Wilayah adat kami bukan saja suatu benda yang kentara di mata, melainkan lebih memiliki makna gaib, makna yang tersilam” Ninik Alinudin (72 th)

 

Desa Embong Uram adalah salah satu desa adminstratif di Kecamatan Embong Uram Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu dan merupakan desa penyanggah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Masyarakat Embong Uram adalah kesatuan masyarakat suku Rejang, sistem kelembagaan di sebut dengan Kutai, sistem hukum adat disebut dengan pegong pakei, wilayah adat disebut dengan taneak tanai Embong U’em dan sistem geneologis berbasis tambo yang di hitung dari garis keturunan laki-laki. Sehari-hari masyarakat Embong Uram mengunakan Bahasa Rejang dengan logat Lebong.

Kesatuan masyarakat Kutai Embong U’em, merupakan anggota pederasi dari beberapa kutai Marga Sukau IX dan mereka percaya lahir dari keturunan dari Demong Samin anak keturunan dari Ki Karang Nio. Agama Islam adalah agama yang dianut dan dipercayai oleh masyarakat Embong Uram, namun masih mempraktekkan kepercayaan-kepercayaan lokal dan percaya akan kekuatan lain yang melingkup kesatuan wilayah adat mereka.

Cara yang dimaksud oleh Ninik Alinudin (72 th) yang merupakan tokoh Adat Embong Uram yang menyatakan “Wilayah adat kami bukan saja suatu benda yang kentara di mata, melainkan lebih memiliki makna gaib, makna yang tersilam” adalah cara berpikir dari gerak alam yang hidup disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang gejala alam.

Kekuatan adikodrati di wilayah adat atau yang sering mereka sebut dalam Bahasa Rejang taneak tanai, dipercayai dapat menimbulkan kekuatan gaib dan dapat menguasai alam sekitar, termasuk alam pikiran serta tingkah laku penduduknya. Bagi penduduk di Embong Uram segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat tidak ada pemisahan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antar manusia dengan makluk lainnya. Menurutnya bahwa “Segala sesuatu bercampur baur, bersangkut paut dan saling berpengaruhi, Aturan adat kami merupakan penjelmaan dari keseimbangan, keselarasan, keserasian, segala yang mengganggu keseimbangan merupakan pelangaran Hukum,”

Masyarakat Embong Uram tidak terpisahkan dan dipisahkan dari semua yang ada diwilayahnya, termasuk dengan kepercayaan gaib yang ada di belakang alam, masa lalu dan masa mendatang. Hak atas Tanea Tanai merupakan objek yang berhubungan dengan tanah, hubungan itu bukan hanya hubungan ekonomi sebagai pemenuhan kebutuhan penduduk, tetapi berhubungan sebagai identitas dan hubungan tanah dengan kepercayaan. Dan Taneak Tanai ini merupakan bagian dari hak persekutuan hukum adat. Hak atas tanah tidak hanya melekat pada penduduk kampung tetapi melekat dengan kekuatan adikodrati yang melingkupinya. Hak atas tanah adalah kepunyaan dan boleh digunakan untuk kebutuhan dan kepentingan bersama.

Dengan keyakinan tersebut, hak atas tanah harus memberikan kapasitas secara khusus kepada warga kampung atau warga adat yang bersangkutan untuk mengelola, memanfaatkan, dan merawat tanah beserta sumber daya alamnya. Dan secara eksternal memberikan tanggung jawab untuk menjaga tanah dan sumber daya alamnya. Tanah yang dimanfaatkan untuk wilayah pemukiman mereka menyebutnya sebagai Sadei, untuk pemukiman permanen dan petalangan atau talang untuk menyebutkan pemukiman di areal perladangan. Untuk Kawasan hutan yang di lindungi mereka menyebutnya imbo piadan, atau hutan yang dijaga atau terjaga sedangkan tanah untuk kebutuhan ekonomi mereka menyebutnya sebagai areal perladangan baik yang difungsikan untuk kebun maupun untuk persawahan.

Areal perladangan masyarakat Embong Uram, selain Kawasan-kawasan hutan atau imbo piadan adalah Kawasan perladangan turun-temurun yang mereka sebut jamai dan sakea. Untuk pembukaan Kawasan hutan yang akan dijadikan sebagai areal perladangan, ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh warga Embong Uram. Kawasan yang dijadikan untuk perladangan tidak boleh memiliki tingkat kecuraman, ukurannya adalah kayu yang ditebang tidak boleh meluncur ke bawah dan daerah di sepanjang sempadan sungai dianggap akan mendatangkan marabahaya bagi pengelola ladang. Masyarakat Embong Uram sampai saat ini tidak berani memiliki lahan perladangan satu di Utara dan satunya di Selatan dari tempat mereka bermukim, mereka percaya akan ada kekuatan gaib yang akan mencelakaan mereka.

