Catatan Singkat, Erwin Basrin

Pulau Enggano, yang terletak di Bengkulu dimasukkan kedalam golongan Pulau Karang Timbul (Raised Coral Island) yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke permukaan laut karena proses geologi yang unik. Enggano tidak pernah terhubung ke daratan Sumatera dan menjadikannya hanya bisa di akses melalui laut dan udara. Keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh pulau Enggano yang kaya melampaui formasi geologinya, dengan berbagai studi melaporkan berbagai spesies lumut, sebanyak 49 spesies lumut telah diidentifikasi, dari survei fauna ikan air tawar pada 11 sungai yang membelah Pulau Enggano teridentifikasi 457 spesimen ikan dari 28 spesies dikumpulkan di 11 perairan tawar. Potensi sektor laut melebihi potensi yang ada di daratan, dimulai dari perikanan, karang, lamun maupun biota lautnya. Masyarakat hukum adat Enggano memiliki ikatan yang kuat dengan laut, spesies penyu menjadi bagian penting dari ritual adat dan menjadi sajian sakral yang diatur secara ketat oleh adat untuk kelangsungan hidup dan habitat penyu.

Hukum adat berakar kuat pada kebijaksanaan dan tradisi lokal bukan saja menyangkut komoditas pendukung adat Enggano tetapi juga pada sistem kekerabatan, pola pemukiman tradisional, struktur kepemimpinan dan salah satu aspek penting dari hukum adat Enggano adalah konservasi dan perlindungan penyu yang terancam punah karena eksploitasi berlebihan. Upaya untuk menyelaraskan nilai-nilai konservasi antara hukum adat dan hukum nasional telah dilakukan dengan melarang penangkapan penyu kecuali untuk tujuan upacara dan menjatuhkan denda untuk pelanggaran. Kesepakatan tentang penggunaan dan pelarangan spesies penyu disepakati antara otoritas adat dengan otoritas negara. Mereka juga dengan sadar membuat larangan penangkapan burung beo dan penebangan kayu merupakan pelanggaran berat termasuk penanaman kelapa sawit di wilayah Enggano.  

Integrasi hukum dari undang-undang nasional ke dalam Peraturan Desa dan adat dipandang sebagai model untuk mengoptimalkan perlindungan penyu tanpa mengorbankan ritual tradisional, memastikan pelestarian warisan budaya Enggano sekaligus kelestarian lingkungan untuk jangka panjang. Persimpangan praktik hukum dan adat ini mencerminkan relasi yang sedang berlangsung antara tradisi dan modernitas di Pulau Enggano. Ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang. Pernyataan tersebut dimaknai sebagai pengakuan hak bagi masyarakat hukum adat terkait eksistensinya termasuk praktek-praktek hukum adat.

Masyarakat hukum adat yang tinggal di Pulau Enggano atau Pulau Aru penyebutannya dalam bahasa lokal, telah diakui secara non formal karena eksistensinya yang menjunjung tinggi aturan-aturan adat, menyatukan perbedaan etnis dan agama, serta mendorong perdamaian dan harmoni dalam masyarakat. Keharmonisan yang dipraktekkan oleh orang Enggano adalah dengan mengintegrasikan pendatang baru (suku sahabat) ke dalam masyarakat Enggano dengan hak yang sama dan identitas etnis yang terpisah termasuk bagaimana mereka memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kebutuhan mereka secara berkelanjutan. Peningkatan etnis “suku sahabat” termasuk menghentikan perselisihan internal mereka telah dilakukan oleh Pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1880 melalui keputusan Barharu yang isinya menghentikan semua bentuk perselisihan yang terjadi antar suku asli yang ada di Enggano dan mengikat kerjasama dan persahabatan dengan suku lainnya.

Harmonisasi sosial yang terjadi antar mereka berkontribusi dalam memproduksi harmonisasi spasial sebagai ruang hidup sekaligus identitas, sistem pengelolaan spasial lahan adat dicirikan oleh kompatibilitas dengan kondisi sosial ekonomi dan pengetahuan adat memainkan peran penting dalam meminimalisir degradasi lahan. Sistem kepemilikan lahan tradisional menunjukkan struktur kepemilikan ganda, menggabungkan kepemilikan komunal dan individu, dan yang tidak menghambat pertumbuhan ekonomi seperti banyak yang diasumsikan oleh orang luar yang tidak paham Enggano. 

Dalam pranata hukum adat Enggano (yahauwa) menyebutkan tentang tanggung jawab setiap warga adat diwajibkan untuk bertanggungjawab dan membangun dirinya secara berkelompok di dalam Kaudar, sistem perkampungan atau wilayah adat suku yang dipimpin oleh Kap Kaudar. Beban tanggung jawab ini diberikan oleh adat tersebut untuk meminimalisir dampak negatif pada masyarakat Enggano yang dinamis dan selalu mengalami perubahan.

