Ketika Air Mengantar Pesan Politik
Oleh: Erwin Basrin, S.H.
Di banyak daerah di Sumatera, dari Aceh, lereng Batang Toru, hulu-hulu sungai di Tapanuli, hingga bukit-bukit basah di Sumatera Barat, banjir bandang tidak lagi dipahami sebagai peristiwa alam biasa. Ia hadir sebagai kejadian yang berulang, mematikan, dan membongkar lapisan-lapisan ketidakadilan yang selama ini menempel pada tubuh masyarakat di sekitarnya. Banjir Sumatera bukan sekadar persoalan curah hujan ekstrem atau perubahan iklim global. Ia adalah pesan politis, yang menuntut untuk dibaca melalui lensa keadilan, keberpihakan, dan relasi kuasa antara negara, korporasi, serta rakyat yang hidup di ruang yang semakin rapuh.
Dalam konteks ini, teori Environmental Justice (EJ) dari David Naguib Pellow menawarkan perangkat analitis yang tajam. Berbeda dari pendekatan lingkungan klasik yang cenderung teknokratis, EJ menempatkan masyarakat yang paling rentan sebagai pusat analisis. Ia melihat bagaimana keputusan pembangunan, kebijakan ekonomi, relasi ras atau etnisitas, kelas sosial, hingga sejarah kolonialisme membentuk lanskap risiko ekologis yang tidak adil. Dengan perspektif ini, banjir di Sumatera dapat dibaca bukan sebagai musibah alam semata, tetapi sebagai konsekuensi struktural dari ketimpangan distribusi risiko dan manfaat pembangunan, serta absennya mekanisme kontrol sosial terhadap ekspansi kapital ekstraktif.
Melalui Esai ini saya mencoba membaca banjir Sumatera melalui teori Environmental Justice David N. Pellow dengan fokus pada beberapa konsep kunci: (1) sistem produksi berbahaya (hazardous production systems), (2) kerentanan diferensial (differential vulnerabilities), (3) konflik ekologis, (4) sejarah kolonialisme lingkungan, dan (5) gerakan dari bawah (grassroots environmentalism). Melalui konsep-konsep tersebut, kita dapat memahami mengapa banjir bandang yang terjadi di Sumatera bukan sekadar bencana hidrometeorologi, melainkan “bencana politik” yang lahir dari sistem sosial-ekologis yang timpang.
Ketika banjir bandang melanda Sumatera Utara dan Sumatera Barat, narasi umum yang dibangun pemerintah dan media arus utama cenderung reduksionis. Penyebabnya dikatakan sebagai hujan ekstrem, cuaca buruk, atau anomali iklim global. Narasi ini penting dicermati, sebab ia telah lama berperan dalam mengaburkan aktor-aktor struktural yang melahirkan kerentanan ekologis. Di bawah teori EJ Pellow, penjelasan semacam ini disebut sebagai bentuk “depolitisasi bencana lingkungan.”
Dalam kenyataannya, banjir di Sumatera tidak pernah berdiri sebagai peristiwa alam yang netral, melainkan terjadi di atas sebuah lanskap yang telah lama direkayasa oleh kepentingan ekonomi dan politik Pembangunan. Ekspansi perkebunan sawit yang masif menggantikan hutan-hutan penyangga air, penebangan hutan baik yang dilegalkan oleh izin negara maupun yang berlangsung secara illegal mengikis daya serap tanah, sementara proyek-proyek ekstraktif seperti tambang emas dan batubara merusak kawasan hulu dan aliran Sungai. Pada saat yang sama, pembangunan jalan, bendungan, dan infrastruktur lainnya mengubah struktur hidrologi alamiah, memaksa air mencari jalannya sendiri ke permukiman warga, dan seluruh proses ini diperparah oleh pengabaian sistematis terhadap hak-hak masyarakat adat yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan ruang hidup dan ekologi Sumatera.
Di Sumatera Utara, misalnya, banjir di Deli Serdang dan Karo terjadi setelah deforestasi di kawasan hulu meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Di Sumatera Barat, banjir bandang di Agam, Tanah Datar, Padang Panjang, dan Padang Pariaman terkait erat dengan pembukaan hutan pada bukit-bukit gambut dan dataran tinggi vulkanik yang rentan longsor.
