Melihat Keberhasilan Pengorganisiran Komunitas – Bercermin Pada Diri Sendiri
Pada bagian awal tulisan ini sudah saya gambarkan bagaimana proses yang saya alami bersama kelompok perempuan di 3 lokasi berbeda. Pertama, saya akan membagikan hasil pengamatan saya selama menemani kelompok petani di Kecamatan A, Kabupaten Seluma. Penilaian pertama saya pada kelompok tersebut yakni mereka terlihat sangat terorganisir karena mampu mengorganisir dirinya sendiri. Saya sangat yakin bahwa kemandirian kelompok petani tersebut adalah hasil kerja para pengorganisir di lembaga kami sebelum saya. Akan tetapi selama hampir 2 tahun saya bersama mereka, saya menemukan banyak sekali persoalan dalam kelompok petani yang berpengaruh pula dengan kelompok perempuan tani.
Jadi gerakan yang telah dibangun 7 tahun lamanya di kelompok petani Kecamatan A, Kabupaten Seluma ini sudah mengalami jatuh bangun. Anggotanya satu persatu mulai keluar dan menarik diri dari perjuangan bersama. Bahkan ada yang secara terang – terangan membelot ke perusahaan perkebunan A. Akibatnya munculah rasa saling mencurigai di tubuh organisasi dan memudarkan kekuatan yang telah dibangun.
Sebagian dari mereka menjual tanah tersebut kepada manajemen perusahaan dengan iming–iming mendapatkan pekerjaan dari perusahaan. Tidak peduli dengan harga yang ditawarkan murah dan pekerjaan jenis apa yang didapatkan, mereka sangat percaya dengan janji seluruh kebutuhan dijamin oleh perusahaan. Faktanya, hanya dipekerjakan sebagai buruh harian ataupun satpam. Sebagai buruh harian pun upah yang mereka dapatkan jauh lebih rendah dari pada ketika mereka mengolah tanahnya sendiri. Kebanyakan dari mereka tidak ada yang lama bekerja di perusahaan, karena tidak masuk beberapa hari saja apapun alasannya, mereka langsung digantikan dengan buruh yang baru.
Hubungan sesama petani pun menjadi retak karena persoalan ini. Meski terlihat di permukaan bahwa silahturahmi mereka baik–baik saja, faktanya bahkan adik atau kakak kandung pun tidak saling menegur karena perbedaan urusan pro dan kontra dengan perusahaan perkebunan tersebut.
Apalagi setelah muncul kejadian, salah seorang dari mereka yang di awal mula perjuangan kelompok petani sangat vokal melawan perusahaan ketahuan berpihak kepada perusahaan. Mereka membujuk rayu anggota petani yang lain agar menjual kebunnya dengan harga murah kepada manajemen perusahaan. Sekaligus menakut–nakuti “Dari pada nanti kamu ribut–ribut juga tidak dapat apa–apa, lebih baik dijual saja meski harganya segitu.” Setelah itu mereka mendapat posisi strategis di kampung, mendapatkan gaji bulanan tanpa harus menyerahkan kebunnya, bahkan ada yang menjadi kepala kampung. Iya, demi jabatan sebagian dari mereka rela mengorbankan anggota kelompok yang menganggap mereka selama ini sebagai panutan.
Terakhir, pasca terjadi proses politik serentak di Indonesia, turut mempengaruhi hubungan anggota kelompok. Perkara beda pilihan menjadi pokok persoalan. Ini terjadi antara sesama pengurus kelompok. Kerenggangan pun semakin menjadi setelah hasilnya keluar, pihak A mendapati calon yang mereka usung kalah di panggung politik kala itu. Ini justru menimbulkan ketidak enakan satu sama lain. Sehingga memperburuk komunikasi kelompok dan banyak agenda yang telah disusun sebelumnya oleh mereka tidak terlaksana.
Saya telah singgung juga sebelumnya bahwa persoalan–persoalan ini juga mempengaruhi keaktifkan kelompok perempuan petani yang baru saja menjalankan unit usahanya. Mereka juga jarang berkumpul seperti biasanya. Saya sering mendengar keluhan dari pengurus kelompok, dari puluhan anggotanya, hanya 5 orang saja yang betul-betul serius menjalankan unit usaha dan juga selalu menyisihkan waktu untuk membahas agenda apa lagi yang perlu disusun untuk menagih janji penyelesaian konflik dengan perusahaan perkebunan A.