Pulau Enggano memiliki kawasan hutan sebesar 36,32 % dari total luas pulau yang difungsikan sebagai perlindungan, pelestarian ekosistem dan menyangga kehidupan penghuni pulau. Oleh Negara kawasan hutan tersebut dibagi menjadi beberapa status hutan yaitu sebagai Hutan Lindung Koho Buwa-Buawa (3.450,00 Ha) dan Hutan Produksi Terbatas Ulu Malakoni (2.191,78 Ha). Cagar Alam (CA) Sungai Baheuwo (496,06 Ha) , CA. Teluk Klowe (331,23 Ha), CA. Tanjung Laksaha (333,28 Ha), CA. Kioyo I & Kioyo II (305,00 Ha), dan Taman Buru Gunung Nanua (7.271.00 Ha). Kawasan hutan yang ditetapkan negara sebagai fungsi lindung, produksi dan konservasi tersebut berada di atas wilayah masyarakat hukum adat Enggano.

Masyarakat hukum adat Enggano memiliki hubungan yang mengakar dengan lingkungan dan wilayah adat, mereka memanfaatkan berbagai jenis tanaman untuk makanan, kontruksi, obat-obatan dan eksistensi pengetahuan etnobotani. Dengan ditetapkannya sebagian wilayah adat menjadi hutan Negara berdampak pada peregangan relasi antara masyarakat adat dengan lingkungan termasuk mengabaikan hak masyarakat hukum adat Enggano sebagai pemilik hak.    Persoalan eksploitasi sumber daya alam oleh pihak dari luar Enggano, semakin banyaknya tanah adat yang telah dijual kepada orang lain atau pendatang, kasus pelaporan dugaan penjualan tanah ulayat oleh oknum aparat desa yang dilaporkan oleh para kepala suku ke pihak kepolisian dan terjadinya dualisme kepemimpinan antara kepemimpinan adat dengan kepemimpinan desa adalah persoalan yang muncul akibat pengabaian hak masyarakat hukum adat dalam mengelola dan mengatur wilayah adatnya. Dari perspektif adat, tanah adat atau inyah panapue yang dimiliki secara turun temurun secara kolektif yang dibagi kedalam beberapa wilayah suku yang disebut dengan Kaudar. Kepala Desa Administratif yang diberi otoritas mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) sering kali mengabaikan posisi Kepala Suku sebagai pemangku wilayah adat dalam proses pengalihan hak atas tanah.

Meskipun di Dalam UUPA No 5 tahun 1960 tidak memberikan penjelasan lebih jelas terhadap hak ulayat, kecuali menyebutkan frasa bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschilkkingrecht yang di dalam kepustakaan hukum adat merupakan istilah teknis yuridis yaitu hak yang melekat sebagai kompensasi khas masyarakat hukum adat, berupa kewenangan/kekuasaan untuk mengurus dan mengatur seisinya dengan daya laku ke dalam maupun  keluar. Mengatur dan menyelenggarakan pengadaan tanah untuk pemukiman, bercocok tanam, pemukiman, persawahan baru dan lain-lain. Dalam masyarakat hukum adat Enggano, sistem adat juga mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah dengan memberikan hak tertentu pada subjek tertentu sekaligus mengatur perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah yaitu jual-beli, warisan dan lain-lain.

Kebijakan penetapan wilayah adat sebagai hutan negara mencabut kewenangan pada sebagian hak masyarakat hukum adat Enggano. Kebijakan kehutanan pasca Orde Baru mulai membuka ruang pengakuan bagi masyarakat hukum adat, meskipun masih terdapat kekaburan prosedur dalam penetapan hutan adat, nyatanya hutan adat yang diklaim masyarakat hukum adat Enggano telah dialih status oleh negara menjadi hutan negara meskipun berada di dalam wilayah hak ulayat Enggano. Putusan MK 35/PUU-X/2012 memungkinkan pengakuan hutan adat di dalam hutan negara dengan pengharusan prasyarat adanya pengakuan di tingkat daerah. 

Bagi masyarakat hukum adat Enggano, di dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan negara terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan, berupa kuburan, areal persawahan, penggembalaan dan fungsi-fungsi untuk memenuhi kebutuhan umum serta tanah-tanah yang dimiliki perseorangan warga adat. Relasi ini mengakar bukan saja untuk kepentingan pemanfaatan tetapi sebagai media praktik berbagai nilai-nilai dan pengetahuan tradisional untuk menjaga keseimbangan ekosistem Enggano yang mulai rentan. 

Menggabungkan perspektif adat Enggano dalam tata kelola hutan dapat mengarah pada kebijakan yang lebih efektif yang menghormati hak-hak masyarakat hukum adat Enggano dan mempromosikan pelestarian budaya. Dengan mengakui hutan adat, tidak hanya dapat mengatasi perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerawanan pangan, tetapi kita juga dapat meningkatkan sistem biosekuriti dengan mengintegrasikan pengetahuan adat ke dalam praktik pengelolaan hutan yang pada akhirnya, mengakui hutan adat bukan hanya masalah konservasi lingkungan tetapi juga langkah untuk menghormati hak dan kontribusi masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan dan upaya konservasi keanekaragaman hayati global.

Bersambung…….

Privacy Preference Center