AKARNEWS. Bertemakan sentralisasi hukum dan pengingkaran hak-hak masyarakat lokal atas kekayaan alam, kemarin (27/1) Yayasan Akar Bengkulu dan Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) menggelar diskusi berkala tentang pluralisme hukum di sekretariat Akar Foundation Jalan Kesehatan 1 nomor 33 RT 04 RW 02 Kelurahan Anggut Atas.
Diskusi tersebut juga dihadiri puluhan mahasiswa dan dihadiri oleh pemateri Dr. Chandra Irawan, SH, MH. Dia menjelaskan, dalam sistem hukum modern dunia, pluralisme itu dianggap sebagai hukum yang paling bawah.
“Hukum positif adalah dari undang-undang 1945 sampai dengan peraturan Kepala desa. Namun, hukum adat di Indonesia ini tidak dianggap hukum positif, makanya hukum adat kurang dianggap bisa atau mampu menyelesaikan masalah-masalah adat,” ujar Chandra.
Dikatakan Chandra, biasanya kalau hukum adat dibawa ke pengadilan, maka hakim akan menolak untuk menyidangnya, dan ini adalah fakta hukum yang terjadi di Indonesia. “Itu berarti, hukum positif tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum yang ada di tingkat daerah. Kalau begitu kita simpulkan bahwa hukum positif bukanlah satu-satunya hukum yang adil untuk masyarakat,” kata Chandra.
Menurut Chandra, ditingkat praktek hukum, banyak hakim, jaksa dan polisi yang hanya mengedepankan pluralisme hukum. “Sebagai contoh, bila ada orang yang bersengketa lahan, kekuatan yang kuat adalah berdasarkan akta otentik yakni sertifikat. Padahal di satu sisi, warga telah lama melakukan cocok tanam, merawat dan mengurus lahan tersebut selama berpuluh-puluh tahun. Ini benar namanya telah terjadi sentralisme hukum,” ujar Chandra.
Terkait semberdaya, lanjut Chandra berdasarkan Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, ada pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan itu sudah merupakan aturan yang kuat.
Seperti apa yang terjadi di Bima Nusa Tenggara Barat, dimana bupati mengizinkan investor masuk ke daerahnya untuk melakukan kegiatan tambang batu bara, lalu masyarakat demo dan berujung bentrok dan mengakibatkan 2 warga meninggal. Alasan dari masyarakat menolak investasi itu karena tidak ada hak-hak mereka yang dilindungi dan akhirnya Bupati pun mencabut izin yang telah dibuat.
Di tingkat lokal/daerah, yang mengeluarkan izin lokasi bukanlah mentri, namun merupakan tanggung jawab walikota/ bupati karena walikota dan bupatilah yang lebih tahu lokasi di daerahnya apakah bermasalah atau tidak.
Membahas masalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, Chandra menjelaskan, dulu ada perkelahian di Irian Jaya yang sampai mengakibatkan kematian. Kemudian keduabelah pihak berdamai, namun polisi tetap mengatakan itu adalah pidana sekalipun masalah tersebut telah dianggap selesai. Akhirnya di persidangan, hakim membebaskan terdakwa karena itu adalah permasalahn di tingkat lokal dan telah damai.
“Cuma yang jadi masalah, hakim yang seperti itu tidak banyak, makanya hakim itu harus punya wawasan yang tinggi dan mengerti pada hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Di negeri Belanda, hukum adat dan hukum negara itu posisinya disejajarkan,” kata Chandra.(tew)
sumber : http://harianrakyatbengkulu.com/hak-hak-masyarakat-adat-semakin-terpinggirkan/