Di luar persoalan rasa tidak percaya yang muncul di internal kelompok petani pun, sinisme terhadap pemerintah pun tidak dapat terelakkan. Sebagian besar anggota kelompok sudah antipati dengan siapapun dari pemerintahan yang terlihat ingin membantu penyelesaian konflik kelompok petani dengan perusahaan perkebunan A. Saya menyaksikan langsung bagaimana mereka terbakar semangatnya dan dengan lantang menyampaikan tuntutan serta menagih janji penyelesaian konflik ketika beberapa kali mengadakan jajak pendapat dengan Pihak Perusahaan, Pejabat Kampung, DPRD Kabupaten, Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, hingga Pemerintah Pusat.
Tuturan yang saya ingat dari Ibu A “Mana janji kalian? Sudah 7 tahun konflik kami ini. Dulu sebelum nyalon, kalian datang ke kami. Kalian bilang berpihak pada rakyat, akan membantu rakyat, mana buktinya? Setelah duduk di kursi itu, kalian lupa diri pada siapa yang mengantar kalian.” Kalimat itu selalu berulang ia sampaikan. Sehabis pulang dari pertemuan – pertemuan pun, para petani yang ditokohkan dalam gerakan seringkali mengulang pernyataan yang sama “Kita lihat saja nanti, sudah lah itu. Dia bilang iya saat berhadapan dengan kita saja, kalau kita tidak ada mereka akan bilang iya pada perusahaan. Modal mereka bisa bertahan di kursi pemerintahan kan begitu, dari perusahaan biar aman.”
Saya tidak bisa menanggapi apapun ketika pernyataan itu terlontar. Wajar saja mereka tidak percaya lagi dengan “Menghadap dan minta bantuan pemerintah” meski mereka tetap berusaha mengetuk keadilan yang harus diberikan oleh Negara. Ya begitu lah alasannya, mereka merasa dikhianati oleh wakil mereka sendiri.
Dari situasi tersebut saya juga melihat bahwa persoalan di tubuh kelompok petani muncul tidak hanya karena diri mereka sendiri. Tapi ada hal yang perlu dipastikan di diri lembaga kami dan saya selaku pengorganisir. Saya tadi bilang dengan yakinnya bahwa saat pertama saya terkagum–kagum melihat kemandirian kelompok petani melawan perusahaan perkebunan tersebut didalangi oleh lembaga kami. Iya kan? Tentu saya ingat yang saya ucapkan.
Sekarang saya mulai mengerti. Saya sedikit terguncang setelah mengetahuinya. Saya terlalu percaya diri dan cepat menyimpulkan. Saya pernah mendengar kalimat satire yang dilontarkan beberapa anggota kelompok. Tapi tidak selalu saya tanggapi dan saya hanya tersenyum tipis – tipis. Lalu saya pun mencoba legowo karena memang yang dilakukan lembaga ternyata belum maksimal. Lembaga disini bukan benda mati, ia dioperasikan oleh individu–individu di dalamnya.
Selama 7 tahun berjalan telah silih berganti staf pengorganisir yang menemani perjuangan kelompok petani. Maklum, menjadi pengorganisir dan bekerja di lembaga seperti ini sangat berisiko. Banyak hal di individu yang harus dikesampingkan demi mengurus persoalan kelompok petani. Ketika pergantian staf, sering pula dokumen–dokumen penting lembaga yang berkenaan dengan urusan pengorganisiran tidak diupdate. Jadi ketika ada staf pengorganisiran yang baru, seringkali mengulang–ulang pekerjaan lama yang seharusnya sudah harus ditindak lanjuti bersama kelompok petani A.
Hal yang saya garis bawahi disini juga, cara berpikir manajemen lembaga terkesan hanya mengusahakan kepentingan kelompok petani A jika memiliki bantuan sumber daya dari lembaga lain. Memang harus diakui bahwa lembaga seperti ini tidak lah memiliki sumber daya melimpah. Tetapi harus diluruskan bahwa sekali pun terbatas, manajemen lembaga mesti bisa menghubungkan kelompok petani A dengan stake holder mumpuni lainnya sehingga kerja – kerja pengorganisiran tetap berjalan dengan baik. Sebab, kondisi ini ternyata mempengaruhi intensitas pendampingan terhadap kelompok petani.
Seorang pengorganisir tidak mungkin tidak menjadwalkan live in di kampung setiap bulannya. Itu sebuah keharusan untuk selalu update mengenai progressifitas kelompok petani A dan juga membuat mereka merasa lembaga ini serius mendampingi mereka. Mengapa demikian? Jujur, dari bahasa satire yang saya dengar dari beberapa anggota kelompok petani A ini, seolah mereka pun ragu dengan keseriusan lembaga kami memfasilitasi penyelesaian konflik mereka. Kadang kami sangat rajin ke kampung, tapi pada saat tertentu kami juga dalam waktu yang cukup lama tidak berkunjung ke kampung.