Dalam perspektif EJ, bencana yang secara geografis merata tidak pernah berdampak secara sosial merata. Mereka yang miskin, tinggal di lereng rawan, bekerja sebagai buruh tani, atau merupakan masyarakat adat yang kehilangan wilayah kelola, selalu menanggung efek yang lebih parah. Inilah inti argumen Pellow. Lingkungan bukan hanya soal ekologi, tetapi soal siapa yang memiliki kuasa menentukan apa yang dianggap sebagai risiko dan siapa yang harus menanggungnya.
Sumatera sebagai Ruang Ekstraksi
David N. Pellow memperkenalkan konsep “hazardous production system”, yakni sistem ekonomi yang memproduksi risiko bagi kelompok tertentu demi keuntungan kelompok lain. Bila teori ini diterapkan pada Sumatera, maka lanskap ekologis pulau ini tidak dapat dipisahkan dari jejak kolonial perkebunan, mineral, dan energi.
Sejak abad ke-19, Sumatera ditempatkan sebagai ruang produksi bagi kepentingan kolonial melalui perkebunan komoditas ekspor seperti tembakau Deli, karet, dan kopi, yang menandai awal pemisahan paksa antara masyarakat lokal dan ruang hidupnya. Pola ini tidak pernah benar-benar berakhir, melainkan diwariskan dan dimodifikasi dalam konteks negara-bangsa modern melalui ekspansi perkebunan sawit skala raksasa, konsesi hutan tanaman industri, serta pertambangan emas, batubara, nikel, dan pasir besi, termasuk proyek-proyek geothermal yang kerap mengabaikan keberadaan dan hak masyarakat adat. Bersamaan dengan itu, pembangunan infrastruktur besar jalan, bendungan, dan fasilitas energi memotong jalur-jalur alami aliran air dan migrasi satwa, memperparah kerentanan ekologis yang sebelumnya telah dibentuk oleh sejarah panjang eksploitasi.
Logika produksi kolonial yang berlanjut ini menciptakan sebuah sistem produksi risiko, di mana kerusakan lingkungan, banjir, kehilangan tanah, dan kerentanan sosial harus ditanggung oleh masyarakat lokal yang paling sedikit menikmati hasil pembangunan. Sementara itu, manfaat ekonomi dan akumulasi keuntungan justru mengalir ke elite bisnis, investor, dan negara, yang mereproduksi ketidakadilan lama dalam wajah pembangunan baru dan menempatkan masyarakat Sumatera sebagai korban struktural dari warisan kolonial yang tak pernah benar-benar diputus.
Bencana banjir bandang di Sumatera tidak dapat dipahami sebagai insiden tunggal, melainkan sebagai gejala dari perubahan tutupan lahan yang sistematis dan berkelanjutan, ditandai oleh hilangnya hutan riparian yang selama ini menyangga tepi sungai, meningkatnya sedimentasi yang mendangkalkan alur air, penyempitan daerah aliran sungai, serta perubahan pola aliran yang kian tidak terkendali. Konversi hutan menjadi perkebunan monokultur dan kawasan industri telah memperbesar limpasan permukaan (runoff), sementara pembangunan properti dan infrastruktur terus menggerus daerah resapan air, sehingga hutan-hutan yang dahulu bekerja sebagai “spons ekologis” kini kehilangan fungsinya dan digantikan oleh lanskap produksi yang rapuh, mempercepat laju dan daya rusak banjir yang menghantam wilayah-wilayah permukiman dan pertanian di hilir.
Ketidakadilan lingkungan tidak mungkin terjadi tanpa peran aktif negara sebagai pemberi izin, regulator, sekaligus aktor berkuasa yang menentukan apa yang dianggap sebagai risiko yang dapat diterima, dan dalam konteks Sumatera peran ini tampak jelas ketika pemerintah daerah maupun pusat terus mempromosikan pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi sebagai solusi utama atas kemiskinan. Narasi pertumbuhan ini menutupi kenyataan bahwa kemakmuran yang dijanjikan dibangun di atas kehancuran hutan, kerusakan ekosistem, dan akumulasi risiko ekologis yang semakin besar, sehingga banjir dan bencana lain bukanlah kegagalan kebijakan yang tak terduga, melainkan konsekuensi yang diproduksi dan dinormalisasi oleh negara melalui pilihan politik dan ekonomi yang secara sistematis mengorbankan keselamatan lingkungan dan masyarakat.
