Erwin Basrin

Tulisan ini disusun sebagai refleksi penting sekaligus laporan keikutsertaan saya sebagai narasumber mewakili Akar Global Inisiatif dalam konferensi 23-25 September 2025 di Manila, Filipina yang diselenggarakan Legal Empowerment Fund dan Fund for Global Human Rights. Dalam presentasi yang saya kirim kepada Legal Environment Fund, saya memakai telaah mandat United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 yang diperkaya dengan perspektif sosiologi hukum kritis dari Nancy Fraser, Keebet & Franz von Benda-Beckmann, Arturo Escobar untuk membongkar akar ketidakadilan struktural, didukung oleh data lapangan dari laporan NGO kunci seperti Akar Global Inisiatif dan Forest Peoples Programme (FPP).

Saya memulai presentasi dengan menggambarkan krisis sosial-ekologis yang melanda Nusantara, merupakan cerminan langsung dari kebijakan pembangunan yang didorong oleh corak ekonomi ekstraktif yang diwarnai dominasi oligarki, secara sistematis mengeksternalisasi biaya lingkungan dan sosial, dan menjadikan wilayah adat sebagai target utama eksploitasi. Hutan yang seharusnya menjadi benteng terakhir mitigasi iklim justru terancam oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) dan saya memberikan contoh satu kasus pertambangan panas bumi di Bengkulu, beberapa kasus pertambangan, dan ekspansi perkebunan skala besar, yang memicu konflik agraria dan bencana ekologis yang terus meningkat.

Ironinya, saat ini Indonesia menghadapi paradoks hukum yang signifikan. Meskipun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara konstitusional mengakui hak asal-usul Masyarakat Adat (MHA), realitanya menunjukkan bahwa hak-hak ini secara rutin dilanggar. Konflik agraria, perampasan wilayah, dan kriminalisasi terhadap MHA yang berjuang mempertahankan tanah mereka menjadi pola yang persisten. Upaya perlindungan yang termaktub dalam berbagai regulasi dan konstitusi masih jauh dari harapan implementasi.  Karena itu urgensi dari pengakuan hak teritorial MHA kini harus dipandang bukan hanya sebagai isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang terisolasi, tetapi sebagai solusi esensial terhadap krisis iklim. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa hutan yang dikelola oleh MHA memiliki tingkat deforestasi hingga sepuluh kali lebih rendah dibandingkan lahan yang dikelola oleh pihak lain, bukti ini menegaskan peran krusial MHA dalam menjaga stok karbon global dan keanekaragaman hayati.

Keadilan Melampaui Redistribusi

Untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik agraria secara fundamental yang terjadi di wilayah-wilayah adat, dari pengalaman yang dilakukan oleh Akar Global Inisiatif maka analisisnya harus melampaui kerangka keadilan distributif. Dimensi redistribusi seringkali menjadi fokus sengketa, di mana pembangunan ekstraktif secara sistematis mengeksternalisasi biaya lingkungan dan sosial, memindahkan kekayaan dari komunitas ke pusat modal. Ketika konflik meletus, negara cenderung menawarkan kompensasi finansial. Jika kita memakai kerangka analisis kritis Nancy Fraser (2022) yang mengidentifikasi tiga dimensi keadilan: redistribusi, pengakuan (recognition), dan representasi. Nancy menunjukkan kepada kita bahwa kegagalan redistribusi dalam bentuk kompensasi finansial yang tidak memadai ini akan terus terjadi selama dimensi pengakuan diabaikan. Kerugian yang dialami MHA bukanlah sekadar kerugian moneter, melainkan hilangnya identitas spiritual dan ketergantungan ekologis pada wilayah mereka.

