Catatan Singkat, Erwin Basrin

Enggano merupakan salah satu Pulau terluar yang ada di bagian Barat Pulau Sumatera yang segaris dengan gugusan Pulau Mentawai dan Nias, secara administratif Pulau Enggano bagian dari Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu dengan luas kurang lebih 400,6 Km2 yang dihuni oleh lima suku asli (Kauno, Kaitora, Kaarubi, Kaharuba dan Kaahoao) dan satu suku pendatang (suku Kamay). Ke enam suku tersebar di enam desa yaitu Kahyapu, Meok, Malakoni, Kaana, Apoho, Banjarsari merupakan desa-desa dalam Kecamatan Enggano.

Sebagian sumber menyebutkan kata Enggano berasal dari bahasa yang diucapkan oleh pelaut Portugis, Talesso bermakna “Kesalahan” dan “kekecewaan”  karena terdampar di pulau tersebut, yang lain menyebutkan berasal dari bahasa China bermakna “rusa bertanduk” untuk menggambarkan model rambut kepang dua menonjol ke atas Perempuan Enggano. Bagi Masyarakat Enggano, mereka meyakini lahir dan anak keturunan dari dua pasangan manusia bernama Kimanipe dan Manipah. Sebagai kesatuan Masyarakat hukum adat dengan garis keturunan matrilineal sebagai pembentuk suku dan sistem Kaudar sebagai otoritas pengatur hak adat, mereka menyebut diri sebagai ekeppu yanipah.

Acara Buka Pantang, Masyarakat Hukum Adat Enggano
Acara Buka Pantang, Masyarakat Hukum Adat Enggano, Akar Global Inisiatif, 2014.

Kaminape dan Manipah adalah penumpang yang terdampar dari musibah di kapal layar, anak keturunannya membentuk kesatuan Masyarakat hukum adat Enggano. Dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa Enggano, bahasa isolat dari rumpun bahasa Austronesia yang memiliki kekerabatan sangat jauh dibandingkan dengan bahasa Melayu Bengkulu, Rejang, dan Pekal. Meskipun awalnya sulit untuk diklasifikasikan, bahasa Enggano telah diperdebatkan karena afiliasi genetiknya, dan hasil klasifikasinya bahasa Enggano menunjukkan dirinya sebagai bahasa Austronesia dari subkelompok Malayo-Polinesia. Dengan berbagai pengaruh, saat ini Bahasa Enggano menghadapi ancaman kepunahan karena kebocoran diglosia yang sebab utamanya adalah pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada di Pulau Enggano.

Komunitas Masyarakat hukum adat Enggano menyatukan perbedaan etnis dan agama dan adat melalui kearifannya memainkan peran penting dalam membentuk perilaku, menjaga keharmonisan untuk perdamaian. Hampir tidak ada konflik yang terjadi karena adat dan kearifan lokal yang dimiliki orang Enggano menjembatani perbedaan secara efektif. Perang antar suku di masa lalu yang disebabkan oleh banyak hal diselesaikan dan dikonstruksikan dalam bentuk tari-tarian, mereka hanya mengingatnya sebagai tragedy yang tidak perlu di ulang. Adat dan kearifan lokal Enggano bagaimana penerimaan terhadap orang luar yang secara adat memungkinkan, imigran lokal untuk memiliki hak yang sama dengan syarat harus melepaskan identitas budaya saat memasuki Enggano dan dikonsolidasi dalam suku Kamay.