Kerentanan Diferensial: Siapa yang Menanggung Banjir?
Banjir Sumatera memperlihatkan bahwa risiko tidak pernah merata, baik secara geografis maupun sosial. Ada kelompok yang selalu berada di garis depan bencana yaitu masyarakat adat, petani kecil, buruh informal, perempuan kepala keluarga, hingga masyarakat miskin kota yang tinggal di bantaran sungai.
Di Sumatera Barat, Aceh dan Sumatera Utara, masyarakat adat seperti Minangkabau, Batak Karo, Mandailing, dan berbagai komunitas adat lainnya sejatinya telah lama mengelola sungai, hutan, dan perbukitan melalui aturan adat yang menjaga keseimbangan ekologis, namun ekspansi industri ekstraktif secara sistematis meruntuhkan tatanan tersebut dengan mengambil alih hutan ulayat untuk perkebunan, menambang bukit-bukit adat, mencemari sungai-sungai yang memiliki makna sakral, serta menyingkirkan hukum adat dengan alasan tidak relevan dalam sistem hukum negara. Ironisnya, ketika banjir melanda, masyarakat adat justru disalahkan karena dianggap tinggal di kawasan rawan, padahal kerentanan itu bukan pilihan mereka melainkan hasil dari struktur risiko yang diciptakan oleh aktor-aktor eksternal seperti negara dan korporasi yang merampas ruang kelola dan pengetahuan ekologis mereka.
Banjir selalu paling mematikan bagi mereka yang hidup dalam kondisi tanpa kapasitas perlindungan, karena kemiskinan memperbesar setiap risiko ekologis menjadi ancaman hidup yang nyata. Rumah-rumah yang rapuh mudah hancur diterjang air, ketiadaan tabungan membuat pemulihan pasca-bencana nyaris mustahil, pekerjaan di sektor informal tanpa jaminan sosial memutus sumber penghidupan sekaligus, sementara ketiadaan hak atas tanah menutup peluang relokasi yang layak dan memaksa mereka tetap tinggal di wilayah yang tidak pernah menjadi prioritas perlindungan pemerintah. Di kondisi ini, kerentanan ekologis tidak dapat dipisahkan dari kerentanan ekonomi, sebab bencana alam pada akhirnya mengikuti garis-garis kemiskinan yang telah lama ditarik oleh ketimpangan struktural.
Dalam perspektif gender, banjir secara tajam memperlihatkan bagaimana bencana lingkungan melipatgandakan beban yang selama ini sudah dipikul perempuan, mulai dari tanggung jawab memastikan ketersediaan air bersih di tengah krisis, merawat anak-anak dan lansia dalam kondisi serba terbatas, mengelola dapur darurat untuk menopang keberlangsungan keluarga, hingga menanggung risiko kesehatan reproduksi yang kerap terabaikan dalam situasi darurat, sementara di saat yang sama kekerasan domestik cenderung meningkat pasca-bencana akibat tekanan ekonomi dan psikologis, sebagaimana ditekankan oleh David Naguib Pellow, ketidakadilan lingkungan tidak pernah netral gender karena bencana selalu bekerja dengan memperdalam dan menegaskan kembali struktur ketimpangan sosial yang telah ada sebelumnya.
Konflik Ekologis dan Banjir sebagai Produk Pertarungan Kepentingan
Persoalan lingkungan tidak pernah sekadar persoalan teknis atau sains, melainkan merupakan arena konflik terbuka antara kepentingan ekonomi, politik, dan kultural yang saling bertubrukan, dan banjir di Sumatera lahir tepat dari benturan tersebut. Korporasi mengejar akumulasi keuntungan melalui ekstraksi dan ekspansi, negara mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan daya dukung ekologis, masyarakat lokal berjuang mempertahankan ruang hidup dan pengetahuan pengelolaannya, sementara aktivis lingkungan menuntut regulasi yang lebih ketat dan keadilan ekologis. Banjir bukan sekadar air yang meluap dari sungai, melainkan konsekuensi nyata dari konflik ideologi pembangunan yang memihak modal dan menyingkirkan keberlanjutan hidup.
