata Bambang.(Warman/Akar)