Pieters J Ter Keurs, menyebut Suku Enggano pertama kali dilihat oleh  awak kapal dari Portugis yang kapalnya mendarat di pulau tersebut pada awal tahun 1500-an. Elio Modigliani (1894) dalam perjalanannya dan menetap selama delapan bulan di Enggano menulis buku L’isola delle donne Viaggio ad Enggano “Perjalanan ke Pulau Perempuan di Enggano”. Dia menyoroti bagaimana posisi sentral Perempuan Enggano dalam berbagai prosesi adat, Perempuan Enggano adalah penjaga tradisi dan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Interaksi dengan orang luar perlahan membentuk sistem kepercayaan dan menempatkan orang Enggano sebagai pemeluk agama Kristen dan kemudian disusul oleh Islam, diantara pengaruh agama, adat tetap konsisten sebagai jembatan efektif menghubungkan antara berbagai perbedaan kepercayaan, suku dan bahasa bagi penghuni pulau Enggano. Masyarakat Enggano sampai saat ini masih tetap mengadopsi sistem yang ideal yaitu perkawinan eksogami dan tetap mempraktekkan perkawinan matrilineal dimana sistem pewarisan suku, harta warisan, dan harta pusaka yang mereka sebut dengan kahuaei didasarkan pada garis ibu.

Masyarakat Hukum Adat Enggano, Akar Global Inisiatif, 2024

Keluarga inti yang merupakan sub klan berjumlah 50-60 orang dikonsolidasi untuk menetap dalam pola pemukiman tradisional yang mereka sebut anai’ya dan ma’aoa, Kaudar (kaudar) dan dipimpin oleh Kap Kaudar. Sementara kesatuan masyarakat genealogis disebut dengan Suku yang dipimpin oleh kepala atau ketua suku (ekap’u) yang dibantu oleh seorang kepala pintu suku yang bertugas sebagai wakil kepala suku. Para kepala suku kemudian menyepakati federasi kelembagaan adat bersifat genealogis yang mereka namai kaha yamu’y dipimpin oleh pa’abuki yang pilih secara priodik dengan musyawarah tugasnya hanya sebagai koordinator bagi para kepala suku. Di dalam Kaudar, aktivitas-aktivitas sosial selalu dilaksanakan seperti upacara besar (yakarao), upacara pernikahan (ya’inam), buka pantang dalam perkabungan atau musibah kematian (yoehore), sedekah bumi (pa’rudae), semua aktivitas sosial dilaksanakan secara bersama-sama oleh anggota suku.

Persoalan-persoalan yang terjadi didalam masyarakat selalu diselesaikan dengan kekeluargaan dibawah kendali kepada suku, mereka mengenal sistem berjenjang naik untuk penyelesaian kasus adat. Keluarga yang bersengketa akan berusaha untuk menyelesaikan kasus adat sebelum sampai pada kepala suku dan pa’abuki. Hukum adat bagi mereka memegang peranan penting dalam menjaga ketertiban dan keseimbangan sosiologis serta bagaimana mengatur ruang hidup bagi warga di pulau Enggano. Pelanggaran terhadap adat tidak hanya berdampak pada pelaku tetapi akan berdampak pada suku dimana pelaku menjadi anggotanya. Pahkude’re’ke’ merupakan landasan nilai bagi pembentukan sistem hukum untuk mengatur warga adat Enggano. Sebagai pranata atau institusi pelaksana hukum adat, yahauwa diposisikan sebagai lembaga yang memfasilitasi setiap sengketa yang terjadi antar warga dalam suku maupun antar suku yang berbeda. Penyelesaian sengketa adat di Enggano tujuannya hanya untuk mengembalikan gangguan keseibangan dan gangguan terhadap barang material dan immaterial bagi warga Enggano.   

Pulau Enggano merupakan wilayah adat (darat dan laut) bagi Masyarakat hukum adat Enggano yang mereka sebut dengan inyah panapue  yang  dimiliki  secara  turun  temurun berdasarkan aturan adat    dan dibagi berdasarkan teritorial sub-suku (kaudar). Lahan-lahan sebagai penopang hidup dibagi rata untuk tiap-tiap warganya, lahan yang satu dengan lahan yang lain diberi jarak lahan kosong sebagai lahan cadangan. Mereka percaya, tanaman kelapa sawit tidak bagus untuk lahan dan lingkungan pulau Enggano, kelapa sawit bukan saja merusak landscape tetapi berdampak pada ketersediaan air minum, kerusakan tanah dan perubahan lanskap budaya (culturescape) bagi warganya. Pisang, melinjo, Nangka, kopi merupakan tanaman-tanam yang dibudidaya oleh Masyarakat Enggano sebagai sumber penghasilan utama selain hasil tangkapan dari laut yang mengelilingi pulau. 