Keadilan pengakuan menuntut agar pola budaya yang dilembagakan tidak lagi menyimbolkan alam hanya sebagai instrumen penciptaan nilai ekonomi. Perjuangan lingkungan bukan semata-mata soal menyelamatkan ekosistem, tetapi juga soal mengembalikan martabat dan hak-hak MHA yang telah lama terpinggirkan oleh kolonialisme, kapitalisme, dan kebijakan negara yang eksploitatif. Dalam konteks agraria di Indonesia, problem serupa tampak jelas. Hutan, tanah, dan wilayah adat sering direduksi menjadi “sumber daya” untuk dieksploitasi, sementara makna spiritual, kultural, dan sosial yang melekat padanya diabaikan. Proyek-proyek besar seperti perkebunan skala luas, pertambangan, hingga infrastruktur kerap memosisikan alam sekadar aset ekonomi. Akibatnya tentu saja MHA kehilangan ruang hidupnya, mengalami kriminalisasi, dan terputus dari tradisi ekologis yang sebenarnya menopang keberlanjutan.

Advokasi agraria menuntut pergeseran paradigma, dari sekadar mengejar nilai ekonomi menuju pengakuan terhadap nilai kultural, sosial, dan ekologis tanah serta hutan. Perjuangan MHA dalam mempertahankan wilayahnya bukan hanya perjuangan melawan ketidakadilan, tetapi juga upaya menjaga keberlanjutan lingkungan yang adil bagi generasi mendatang. Perjuangan MHA tidak dapat direduksi semata-mata ke dalam kerangka konflik kelas. Nilai-nilai spiritual, sosial, dan aspirasi ekonomi mereka sering kali tidak dapat disetarakan begitu saja dengan ukuran ekonomi masyarakat dominan. Ketika negara menolak mengakui status hukum sekaligus dimensi spiritual MHA, konflik agraria yang berkepanjangan menjadi tidak terelakkan. Keadilan representasi menuntut adanya inklusi politik yang nyata. Ini berarti memastikan bahwa tuntutan, pengalaman, dan aspirasi MHA terwakili secara sah dalam perumusan kebijakan, termasuk tata ruang dan kebijakan iklim dan diakui sebagai bagian integral dari keberlanjutan sosial-ekologis bangsa.

Konflik agraria dan dinamika pluralisme hukum.

Pluralitas sistem hukum, antara hukum negara, hukum sektoral, dan hukum adat yang belum memperoleh pengakuan penuh menciptakan ambiguitas. Celah ini sering dimanfaatkan aktor eksternal, baik korporasi maupun elit lokal. Seperti dicatat Benda-Beckmann yang menyoroti “pluralism of legal pluralisms”, ambiguitas hukum membuka ruang bagi manipulasi relasi kuasa lokal demi keuntungan pribadi. Dia menjelaskan kondisi ketika kerangka hukum pascakolonial dilegitimasi tanpa memperhitungkan relasi kekuasaan dan kelas. Bisa jadi lambannya penetapan Hutan Adat pasca Putusan MK 35/2012, serta berlarut-larutnya pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat, mencerminkan strategi negara untuk mempertahankan ambiguitas hukum yang menguntungkan kepentingan ekstraktif. Dengan membiarkan pluralisme hukum yang tidak tersinkronisasi, negara menyeret konflik ke ranah birokrasi, menguras energi dan sumber daya komunitas, sekaligus menunda kepastian hukum. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana hukum dapat berfungsi sebagai “huruf mati” ketika tidak disertai kemauan politik untuk menantang resistensi birokrasi dan membuka ruang desentralisasi kekuasaan sejati.

Di titik ini, analisis Nancy Fraser memberi lensa tambahan. Fraser menguraikan bahwa keadilan hanya dapat dicapai bila tiga dimensi dipenuhi: pertama, redistribusi untuk memastikan akses adil terhadap sumber daya ekonomi. Dalam kasus agraria, redistribusi berarti pengakuan sah atas tanah dan hutan adat sehingga komunitas dapat memanfaatkan ruang hidupnya tanpa dikalahkan oleh rezim konsesi dan ekstraksi; kedua, pengakuan yaitu menghapus praktik subordinasi kultural dan simbolik. Penyangkalan status hukum dan spiritual MHA adalah bentuk ketidakadilan pengakuan yang memicu konflik berkepanjangan; ketiga, representasi bertujuan untuk memastikan inklusi politik yang sejati. Aspirasi MHA harus hadir dalam kebijakan tata ruang, iklim, dan agraria, bukan sekadar melalui prosedur birokratis yang memperpanjang eksklusi. Jika dianalisis dengan kerangka Fraser, pluralisme hukum di Indonesia justru sering gagal memenuhi ketiga dimensi ini: redistribusi terhambat oleh rezim perizinan ekstraktif, pengakuan terbentur oleh ambiguitas hukum yang sengaja dipelihara, dan representasi politik MHA disubordinasikan dalam forum-forum formal negara. Dengan demikian, pluralisme hukum yang tidak disinkronkan menjadi instrumen reproduksi ketidakadilan struktural.

