Tanggal 24-26 Maret 2025, Perempuan dari Kabupaten Kepahiang, Rejang Lebong, Seluma, Mukomuko dan Lebong berkumpul di Hotel Golden Rich Kota Curup Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Mereka berkumpul mendiskusikan untuk penguatan posisi strategis Perempuan (power shifting) dan communing care atas lingkungan hidup, relasi sosial dan keluarga. Bagi mereka dalam pertemuan ini perubahan iklim bukan sekadar persoalan lingkungan, tetapi juga masalah keadilan sosial, termasuk gender, mereka sering kali berada di garis depan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Sebagai pemantik, Akar Global Inisiatif mengundang Dr. Gita Mulyasari, SP., M. Si. dari Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang menyampaikan tentang Gender and Climate Agriculture. Menurutnya perubahan iklim yang terjadi tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial, termasuk ketimpangan gender. Perempuan-perempuan, terutama di komunitas pedesaan dan pesisir, sering kali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim karena peran sosial, ekonomi, dan budaya yang mereka jalani. Karena, dalam banyak masyarakat, perempuan bertanggung jawab atas produksi pangan, pengelolaan air, dan kesehatan keluarga. Ketika perubahan iklim menyebabkan gagal panen, kekeringan, atau bencana alam, perempuan harus bekerja lebih keras untuk memastikan keberlanjutan kehidupan keluarga mereka.
Sisi lainnya perempuan seringkali memiliki akses terbatas terhadap sumber daya seperti lahan, air, modal, dan teknologi yang dibutuhkan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Ketidaksetaraan tersebut membatasi kapasitas mereka dalam mengelola dampak perubahan lingkungan. Ketika terjadi bencana akibat perubahan iklim, perempuan dan anak-anak lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender, eksploitasi, dan keterbatasan akses ke tempat evakuasi serta bantuan kemanusiaan. Meski rentan, perempuan juga memiliki peran penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Perempuan petani, nelayan, dan pemimpin komunitas sering kali mengembangkan strategi lokal yang berkelanjutan, seperti pertanian berbasis agroekologi, konservasi sumber daya air, dan pengelolaan hutan berbasis komunitas.
Menurutnya, kenaikan suhu rata-rata tahunan di Indonesia merupakan indikasi nyata dari pemanasan global yang memiliki dampak luas terhadap berbagai sektor. Tren kenaikan suhu rata-rata tahunan di Indonesia dari sekitar 26,2°C pada tahun 2000 menjadi 27,7°C pada tahun 2023. Ini menandakan bahwa Indonesia mengalami pemanasan global, meskipun terlihat perlahan, dampaknya sangat nyata terutama pada sektor pertanian, kesehatan, dan lingkungan. Suhu yang lebih tinggi juga berkontribusi pada pemutihan terumbu karang, peningkatan penyakit tropis, dan perubahan pola musim.
Pergeseran musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi pola masa tanam dan perubahan pola tanam, dan perubahan suhu dapat menyebabkan peningkatan serangan hama penyakit atau OPT, dan gosong daun pada sayuran. Perubahan pola angin juga dapat menyebabkan penyebaran hama, terganggunya penyerbukan dan pembuahan. Tren perubahan pola hujan, khususnya kekeringan dan banjir dan perubahan kelembaban dapat menyebabkan peningkatan OPT Intrusi air laut.
Pertemuan Perempuan ini menelisik lebih dalam bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang mendalam. Laki-laki dan perempuan mengalami dampaknya secara berbeda, terutama karena peran sosial, ekonomi, dan budaya yang telah lama mengakar di masyarakat. Perempuan, terutama di pedesaan, sering bertanggung jawab atas pencarian air, pangan, dan bahan bakar rumah tangga. Kekeringan dan cuaca ekstrem membuat tugas ini semakin sulit, meningkatkan beban kerja mereka. Dalam banyak komunitas, perempuan memiliki akses yang lebih terbatas terhadap tanah, modal, dan teknologi pertanian, sehingga lebih rentan terhadap kegagalan panen akibat perubahan iklim. Dari berbagai studi menunjukkan bahwa dalam bencana alam, perempuan memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi dibanding laki-laki karena akses informasi yang terbatas dan keterbatasan dalam mobilitas saat evakuasi.
Dari kondisi tersebut, strategi adaptasi yang responsif gender sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan program adaptasi inklusif serta memberikan manfaat yang adil bagi semua kelompok. Perubahan iklim memberikan tantangan besar bagi sektor pertanian, terutama bagi petani perempuan yang sering menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya, teknologi, dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam program pertanian tanggap iklim sangat penting untuk memastikan keberlanjutan sistem pangan dan meningkatkan ketahanan komunitas.
Perubahan iklim telah membawa dampak besar bagi sektor pertanian, terutama di negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada sumber daya alam. Dalam situasi ini, perempuan memainkan peran sentral dalam memastikan ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Namun, mereka sering kali menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya, pelatihan, dan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, keterlibatan perempuan dalam program pertanian tanggap iklim bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan.

Mengapa perempuan harus terlibat? itu pertanyaan yang selalu muncul dalam pertemuan ini. Perempuan terlibat dalam hampir setiap aspek produksi pangan, mulai dari menanam hingga mengelola hasil panen. Namun, mereka sering menghadapi keterbatasan akses terhadap lahan, teknologi, dan pembiayaan yang membuat mereka lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan melibatkan perempuan dalam program pertanian tanggap iklim, kita dapat: meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pertanian melalui penerapan praktik ramah lingkungan dan memastikan ketahanan pangan keluarga dan komunitas melalui diversifikasi tanaman dan pengelolaan sumber daya yang lebih efisien serta memanfaatkan pengetahuan tradisional perempuan dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kesetaraan gender bukan hanya isu sosial, tetapi juga faktor kunci dalam membangun ketahanan komunitas terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, strategi adaptasi harus dirancang dengan mempertimbangkan perbedaan pengalaman, tantangan, dan kontribusi dari setiap kelompok masyarakat. Karena itulah perempuan harus dilibatkan dalam upaya mendorong praktik-praktik ramah iklim.