Kasus banjir di Sumatera Barat menunjukkan bagaimana proyek-proyek ekstraktif dan pembangunan yang tampak sah secara hukum justru memotong urat nadi ekologis wilayah tersebut, mulai dari penambangan pasir vulkanik yang dilakukan tanpa pengendalian memadai, konversi hutan lindung yang secara langsung meningkatkan risiko longsor dan banjir bandang, hingga pembangunan vila dan resort di dataran tinggi yang mengubah pola aliran air serta mendorong eksploitasi kawasan rawan bencana demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Setiap proyek mungkin dinyatakan “legal” oleh negara, tetapi secara ekologis ia menciptakan ketidakstabilan sistem alam yang pada akhirnya harus dibayar mahal oleh masyarakat di wilayah hilir.
Di Sumatera Utara dan Aceh, konflik agraria antara masyarakat lokal dan perusahaan perkebunan sawit serta hutan tanaman industri telah menyebabkan hilangnya kontrol masyarakat atas kawasan hulu yang selama ini berfungsi sebagai penyangga ekologis. Ketika tanah dan hutan yang sebelumnya dikelola secara beragam dan adaptif beralih menjadi lanskap monokultur, vegetasi alami yang menyerap dan menahan air hujan ikut lenyap, sehingga hujan dengan intensitas tinggi yang seharusnya dapat diredam oleh alam justru dengan mudah berubah menjadi banjir bandang yang menghantam wilayah-wilayah di hilir.
Dalam perspektif Environmental Justice, konflik agraria bukan sekadar sengketa kepemilikan tanah, melainkan konflik ekologis yang mendalam karena menyangkut perebutan akses dan kontrol atas sumber daya ekologi yang menentukan keselamatan dan keberlanjutan hidup. Ketika masyarakat disingkirkan dari ruang kelolanya, bukan hanya keadilan sosial yang tercederai, tetapi juga sistem ekologis kehilangan penjaga utamanya, sehingga risiko bencana meningkat dan ketidakadilan lingkungan direproduksi secara terus-menerus.
David Naguib Pellow dalam Environmental Justice menegaskan bahwa keadilan lingkungan tidak dapat dipisahkan dari analisis kolonialisme, dan dalam konteks ini banjir di Sumatera harus dibaca sebagai bagian dari sejarah panjang kolonisasi ekologis yang membentuk lanskap pulau tersebut. Pada masa kolonial Belanda, pembukaan perkebunan besar dan penataan ulang tata ruang dilakukan untuk melayani kepentingan ekspor dan akumulasi modal kolonial, sebuah pola yang kemudian diwariskan melalui sistem konsesi modern yang dilembagakan oleh negara pascakolonial. Wilayah-wilayah yang dahulu ditetapkan sebagai sumber ekstraksi terus direproduksi sebagai “zona korban”, sementara masyarakat lokal perlahan kehilangan otonomi ekologisnya dari generasi ke generasi, terputus dari kemampuan untuk mengatur hubungan dengan tanah, hutan, dan air mereka sendiri.
Jika pada masa kolonial yang diekstraksi adalah tanaman komoditas seperti karet, kopi, dan tembakau, maka pada era kontemporer korporasi nasional dan multinasional mengekstraksi dengan skala dan intensitas yang lebih luas seperti mineral, energi, tanah, air, bahkan ruang hidup itu sendiri dan dilakukan dengan dukungan penuh aparatus negara. Dalam kesinambungan sejarah ini, banjir yang terjadi hari ini bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan jejak panjang dari dominasi negara-korporasi atas alam Sumatera, sebuah bentuk penjajahan ekologis yang terus berlanjut meski wajah kolonialisme telah berganti.
Dalam filosofi Minangkabau dikenal pepatah “alam takambang jadi guru,” yang menempatkan alam sebagai sumber pengetahuan, etika, dan kebijaksanaan hidup, namun ketika alam dirusak dan keseimbangannya diabaikan, guru itu tidak lagi mengajarkan ketenangan melainkan memberi peringatan yang keras. Sungai-sungai di Sumatera hari ini berbicara melalui luapan air dan kehancuran yang ditinggalkannya, mengajarkan bahwa eksploitasi tanpa batas terhadap hutan, tanah, dan air pada akhirnya menciptakan risiko yang tidak lagi dapat dikendalikan oleh teknologi maupun kebijakan darurat.