Selain itu, mereka juga merasa bahwa lembaga ini seolah tidak terbuka dalam hal mengkomunikasikan dan memfollow up upaya audiensi kesana kemari. Di luar benar atau tidaknya perasaan mereka, situasi seperti ini memang memicu pikiran–pikiran negatif dari siapapun. Saya juga bukan bermaksud membela atau menyalahkan siapapun disini, tapi hal seperti ini memang harus dievaluasi agar tidak mengurangi kredibilitas lembaga.
Mengingat pekerjaan dalam mengorganisir berkaitan dengan asas keadilan gender, saya melihat konsepsi keadilan itu sendiri dijalankan tidak setepat konsepnya. Saya merasa disini keadilan gender hanya sekedar menjadi jargon atau pun pemanis image lembaga. Saya berangkat dari situasi dimana manajemen lembaga beberapa kali mengenyampingkan kebutuhan dan kepentingan kelompok perempuan petani di Kecamatan A. Bahkan terkesan memandang hadirnya kelompok perempuan ini hanya untuk pelengkap saja.
Rasanya evaluasi ini tidak lengkap jika saya tidak mengkritik diri saya sendiri selaku orang yang bertugas mengorganisir di kelompok petani Kecamatan A, yang utamanya menemani kelompok perempuan. Sebab baik manajemen lembaga dan saya merupakan suatu kesatuan yang utuh. Jadi apapun yang berdampak pada komunitas karena pengorganisiran ini tentu tidak luput dari adanya kekurangan di diri lembaga dan saya.
Dengan segala kekurangan yang saya miliki, saya mau bilang bahwa pekerjaan saya mengorganisir ini gagal. Ibarat praktik kedokteran, saya sudah membuat kesimpulan sebelum menganalisis lebih lanjut hasil diagnosis. Untungnya saya bukan dokter, bisa gawat nanti pasien menjadi korban malpraktik. Sedangkan bukan seorang dokter pun, saya pikir sebagai orang yang ditugaskan mengorganisir pun saya sudah bisa dikategorikan malpraktik.
Jadi, saya beranggapan bahwa kelompok perempuan ini tidak konsisten, tidak berkemauan, dan tidak mengupgrade dirinya sendiri serta lemah inisiatif. Kesombongan saya juga sempat muncul, saya merasa bahwa kelompok perempuan ini sangat bergantung dengan pengorgansir dan lembaganya. Sehingga mulai bergerak apabila dipantau terus.
Saya merasa mereka tidak progress karena setiap kali diajak hearing ke kantor pemerintahan selalu saja yang menyampaikan pendapatnya orang yang sama, isinya hanya “curhatan” emosi meluap, tanpa menyampaikan solusi yang diinginkan, bahkan itu pun mengucapkannya terbata–bata, terkesan tidak serius.
Ada moment dimana sepanjang perjalanan pulang dari hearing, saya tidak banyak bicara seperti biasanya sampai pada waktu kami evaluasi, saya sedikit kesal dan marah kepada mereka. Itu karena saya pun turut terprovokasi oleh beberapa orang di lingkaran kami “Masa kamu sudah setahun mengorganisir, mereka tidak ada perubahan” atau “Harusnya kamu ajari mereka kalau hearing ya sampaikan solusinya apa ke pemerintah” ada juga yang bilang “Lah kamu sarjana, harusnya paham kerja beginian” dan lain sebagainya yang mana mereka meletakkan ekspektasi mereka terhadap diri saya dan terhadap komunitas yang saya temani.
Kelompok petani ini sudah lebih dari 7 tahun terbentuk dan berjuang. Wajar saja dalam prosesnya mereka mulai terorganisir dalam setiap aksi. Tapi di usia yang lebih dari 7 tahun ini juga membuat mereka jenuh, mereka membutuhkan ruang untuk bernafas dan beristirahat. Selama ini mereka pontang panting mengurus konflik kecil yang dipantik perusahaan, kadang membengkalaikan keluarga, hutang sana sini dan lain sebagainya demi mempertahankan lahan. Mereka tidak sama sekali menyerah. Jadi mengapa harus mempersoalkan jarang atau seringnya para perempuan ini mengadakan pertemuan.
Kemudian, pekara berhasil tidaknya. Apakah ukuran keberhasilan harus selalu besar? Bila itu menurut lembaga, ya tentu harus berpikir besar, mendapatkan hasil yang besar. Jujur saya muak mendengar ini pada akhirnya. Lalu, berhasil menurut siapa? Bagi kelompok petani itu sendiri seharusnya. Sejauh ini mereka telah berhasil. Lebih dari 7 tahun mereka masih bisa menanam dan menikmati hasil panen, mereka mendapatkan relasi, mereka bisa belajar bersama dengan komunitas lain, pengetahuan mereka bertambah, dan lainnya. Khususnya bagi perempuan.
