Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku Bangsa Melayu. Mendiami wilayah dataran tinggi Sumatera dan memiliki Bahasa dan Tulisan. Menurut riwayat, suku Rejang ini awalnya mendiami di wilayah Renah Sekalawi atau Pinang Belapis, wilayah ini kemduain di Kenal dengan Kutai Belek Tebo atau wilayah Lebong yang sekarang. Rejang sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan fakta yang tak terbantahkan.
Keberadaannya telah terdokumentasi dengan baik dalam sejumlah literatur sejarah dan hukum adat. John Marsden (Residen Inggris di Lais, tahun 1775-1779), dalam laporannya menyatakan adanya empat petulai Rejang yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (Selupu) dan Toobye (Tubai).[1] Dan dalam laporannya mengenai ‘adat-federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang Dr. JW. Van Royen menyebutkan bahwa kesatuan Rejang yang paling murni dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang di satu Bang, harus diakui Rejang yang ada berada di wilayah Lebong.[2]
Berdasarkan sejarah, bentuk kesatuan MHA Rejang mengalami lima tahapan perkembangan dari bersifat geneaogis menjadi teritorial, yakni meramu (genealogis), petulai (genealogis), kutei (genealogis), kuteui (teritorial), dan marga (teritorial). Hingga tahun 1961, Siddik (1980) mencatatMHA Rejang mendiami 28 marga di wilayah Provinsi Bengkulu, dan 15 marga di Provinsi Sumatera Selatan. Keberadaan MHA Rejang merupakan salah satu fakta keberagaman bentuk masyarakat yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengakui, menghormati dan melindungi keberagaman tersebut, para pendiri bangsa pun menetapkan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara dan dijadikan pijakan dalam menyusun UUD 1945.
Istilah masyarakat hukum adat (MHA) ini semakin sering digunakan karena mendekati istilah yang dipergunakan di dalam UUD 1945 yaitu istilah kesatuan masyarakat hukum adat. Sehingga memberikan kesan bahwa istilah inilah yang paling sahih dan sesuai dengan konstitusi. Hanya saja, beragam peraturan perundangan-undangan tersebut tidak menjelaskan definisi Masyarakat Hukum Adat. Sedangkan istilah kesatuan masyarakat hukum adat dipergunakan dalam UU Pemerintahan Daerah dan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai entitas hukum yang diakui dan dihormati keberadaannya berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian diatur dalam undang-undang. Kata awal “kesatuan” pada istilah ini menunjukan bahwa masyarakat adat itu merupakan suatu bentuk komunitas (community) yang memiliki ikatan-ikatan berdasarkan adat, bukan society yang lebih longgar dan bersifat umum.
Namun paska keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, negara didesak untuk mengakui keberadaan MHA. Dalam pokok pikirannya, MK menyatakan “Peraturan Daerah (Perda) merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Pusat. Pendelegasian ini adalah upaya menjalankan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat sejatinya dilakukan dalam undang-undang, namun untuk menghindari kekosongan hukum, maka MK berpendapat bahwa pengaturan oleh Pemerintah Daerah dibenarkan”. Oleh karena itu, upaya mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan MHA Rejang dan hak asal-usulnya dengan menerbitkan peraturan daerah menjadi suatu keniscayaan untuk tidak memperpanjang masa kelam yang dialami MHA Rejang. Terutama di Kabupaten Lebong yang dikenal sebagai daerah asal-usul MHA Rejang.
Akar Foundation bersama dengan Masyarakat Hukum Adat Jurukalang dan Marga Suku IX telah mengajukan usulan pengakuan ditingkat Daerah dalam bentuk Naskah Akademik dan Rancangan Peranturan Daerah (Raperda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong. Raperda ini menjadi Raperda Inisistif DPRD Kabupaten Lebong. Pada tanggal 28-29 Juli 2016 Bertempat di Hotel Asri Muara Aman, Akar Foundation bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Propinsi Bengkulu mengadakan pertemuan teknis dengan Ketua DPRD Lebong, BAPEDA, Dinas Kehutanan Propinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten Lebong, Bagian Hukum Pemkab Lebong, Balai Taman Nasional Kerinci Sebelat (BTNKS), Kepala Desa dari 11 Desa Model, Tokoh Masyarakat Hukum Adat Jurukalang dan Marga Suku IX. Hasil dari Pertemuan Teknis ini adalah;
- Raperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang adalah Raperda Inisiatif DPRD Lebong
- Perlu adanya penguatan pada Raperda tentang fakta empiris tentang hak atas adat, akses Masyarakat Adat terhadap wilayah serta konsolidasi yang akan mengikutsertakan Anggota DPRD Lebong
- Objek Pengakuan dan Perlindungan yang ada di dalam Raperda harus menyeluruh dan Memasukan lima Marga yang ada di Kabupaten Lebong (Marga Bermani, Jurukalang, Suku IX, Suku VIII dan Selupu Lebong)
- Pentingnya perspektif perlindungan dan kelestarian ekologi hutan sebagai basis identitas, keamanan dan kepercayaan bagi Masyarakat Hukum Adat Rejang
- Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang perlu dilakukan Konsultasi Publik yang akan dilaksanakan secara bersama antara Akar Foundation dan Sekretariat DPRD Kabupaten Lebong.
[1] W. Marsden, The History of Sumatera, London MDCCLXXXIII, hal 178
[2] Dr. JW. Van Royen, adat-federatie in de Residentie’sBengkoelenen Palembang Bab de Redjang. Hal 18