Dalam kerangka keadilan lingkungan, bencana seperti banjir bukanlah peristiwa tiba-tiba, melainkan hasil dari rangkaian pilihan moral dan politik yang terus direproduksi dari waktu ke waktu. Pilihan tentang siapa yang dilindungi oleh kebijakan pembangunan, siapa yang dibiarkan hidup dalam kerentanan ekologis, dan siapa yang diuntungkan dari kehancuran lingkungan tersebut. Karena itu, banjir memanggil kita untuk merefleksikan ulang arah pembangunan, karena di balik air yang meluap tersimpan pertanyaan etis tentang keadilan, tanggung jawab, dan masa depan bersama.
Gerakan dari Bawah: Benih Keadilan Lingkungan di Sumatera
David Naguib Pellow menaruh optimisme pada kemungkinan lahirnya keadilan lingkungan justru dari gerakan akar rumput, bukan dari pemerintah atau korporasi yang selama ini menjadi bagian dari produksi krisis ekologis. Dalam pandangannya, perubahan sejati hanya mungkin terjadi ketika komunitas yang paling terdampak mengambil kembali kendali atas ruang hidup, pengetahuan, dan masa depan mereka sendiri. Perspektif ini relevan dengan konteks Sumatera, di mana respons terhadap banjir dan kerusakan lingkungan mulai dimotori oleh inisiatif lokal yang menolak tunduk pada logika ekstraksi tak terbatas.
Di berbagai wilayah Sumatera, masyarakat adat mulai memperkuat kembali aturan nagari, hukum adat, dan sistem pengelolaan tradisional yang selama ini terbukti mampu menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Upaya ini bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu, melainkan strategi politik-ekologis untuk merebut kembali otonomi atas hutan, sungai, dan tanah yang telah lama dirampas oleh rezim konsesi. Dengan menghidupkan kembali hukum adat, masyarakat adat menantang klaim negara dan korporasi atas legitimasi tunggal dalam mengelola alam.
Pada saat yang sama, jaringan aktivis lingkungan, akademisi kritis, dan mahasiswa bergerak membangun kesadaran dan pengetahuan tandingan melalui riset, advokasi kebijakan, serta pendampingan di tingkat komunitas. Upaya penyelamatan daerah aliran sungai, hutan lindung, dan kawasan rawan bencana tidak lagi dipandang sebagai isu teknis, tetapi sebagai perjuangan politik untuk keadilan sosial dan ekologis. Riset kritis mahasiswa dan kerja-kerja advokasi ini berperan penting dalam membuka narasi alternatif atas banjir, bahwa ia adalah hasil dari pilihan pembangunan, bukan takdir alam.
Bersamaan dengan itu, organisasi rakyat dan desa-desa mulai memperjuangkan pengakuan hak atas tanah dan memprakarsai inisiatif pemulihan ekologi berbasis komunal, seperti rehabilitasi hutan, perlindungan mata air, dan pengelolaan ruang hidup secara kolektif. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak menunggu negara untuk bertindak, melainkan membangun bentuk-bentuk keberlanjutan yang berakar pada solidaritas, pengetahuan lokal, dan kebutuhan hidup sehari-hari. Gerakan ini tidak hanya berupaya mengurangi risiko banjir, tetapi juga merebut kembali makna pembangunan itu sendiri.
Semua inisiatif ini menandai tuntutan transformasi yang lebih dalam dari konsep sustainability yang sering kali hanya menjadi pembenaran retoris bagi eksploitasi, menuju livability yang menempatkan kelayakan hidup sebagai tujuan utama, dari obsesi economic growth menuju prioritas survival bagi manusia dan ekosistem serta dari kontrol negara-korporasi atas alam menuju kontrol komunitas yang demokratis dan berkeadilan. Dalam kerangka ini, gerakan dari bawah di Sumatera bukan sekadar respons terhadap banjir, melainkan benih perubahan radikal menuju keadilan lingkungan yang sejati.
Sumber Foto: https://berita.murianews.com/