Saya dan orang–orang disekitar saya kadang lupa atau memang cara berpikirnya masih patriarki, bahwasannya para perempuan di kampung ini telah lama hidup dalam budaya “Perempuan di kasur, sumur, dapur” hampir 24 jam dalam sehari–karena beban kerja ganda di ladang dan di rumah. Tahun pertama saya ini pun tahun pertama bagi mereka diberi ruang sebebasnya. Mereka tidak merebut ruang itu selama ini karena memang masih terbelenggu dengan norma masyarakat patriarki.
Tidak mudah bagi mereka untuk memberanikan diri ikut serta dalam aksi demonstrasi, pun sulit meluangkan waktu bahkan mengonsentrasikan waktunya untuk berorganisasi karena harus minta izin dari suami. Berani mengungkapkan emosi dan pendapatnya pun adalah sebuah keniscayaan. Mengucapkan sepatah kata kepada penguasa sangat sulit bagi mereka karena selama ini mereka terbiasa dipaksa “Tunduk” dengan kata–kata penguasa dalam unit terkecil di lingkungannya.
Mereka terbata–bata karena jantungnya terasa berdegup kencang. Khawatir kata yang diucapkan salah atau tidak dipahami oleh forum. Mengapa selalu menyampaikan keluhan dan emosi ketimbang solusi? Salah satu perempuan di kelompok petani tersebut pernah mengatakan “Kami mengeluh kepada kalian karena memang tempatnya. kami datang kepada anda–anda semua dengan pengharapan ada penyelesaian, itu tugas kalian sebagai abdi negara.” Kepada siapa lagi mereka harus mengadu kalau bukan kepada penyelenggara negara. Siapa pula yang berhak melarang mereka mencurahkan isi hatinya. Waktu 7 tahun bahkan masih terlalu sedikit dan terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan gagal atau berhasilnya sebuah pengorganisiran.
Lanjut pada hasil pengamatan saya terhadap kelompok perempuan di Kecamatan B, Kabupaten Seluma. Selama hampir 2 tahun bersama mereka, tahun kedua terlihat intensitas pertemuan sesama anggota kelompok pun mulai drastis berkurang. Satu persatu mereka jarang hadir di beberapa kali proses belajar sedang dilangsungkan di kampung. Hal yang membuat saya kecewa, komitmen yang dibangun bersama pasca kepulangan anggota kelompok dari Kendeng tidak dijalankan. Saya akan menjabarkannya dari dua sisi, dari pejabat pemerintah setempat dan kelompok yang kami dampingi.
Pertama dari segi pejabat pemerintah setempat. Mereka terfokus pada proses politik di kampung sehingga luput pada komitmen yang dibangun bersama. Jadi, pejabat pemerintah yang memimpin kampung saat ini memasuki periode keduanya. Lawan politiknya berupaya menjerumuskan pejabat tersebut dengan segala upaya yang dapat menghentikan aktivitasnya di pemerintahan.
Dari segi anggota kelompok perempuan ini, awalnya semua berjalan teratur, namun mendekati pertengahan tahun 2019 saya merasakan bahwa mereka tidak mengalami progress dan merasa jenuh. Mereka semakin sulit diajak berkumpul. Sekalinya berkumpul ada saja orang yang jarang berkumpul tiba – tiba menimpali “Saya maunya kalau kumpul itu ya kita bisa membuat sesuatu yang menghasilkan uang, biar tidak jenuh dan bermanfaat.”
Kadang saya hanya membalas dengan senyum sambil tertawa tipis–tipis, kadang diam saja karena belum menemukan jawabanya yang tepat apalagi kalau sampai menyinggung. Ketidak enak hati-an saya ini muncul seiring proses saya menjadi pengorganisir. Kenyataan ini menambah beban saya secara mental dan moral. Kegagalan saya di tahun pertama juga terjadi di pengorganisiran saya yang kedua ini-begitu yang saya pikirkan saat itu. Sungguh ini memalukan!
Kemudian saya menggali informasi lebih lanjut yang sebenarnya menjadi persoalan mengapa mereka terkesan tidak konsisten. Ternyata banyak dari anggota kelompok ini belum merasa adanya ancaman karena tidak ada konflik yang muncul di permukaan. Bahkan masih banyak juga dari mereka yang rupanya hanya ikut–ikutan saja supaya bisa belajar tanpa mengetahui apa masalah yang terjadi di kampungnya. Sebab sebelumnya tidak ada wadah atau pun kegiatan di kampung yang melibatkan mereka.