Sebagai Masyarakat yang dinamis dan terbuka, Enggano mengalami berbagai perubahan yang memaksa mereka beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perubahan lingkungan fisik, interaksi dengan suku bangsa lain yang menyebabkan perubahan norma dan tata kelakuan dan dampak dari modernisasi dan teknologi. Perubahan kebudayaan di Enggano sebagai Masyarakat adat yang adaptif dipengaruhi oleh interaksi antar individu dan kelompok kebudayaan yang berbeda. Diterimanya suku sahabat (kamay) oleh masyarakat asli Enggano adalah hasil dari processes of doing identity yang nyatanya hasil dari proses negosiasi antar actor. Prinsip modernisasi yang mempengaruhi Masyarakat Enggano mendorong terjadinya perubahan fisik bentang alam, landscape maupun sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pemilihan pa’abuki yang dilakukan baru-baru ini secara voting merupakan adopsi sistem politik modern yang sebelumnya tidak dikenal di masyarakat Enggano yang mengutamakan proses musyawarah adat.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam mempertahankan eksistensi Masyarakat Enggano sebagai kesatuan Masyarakat hukum adat adalah masuk melalui pengakuan secara politik hukum. UUD 1945, keberadaan Masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang membedakannya dari subjek hukum lainnya telah diakui keberadaanya sebagai “persekutuan hukum rakyat” atau kemudian disebut sebagai masyarakat hukum adat. Pengakuan ini merujuk pada hak-hak sebagai masyarakat hukum adat untuk melaksanakan tata pemerintahan, hak asasi manusia dan ekspresi kebudayaan. Jika memakai teori teritorial ruang dan proksemik, teritorialitas Masyarakat Enggano menjadi bagian yang paling sensitif yang harus dipertahankan dari berbagai inovasi untuk memastikan tata kelola pemerintahan dan ekspresi kebudayaan bebas untuk dilaksanakan secara mutlak. Teritorialitas adalah kepemilikan ruang dimana perilaku dan pemikiran bebas diekspresikan baik berupa penandaan non-verbal atau simbolisme atau kehadiran secara fisik pada teritori yang dimiliki.

Pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kepemilikan Masyarakat hukum adat Enggano merupakan bentuk mempertahankan eksistensi dari berbagai bentuk invasi dari luar. Bagi Masyarakat hukum adat Enggano, pengakuan hukum merupakan bentuk dari pengakuan hak bagi mereka untuk mengatur dan mengurus pemerintahan adat sebagai rangkaian bangunan-bengunan kecil (kleine republike) pembentuk struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan terhadap kelembagaan politik atau adat masyarakat hukum adat Enggan merupakan jalan bagi pengakuan hak-hak lainnya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat Enggano termasuk hak atas tanah, ekspresi kebudayaan dan pelaksanaan praktik hukum adat.

Bersama Akar Global Inisiatif dan Pemerintahan Provinsi Bengkulu, Masyarakat hukum adat Enggano yang diwakilkan oleh pa’abuki, para kepala suku, Kapkaudar dan tokoh pemerintahan formal untuk mendorong percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Enggano. Pengakuan bagi masyarakat hukum adat Enggano penting segera diakui oleh Negara untuk memastikan tidak hilangnya akses kesatuan masyarakat hukum adat terhadap tanah, wilayah dan sumber daya alam, Kerusakan struktur sosial dan kerusakan kualitas ekologi Pulau Enggano. 

Bersambung…….