Sebelum membuka lahan untuk perladangan di dalam kawasan hutan atau imbo, ritual yang mereka sebut kedurai selalu dilaksanakan. Kedurai adalah ritual untuk meminta izin kepada penguasa gaib yang mereka percayai sebagai penjaga hutan. Ritual dilakukan dengan pemotongan ayam hitam sebelum membuat tanda tertentu di dalam kawasan yang akan di kelola berupa sulo, kayu silang dan melakukan penamaan sejenis tanaman penyeluang abang sebagai tanda kawasan tersebut telah dikuasai.

Kedurai, ritual untuk membuka lahan sebagaimana yang diceritakan oleh Ninik Alunidin bahwa ritual tersebut adalah ritual untuk memanjatkan do’a-do’a kepada leluhur oleh pemilik kebun dan biasanya di pandu oleh orang-orang pintar yang disebut dukun. Dalam ritual ini  disajikan sesembahan berupa Punjung Putiak (nasi putih biasa), Punjung Kuning (nasi kunyit), Punjung Mleu (Ketan Hitam).

Sebelum pemilihan lahan dan ritual dilaksanakan, jika dilahan tersebut terdapat put keling, sejenis cekungan terbuka dan tidak tertutup oleh tanaman/semak atau cekungan yang terlihat kosong maka wilayah tersebut tidak boleh dibuka dan dijadikan lahan garapan. Selain put keling, tingkat kecuraman yang tinggi dan berada di pingir juruang, tanaman kayu berupa cuguk bauk dan/atau kayu gesek juga dipercayai sebagai tanaman tegakan yang memiliki dan di kuasai oleh makluk gaib. Jika di atas lahan yang akan dijadikan lading atau kebun terdapat pohon bunut atau kayu aro dan pohon pwua maka lahan tersebut layak untuk dijadikan sebagai areal perladangan. Bisanya jika terdapat pohon-pohon tersebut maka tanah yang akan dijadikan kebun merupakan tanah yang memiliki tingkat kesuburan yang bagus.

Dua sampai empat minggu, lahan tersebut mulai dibersihkan dari tanaman semak-semak.  Setelah proses pembersihan dilakukan mulailah mereka membuka ladang dan penebangan kayu-kayu besar dengan mengunakan alat sederhana berupa beliung, kapak dan pisau. Beliung digunakan untuk memotong atau menebang kayu, dengan alat ini pengarap bisa mengarahkan kemana arah kayu akan roboh. Mata beliung terbuat dari besi berbentuk mata kapak dengan gagang dari rotan yang berdiameter 3-4 cm mata beliung dipasang melintang pada gagang sehingga tampak seperti pacul. Kapak digunaan untuk memotong dan membelah kayu-kayu besar sedangkan pisau yang mereka sebut golok atao rodos adalah alat untuk membersihkan batang-batang kecil setelah kayu-kayu besar berhasil ditumbangkan. Proses penebangan pohon pada saat membersihkan lahan apakah boleh atau tidaknya ditebang, peladang menancapkan kapak ke pohon pada sore hari dan ditinggal kemudian dilihat keesokan harinya, jika kapak tersebut terlepas maka pohon tersebut tidak boleh ditebang. Masyarakat percaya bahwa kapak tersebut tidak jatuh atau lepas dengan sendirinya bahwa ada sosok yang melakukan perbuatan tersebut.

Aktifitas pembersihan dan penebangan kayu biasanya dilakukan di awal musim kemarau, selama satu atau dua bulan Kawasan yang sudah dibersihakan di tinggalkan oleh pemiliknya. Baru setelah kayu-kayu dan semak-memak sudah mengering atau kering, mereka mulai melakukan aktivitas mengeges, membersihan keliling lahan bertujuan untuk mencegah ketika api tidak menjalar kemana-mana ketika proses pembakaran dilakukan. Aktivitas membakaran lahan mereka menyebutnya mengepoa, mengumpulkan kayu-kayu kering dan semak-semak dalam beberapa tumpukan kemudian di bakar.

Proses pembakaran lahan atau ngepoa biasanya dilakukan menjelang musim penghujan, mereka selalu melakukan kalkulasi berdasarkan hitungan atas, atau hitungan bulan. Setelah melakukan aktivitas pembakaran lahan biasanya musim penghujan tiba, dan mulailah mereka melakukan aktivitas penanaman atau menanem. Perladangan-perladangan yang ada di Embong Uram tanaman utama mereka adalah komoditi kopi yang diambil dari bibit semaian. Diantara tanaman kopi pohon durian sebagai tanaman sebagai kelinduak kupi atau tanaman peneduh. Sebelum tanaman kopi tumbuh besar, lahan-lahan memanfaatkan dan ditanami dengan tanaman-tanaman muda berjenis palawija. Tanaan ini berfungsi sebagai rotasi tanaman untuk kebutuhan jangka pendek seperti cabe, jahe, terong dan sejenis kacang-kacangan.

Di areal perladangan yang masih bisa dijangkau dari pemukiman, ditengah-tegah ladang umumnya mereka membangun serudung, pondok sederhana terbuat dari kayu-kayu kecil atau bamboo terdiri dari satu ruang multi fungsi, hanya sebagai tempat untuk berindung dari panas dan hujan.