Berbeda dengan kelompok petani di kampung pertama, mereka tahu dan telah mengalami proses penyelesaian konflik. Sedang para perempuan di kampung ini tidak mengetahui sama sekali. Pun ketika pertama kali saya datang ke kampung di Kecamatan B ini, mereka mengira saya adalah petugas pemerintahan yang akan melatih ibu–ibu anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Oleh karenanya sebagian perempuan ada yang merasa minder dan terdiskriminasi karena bukan bagian dari itu.
Setelah mereka mengetahui secara rinci persoalan yang terjadi di kampung, dengan alaminya sebagian dari mereka mundur teratur dari proses pengorganisiran. Rasa takut adalah hal mendasar dalam diri mereka. Bagi mereka melawan penguasa dan pemodal bukan lah hal yang mudah. Mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, hidup mereka bergantung pada hasil kopi di kebun yang lahannya tidak seberapa. Sedang pemodal dan penguasa punya semuanya. Ibarat menabrakan diri ke tembok, remuk!
Saya sempat menyinggung juga soal proses politik di kampung. Itu juga berpengaruh terhadap anggota kelompok petani ini. Di tubuh kelompok ada yang pro terhadap pejabat kampung saat ini, namun ada juga yang pro dengan lawan politiknya. Ini membuat sesama mereka jadi saling tidak enak hati. Saya kira dalam waktu 2 tahun baru ini yang bisa saya temukan di lapangan.
Selanjutnya saya akan melihat ke dalam lembaga pendamping. Sejauh ini saya sangat mengapresiasi pihak manajemen lembaga. Tapi ini perlu dikatakan. Saya melihat bahwa pembentukan kelompok perempuan di kampung ini terlalu cepat. Sebelum memutuskan membentuk kelompok ada baiknya riset mendalam sejarah dan tipikal warga setempat.
Perlu untuk menggali kebutuhan dan kepentingan utama dari warga ini. Jika dari hasil analisis kebutuhan ditemukan bahwa mereka belum tepat membentuk kelompok sebaiknya tidak usah. Karena dari hasil penelusuran saya, justru pembentukan kelompok ini seolah memisahkan mereka dari anggota warga lainnya. Seperti memunculkan kelas baru. Ketika kelompok mengadakan kegiatan pertemuan, warga yang lain tidak berani ikut karena merasa bukan bagian dari mereka. Hal yang paling ditakutkan bahwa kehadiran lembaga disini menimbulkan gesekan pada sesama mereka. Ya mudah–mudahan tidak sampai seperti itu.
Kemudian, agenda–agenda dalam kelompok belajar di Kecamatan B ini sebenarnya telah dikondisikan dari lembaga kami sebelumnya. Sehingga pernyataan saya bahwa menyusun agenda bersama dalam paragraf–paragraf sebelumnya tidak murni dari suara anggota kelompok, tapi sangat didominasi dari agenda lembaga. Saya turut bersalah karena menjalankannya seperti itu. Akibatnya kelompok perempuan ini kebingungan menjalani hal yang tidak berdasar dari kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.
Saya melihat ada ego – ego dalam internal manajemen lembaga yang ini mestinya diredamkan. Sebab yang menjadi arus utama dalam agenda penyelamatan lingkungan ini adalah warga itu sendiri. Namun ambisi lembaga yang muncul di permukaan. Bahkan untuk mawas diri dan jujur pada diri sendiri saja rasanya pihak manajemen sulit. Selalu mengatakan bahwa tujuan utama mengarus utamakan kepentingan warga, tapi kenyataannya di lapangan ya berbasis program lembaga.
Saya heran untuk yang satu ini. Nanti simpulkan sendiri saja. Jadi, selama proses pendampingan berlangsung, manajemen lembaga pada dasarnya sangat intens memfasilitasi Kecamatan B. Lebih tepatnya memfasilitasi urusan personal dalam urusan politik di kampung. Bagus memang memposisikan diri hadir untuk persoalan diluar agenda utama karena ini memperkuat relasi antara lembaga dan warga setempat serta memudahkan juga kerja–kerja advokasi dan pengorganisiran kedepannya. Namun yang terjadi belakangan, justru yang terkesan menjadi agenda utama lembaga adalah mengurusi personal dalam persoalan politiknya.
