Berbeda dengan Hukum yang berbentuk Undang-Undang yang lebih statis, maka Hukum Adat Lebih lebih bersifat dinamis, misalnya saja dalam menentukan sangsi dan denda bagi yang melanggarnya, dia tidak hanya dihitung dari kerugian materil pesakitan tapi harus juga dihitung pemulihan sosiologis dengan mempertimbangkan filosofis historis semuanya dilakukan atas dasar musyawarah dan landasanya adalah ‘murah tempatnyo ado, sukar tempatnyo sulit’. Ini adalah penjelasan singkat Bapak Salim Senawar salah seorang Tokoh Adat di Topos Marga Jurukalang Kabupaten Lebong dalam Diskusi Penyusunan Kompilasi Hukum Adat Jang yang dilaksanakan oleh Akar tanggal 1-2 April 2013.

Jika dilihat dari proses diskusi tersebut, hukum adat haruslah bersifat statis-dinamis, dan hukum adat harus memiliki sifat yang khas yakni monodualisme; statis sekaligus dinamis dan plastis/elastis, karena tujuan hukum adat menuju keteraturan yang mengikuti dinamika dan perkembangan masyarakatnya. Jika kondisi ini dikonversikan kepada Hukum Adat Jang, maka keteraturan tersebut hanya bisa tercapai jika ada sifat-sifat umum yang melekat dalam Hukum Adatnya, sifat umum tersebut antara lain; Religio Magis (berhubungan dengan kepercayaan gaib), Sifat Komunal (memastikan keutuhan dan kepentingan komunal), Sifat Kontan/Tunai (harus selesai bersamaan dengan keputusan adat), dan Sifat Kongkrit (dalam Adat Jang disebut Terang, tidak boleh dikaburkan atau digelapkan).

Sifat-sifat tersebut dalam sistem Hukum Adat Jang termuat dalam Punen Pokok (Pokok Adat) yang sering juga disebut dengan adat sejati, misalnya Saleak Cong Udi Bepapet adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk pemulihan kondisi keseimbangan atas perselisihan atau persengketaan atau terjadinya perkara adat di dalam wilayah hukum adat Jang, Saleak Kunuak Udi Tebangun adalah kiasan berisikan nilai-nilai sebagai pegang pakai masyarakat adat Jang untuk menyatakan akibat perbuatan menghilangkan nyawa seseorang maka diwajibkan diwajibkan untuk membayar denda yang disebut ”Bangun”  dan beberapa ungkapan lainnya.

Dalam sistem berperadilan adat, cangkupan hukumnya meliputi Suku atau anak suku Rejang (Jang) yakni kesatuan kekeluargaan yang timbul dari system unilateral (kebiasaanya disusurgulurkan kepada satu pihak saja) dengan system garis keturunannya yang partrinial (dari pihak laki-laki) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada di mana-mana. dan sistem Kutai adalah salah satu kesatuan Hukum masyarakat Adat asli Jang yang berdiri sendiri, genelogis dan tempat berdiamnya jurai-Jurai atau suku-suku atau disebut dengan kesatuan komunitas yang berdiri sendiri.

Dari diskusi yang dilaksanakan tersebut, jabaran Hukum adat Jang adalah norma yang tumbuh dan berkembang serta dipatuhi dan mengikat masyarakat adat Jang dalam satu kesatuan wilayah hukum adat Jang, didalamnya mengandung nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, musyawarah, mufakat, kepatutan, magis, religius, arif dan bijaksana dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul di batas-batas wilayah hukum adat Jang. Maka Peradilan Adat Jang adalah mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat adat Rejang menciptakan keseimbangan dan mendorong memberikan daya Koersif kepada warga supaya mau tunduk pada aturan yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Dalam melakukan Praktek-praktek berperadilan maka Pedoman dalam penyelesaiannya adalah dokumen Kelpiak Ukum Adat yang berisikan kumpulan dokumen yang berisikan tentang tata aturan penyelesaian sengketa adat yang terjadi di satu kesatuan wilayah hukum adat Jang, praktek-praktek ini dilaksanakan oleh Jenang Kutai adalah perangkat peradilan adat yang teridiri dari beberapa personal yang merupakan representatif dari struktur pemerintahan adat Jang dan memiliki kewenangan dan kapasitas untuk menjalankan sistem tata aturan hukum adat sementara tempat Penyelesaian sengketa dilaksanakan di wilayah hukum adat Jang dimana terjadi perselisihan atau persengketaan atau tempat terjadinya perkara adat.