Selama perjalanan menuju lahan-lahan yang jauh dari pemukiman para petani biasanya da tempat favorit untuk beristirahat, seidaknya untuk minum sejenak atau untuk makan siang jika kebun mereka sangat jauh. Tempat ini dinamakan pudau dan aktivitasnya dinamakan mudau. Pudau adalah lokasi yang biasanya terdapat pohon rindang atau lokasi yang sejuk dan nyaman digunakan untuk istirahat. Pudau ini juga merupakan tempat bertukar informasi  antar para petani. Berbagai macam infromasi yang terjadi seperti penggunaan pukuk, lokasi pembelian bibit, permasalahan hama yang terjadi, dan berbagai macam informasi perihal pembibitan, penanaman sampai dengan pasar. Tempat ini diberinama sesuai dengan ciri-khasnya, misalkan jika di pudau terdapat pohon cempedak atau dalam bahasa rejang disebut temdoak maka pudau tersebut dinamakan pudau temdoak.

Lahan-lahan yang jauh pemukiman dan mengharuskan menginap, mereka membangun pondok kebun. Mereka hanya menginap ketika masa-masa sibuk kerja atau masa panen. Pondok yang mereka bangun terdiri dari empat ruang kecil yaitu beranda, ruang tidur, dapur dan tempat menyimpan air yang mereka sebut ga’ang. Peralatan sederhana mereka simpan di dalam pondok, berupa beronang yang terbuat dari anyaman bambu. Untuk wadah yang lebih besar mereka menyebut pane, yang lebih kecil disebut boko’a. Fungsinya berbeda-beda. Pane digunakan untuk membawa hasil penen dari lahan dan boko’a sebagai media menyimpan.

Dalam aktivitas berkebun ada interaksi yang unik antar tetangga kebun. Interaksi ini juga merupakan salah satu bentuk upaya saling menjaga satu sama lain. Biau, sebuah seruan untuk memastikan ada atau tidaknya tetangga kebun. Suaranya beragam tergantung komunal yang mengelola perkebunan seperti seruan “huuuu!!!”, jika ada balasan balik dari suara tersebut berarti tetangga kebun sudah berada di lokasi, siapa-nya tergantung dari mana sumber suara datang.

Selain biau sebagai bentuk interaksi ada asap sebagai tanda bahwa ada orang di lokasi kebun. Asap ini juga digunakan peladang untuk mengusir serangga yang menggangu atau juga sebagai bentuk menjauhkan diri dari binatang buas. Pada saat peladang tiba di wilayah kebunnya kemudian melihat ada asap dari arah kebun tetangga ia akan melakukan biau, jika tidak ada jawaban maka hal tersebut patut di curigai, atau jika seruan dari  biau dibalas dengan nada yang tidak biasanya maka patut dicurigai juga bisa jadi terjadi kebakaran atau ada pencuri di sekitar kebun tetangga.

Bentuk dari nilai balas budi dari berkebun adalah ali bilai atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan membalas hari. Maksudnya adalah jika saya membantu teman saya membersihkan kebunnya maka jika saya akan membersihkan kebun saya ia akan membalas perbuatan yang saya lakukan dengan membantu membersihkan kebun saya juga. Jasa dibalas dengan jasa yang merupakan suatu bentuk nilai balas budi yang terjadi dalam aktivitas berkebun.

Tempat penyimpanan air yang disimpan di ga’ang disebut gigik terbuat dari media ruas bambu yang di potong. Saat ini gigik semakin sedikit digunakan oleh peladang sebagaian besar mengunakan jerigen berbahan plastik. Sumber-sumber air biasanya berasa dari sumber mata air di sekitar areal perladangan yang mereka sebut sebagai biyoa tik. Biyoa tik kebanyakan digunakan secara bersama-sama oleh peladang yang kebun-kebunnya berdekatan atau sawang kebun.  Selain bercocok tanam di ladang, Sebagian dari mereka memiliki areal persawahan dan melakukan praktek beternak berupa bebek dan itik serta memelihara ikan di dalam petak-petak sawah. Untuk musim-musim tertentu sebagian peladang melakukan aktivitas menangkap ikan di sungai-sungai dalam hutan. Kutau, adalah lokasi favorit bagi pedang dan masyarakat Embong Uram untuk mencari ikan sungai. Ketika masa-masa sulit sebagian peladang banyak yang masuk ke dalam Kawasan hutan untuk be ka’es, mencari kayu gaharu.

Dalam mengelola lahan yang biasa mereka sebut kebun dan saweak ada pembagian kerja dalam keluarga, laki-laki lebih banyak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat seperti menebas, menebang sementara perempuan mengerjakan kerja-kerja ringan seperti menanam, merawat tanaman dan mengelola serta menjual. Modal produksi sebagian besar di tanggung oleh masing-masing peladang, untuk kebutuhan sehari-hari para peladang membuat kesepakatan dengan warung-warung yang ada di desa. Mereka bisa mengambil kebutuhan-kebutuhan seperti minyak, beras, gula dan lain-lain. Akumulasi kebutuhan akan di bayar setelah musim panen dengan penyesuain harga yang dihitung ketika proses pembayaran dilakukan baik secara tunai maupun di potong dari penjualan dari hasil produksi lahan.