Catatan lainnya yang perlu dievaluasi lembaga yakni manajemen sumber daya yang ada. Terlalu banyak tangan bermain dalam pengorganisiran kelompok perempuan di Kecamatan B ini. Ini tidak baik, karena setiap pengorganisir memiliki metode masing–masing untuk mencapai tujuan lembaga. Nantinya berimbas dengan proses pengorganisiran. Terlalu banyak staf yang mengorganisir satu kelompok ini. Dikhawatirkan juga berpengaruh dengan kerja–kerja lembaga di komunitas dampingan lain yang sedang membutuhkan pengorganisirnya. Cost yang harus dikeluarkan untuk membiayai pengorganisiran akan membengkak. Berdasarkan situasi tersebut bisa dibilang lembaga terlalu banyak membuang sumber daya yang mestinya bisa dialokasikan di komunitas lain.
Sebagai staf pengorganisir ketiga, kenapa saya bilang ketiga? Sebab telah 3 orang – termasuk saya yang melakukan pengorganisiran terhadap kelompok perempuan ini- Agenda yang dikerjakan pun berulang. Ini membingungkan saya secara pribadi. Ada rasa tidak enak hati ketika saya harus berdebat karena berbeda pendapat dan cara mengorganisir dengan staf lainnya. Apalagi setelah saya melihat proses pengorganisiran yang sebelumnya menurut saya kurang tepat. Tentu ada ketersinggungan di pihak yang lain. Ini menurut saya juga tidak bagus karena dapat memecah kesolidan kami sesama pengorganisir yang harusnya memperkuat satu sama lain.
Poin yang saya ingin kupas dari diri saya pada proses pengorganisiran di Kecamatan B ini yakni saya tidak mampu mempertahankan argumentasi saya ketika dihadapkan dengan manajemen lembaga. Akhirnya saya menjalankan tugas sebagai pengorganisir hanya mengikuti instruksi dari lembaga. Sekali pun telah saya coba berinovasi, pada akhirnya saya pun tidak percaya dengan diri saya.
Di sisi lainnya, saya pernah terjebak euphoria dan romantika gerakan perempuan di Kendeng yang sering diceritakan oleh orang–orang di sekeliling saya, misalnya “Ini baru keren, perempuan merebut ruang dan berhasil menduduki istana negara, masa kamu tidak bisa” sehingga saya ikut terstimulus bahwa seperti itu lah harusnya pengorganisiran dikatakan berhasil. Tanpa saya mengetahui bahwa mereka pun mengalami proses panjang bahkan hampir 20 tahun berjuang.
Sebegitu perfeksionisnya yang diri saya pikirkan, hingga saya membandingkan proses pengorganisiran yang baru 2 tahun dilakukan di Kecamatan B dengan di Kendeng. Saya menyakiti kelompok perempuan yang saya dampingi meski tidak secara langsung – itu yang saya pikirkan. Saya menganggap percuma saja dan tidak ada kemajuan dari kelompok perempuan di Kecamatan B ini. Padahal mereka bukan lah tidak progressif dan tidak berkemauan mempertahankan hak mereka.
Untuk sampai pada titik mau diajak berkumpul, mengikuti pelatihan, dan berelasi dengan saya dan orang–orang di lingkaran saya adalah sebuah progress. Memang prosesnya panjang dan hasilnya belum terlihat sekarang. Baru 2 tahun mereka membuka diri dengan orang–orang diluar. Benar pula ketika sebagian dari mereka menuntut bahwa kegiatan kelompok yang dilakukan harus bisa menghasilkan sesuatu yang bisa menambah pendapatan. Sebab beberapa kali mengadakan pertemuan pun mengambil waktu produktif mereka–bekerja di kebun.
Memang terkadang dalam beberapa agenda yang telah disepakati di kelompok perempuan diabaikan oleh mereka sendiri. Saya pun mengingatkan berkali–kali hingga tiba waktu dimana saya juga marah. Pada situasi ini ada yang mengatakan bahwa saya terlalu memaksa mereka. Dalam pikiran saya terus terngiang bahwa saya gagal, dan kegagalan ini yang menyebabkan saya marah dengan mereka.
Namun ada juga yang mengajarkan kepada saya “itu sudah tepat, sesekali kita harus tegas dengan komunitas, tidak apa–apa marah agar mereka juga belajar demi kebaikan mereka sendiri” bahkan beberapa anggota kelompok pun mendukung “tidak apa-apa nak kalau kami salah dimarah atau dipaksa, kami jadi bersemangat.”
Lagi, saya terlalu cepat menyimpulkan. Saya luput dari keberhasilan bahwa semenjak intensnya pertemuan kami, kelompok perempuan disana menyadari arti pentingnya mempertahankan kampung mereka, mendidik anak–anak mereka agar tidak tergiur dengan iming–iming dari para pihak yang berusaha merampas tanah kelahiran mereka, serta betapa pentingnya menurunkan sejarah berikut nilai–nilai yang arif ke keturunan mereka.
Ini yang terakhir ya. Evaluasi saya terhadap proses pengorganisiran kelompok perempuan di Kecamatan X Kabupaten Kaur. Lembaga kami telah mendampingi mereka selama hampir 2 tahun. Berbarengan dengan kelompok perempuan di Kecamatan B. Di Kecamatan X, persoalan dalam tubuh komunitas sangat lah rumit.
Di awal pengorganisiran mereka oleh staf pengorganisir sebelum saya, mereka sangat kompak. Pejabat kampung setempat mau diajak bekerja sama dengan Tim X untuk mengusulkan kampung mereka menjadi bagian dari objek Reforma Agraria, program pemerintah. Setelah usulan berjalan, tiba–tiba pejabat pemerintah memaksa untuk pembubaran Tim X. Saya pun mencari tahu dari berbagai informan apa yang sebenarnya terjadi. Karena sepengetahuan saya tujuan mereka sama.
Saya pun mendapati bahwa sebenarnya ketua Tim X dan pejabat kampung adalah lawan politik. Pejabat kampung merasa bahwa ketua Tim X adalah ancaman baginya apalagi simpati warga semakin banyak pada ketua Tim X. Jika benar begitu, mengapa tidak ketua Tim X yang terpilih menjadi pejabat kampung? Saya mendapati lagi bahwa ada transaksi antara calon pejabat dengan warga saat itu, hingga menghantarkan pejabat kampung terpilih. Padahal secara kualitas dan loyalitas terhadap kampung sangat lah kurang. Lagi pula sekali pun tidak menjadi pejabat kampung, pengaruh ketua Tim X sangat kuat di kampung Kecamatan X. Hal ini yang juga menjadi salah satu strategi memecah belah dari pihak–pihak yang tidak senang dengan hubungan antara pejabat kampung dengan ketua Tim X.
Perlahan, tujuan bersama mereka musnah. Hubungan sesama anggota Tim X mulai melonggar karena ada perselisihan antara ketua dengan pejabat kampung yang sama–sama memiliki pendukung. Hanya sebagian dari mereka yang serius menjalankan agenda untuk mencapai tujuan kelompok.
Fokus pada kelompok perempuan, saya merasa sangat bersalah. Apa yang terjadi di kelompok perempuan di Kecamatan B juga dialami oleh kelompok di Kecamatan X ini. Mereka hanya semangat di tahun pertama. Namun di tahun kedua, perlahan sebagian keluar dari kelompok. Bahkan ketua kelompok pun menarik diri. Rupanya, perselisihan antara pejabat kampung dan ketua Tim X turut mempengaruhi kelompok perempuan, utamanya ketua kelompok perempuan tani X ini dengan yang suami dan keluarga besarnya sangat pro terhadap pejabat kampung. Begitu pula dengan anggota kelompok perempuan lainnya mulai memukul mundur diri sendiri karena hal tersebut. Unit usaha yang telah dijalankan sebelumnya pun berhenti. Saya melihat kemunduran yang sangat nyata pada kelompok perempuan ini.
Kali ini, catatan saya untuk evaluasi lembaga tidak sebanyak di Kecamatan A dan B. Sebab sebagian hampir sama dengan yang saya tuliskan di paragraf–paragraf sebelumnya. Bagi saya, justru untuk kejadian di Kecamatan X ini perlu dimediasi. Tapi setelah saya telusuri bahwa salah satu dari anggota lembaga memperumit hal ini. Warga pun merasa ditinggalkan dengan lembaga. Mereka tahu dan maklum jika pihak lembaga menyatakan sikap dengan tegas menarik diri dari kampung jika pejabat setempat menolak, tapi yang harus dipikirkan secara matang bahwa yang harus didampingi adalah warga. Sekali pun pejabat kampung kontra, berarti jelas mereka menjadi bagian dari aktor yang berkonflik – musuh nyata warga. Jadi kurang tepat melontarkan hal yang bisa saja disalah artikan warga.
Saya pun terakhir kali datang ke kampung di Kecamatan X merasakan langsung aura berbeda. Nah, berkaca dari kejadian itu pihak manajemen lembaga lah yang mesti mengambil sikap jika situasi politik di kampung memanas, bukan individu. Tapi keputusan bersama yang nanti menetapkan lanjut atau tidaknya proses pengorganisiran disana. Memang betul, pada kondisi tertentu staf pengorganisir bisa mengambil keputusan, tapi tidak juga dengan amarah dan tanpa konsultasi dengan tim.
Akhirnya tibalah giliran saya mengevaluasi diri. Saya sudah capek jika harus mengulas banyak tentang lembaga, karena dari Kecamatan A, B dan X, evaluasinya rata–rata sama saja. Untuk diri saya sendiri, saya masih kekeh bahwa disini saya gagal menjalankan tugas pengorganisiran di Kecamatan X. Jujur saja, mendampingi kelompok perempuan di lokasi yang berbeda dalam waktu bersamaan sangat melelahkan dan menguras banyak hal. Itu sempat membuat manajemen diri saya kacau balau. Apa yang seharusnya saya terapkan di Kecamatan B malah dikerjakan di Kecamatan X, begitu sebaliknya.
Sama seperti di Kecamatan B, saya menganggap bahwa kelompok petani di kecamatan X tidak progressif dan bergantung sekali dengan kehadiran staf pengorganisir. Pikiran ini muncul sebelum saya mengetahui situasi sebenarnya di kampung. Saya menaruh ekspektasi yang tinggi dengan kelompok perempuan yang saya organisir sehingga frustasi apabila tidak berjalan sesuai agenda yang direncanakan bersama.
Akhirnya khusus untuk bagian pada cerita pengalaman ini semua poin yang ingin saya ulas sudah tertulis semua – saya rasa begitu. Silahkan simpulkan sendiri dari panjang lebarnya cerita saya ini. Apakah reflektif atau malah arogansi semakin menjadi. Jelasnya bagi saya, saya menaruh rasa kecewa pada diri saya sendiri karena kurang memfilter dan kurang tegas pada orang–orang di lingkaran saya, utamanya yang tidak tahu kondisi faktual tapi sukanya mendikte saja.
Sepertinya, yang harus saya ubah disini adalah cara memandang sebuah keberhasilan beserta ukurannya. Meletakkan ukuran keberhasilan kita sebagai pengorganisir pada ukuran keberhasilan komunitas itu sungguh egois. Sekecil apapun dampaknya sangat lah berharga bagi komunitas. Mereka telah lama mengalami penindasan, lalu siapa saya dengan piciknya menghakimi bahwa mereka tidak progress ataupun tidak konsisten dengan perjuangan yang mereka sepakati sebelumnya.
Selanjutnya, menaruh ekspektasi orang lain kepada saya kemudian saya juga melakukannya pada komunitas bahwa pengetahuan dan pengalaman dari luar harus ada dalam komunitas yang saat itu saya dampingi sangat tidak bijaksana. Mereka yang punya pengetahuan dan pengalamannya sendiri sejak zaman nenek moyang mereka, seharusnya keotentikan komunitas itu lah yang patut diapresiasi. Kita memang dituntut untuk menghormati laku dan nilai–nilai yang dianut komunitas.
Masalah dari selama hampir 3 tahun saya melakukan pengorganisiran adalah saya kurang mengapresiasi hal–hal kecil, kurang mawas diri, kurang rendah hati namun di lain waktu kurang percaya diri, kurang hati–hati, kurang sensitif dengan situasi di sekeliling saya, dan kurang mampu mengendalikan diri. Kesadaran akan kesalahan yang saya buat ini bukan muncul tanpa dasar.
Sesungguhnya dari proses pengorganisiran ini, saya lah yang mendapati pelajaran selama “live in” di kampung dengan kelompok perempuan. Mereka sangat menghargai diri saya dan kerja–kerja lembaga saya di kampungnya. Perkara jenuh padahal bisa disiasati dengan melakukan aktivitas lain bersama kelompok perempuan, tanpa harus berfokus pada kasus yang ditangani. Persoalan merasa gagal juga sebenarnya bukan sesuatu yang harus saya jadikan alasan untuk mengeluarkan diri dari proses belajar mengorganisir.
Gengsi bahwa dengan berlatar pendidikan kesejahteraan sosial saya mampu mempraktikan metode–metode terbaik dalam pengorganisiran serta hasrat saya untuk selalu tampak sempurna melakukan setiap pekerjaan selama ini lah justru tidak baik dan akan memberikan energi negatif nantinya pada usaha membangun keberdayaan dan kemandirian kelompok perempuan di komunitas.
Sekali lagi saya sepakat bahwa tidak mudah menjadi pengorganisir, ia lahir dari proses panjang “learning by doing” sehingga waktu 3 tahun sangat lah singkat untuk berpuas diri apalagi sampai mendaku pengorganisir handal. Namun harus diingat bahwa ketidak mudahan itu bukan berarti membuat saya atau siapapun yang ingin mulai belajar mengorganisir masyarakat tidak mampu menjadi seorang yang handal. Nasihat untuk saya sendiri, lakukan lah saja pengorganisiran – saya sebut bekerja bersama komunitas ini secara bertahap, rendah hati dan penuh optimisme.