Melalui pendekatannya tentang Territories of Difference dan “Decolonial Turn,” Arturo Escobar (2013) kita bisa menghubungkan hak atas tanah dan isu keadilan iklim di dalamnya. Arturo menegaskan bahwa hak teritorial dan budaya masyarakat hukum adat (MHA) merupakan fondasi esensial bagi pelestarian keanekaragaman hayati dalam menghadapi penetrasi modal yang semakin masif. Keadilan lingkungan, karenanya, harus berangkat dari perspektif dekolonial yang secara kritis menantang warisan penindasan dan marginalisasi yang mengakar dalam praktik pembangunan dan konservasi arus utama. Pengakuan atas hak teritorial MHA menjadi langkah fundamental untuk menolak model pembangunan yang bersifat opresif. Wilayah adat bukan semata dipandang sebagai properti, melainkan sebagai territory of life yang menopang sistem kehidupan kolektif sekaligus menjaga pengetahuan tradisional. Oleh karena itu, pengakuan tersebut harus melampaui logika pasar dan berlandaskan pada kedaulatan komunitas dalam mengatur serta melindungi lingkungan hidup mereka. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 pada tahun 2013 merupakan tonggak kemenangan yuridis, yang secara tegas mengeluarkan Hutan Adat dari kategori Hutan Negara, mengakui hak kolektif Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA). Tiga belas tahun berlalu, Putusan MK 35/2012 menjadi contoh nyata kemenangan simbolis yang gagal diterjemahkan menjadi perubahan fungsional di tingkat kelembagaan.

Proses penetapan Hutan Adat masih berjalan sangat lambat dan terbatasi oleh peraturan pelaksana sektoral yang birokratis di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lambatnya penetapan ini menunjukkan adanya resistensi birokrasi sektoral yang berusaha mempertahankan kendali atas kawasan hutan. Akibatnya, konflik lama yang seharusnya terselesaikan pasca-putusan ini, masih belum mencapai keadilan dan ini menggarisbawahi bagaimana peraturan pelaksana pasca-putusan justru mempertahankan kekuasaan sektoral, membiarkan putusan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 menjadi kemenangan di atas kertas, bukan di lapangan.

Urgensi Kodifikasi

Prinsip FPIC (atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan/PADIATAPA) adalah hak fundamental MHA untuk memberikan atau menolak persetujuan atas proyek pembangunan yang berdampak pada wilayah mereka. Meskipun FPIC dijamin oleh UNDRIP (Pasal 10 dan 19), Indonesia belum memiliki instrumen hukum nasional yang secara eksplisit mengadopsi prinsip ini. Kesenjangan regulasi tersebut fatal. Studi komparasi menunjukkan bahwa pelaksanaan FPIC di lapangan jauh dari ideal seperti kasus proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua karena tidak adanya kerangka hukum yang kuat. Ketiadaan hukum FPIC yang mengikat memungkinkan proyek-proyek ekstraktif skala besar berjalan tanpa persetujuan sah dari MHA, dan itu merupakan pelanggaran HAM serius.

Perjuangan masyarakat hukum adat (MHA) dalam mempertahankan tanah, hutan, dan ruang hidupnya kerap dibalas dengan intimidasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan. Pola ini bukan sekadar insiden terpisah, melainkan bagian dari strategi sistematis untuk melemahkan perlawanan komunitas. Para pembela HAM lingkungan yang berdiri di garis depan menghadapi risiko kehilangan kebebasan, reputasi, hingga nyawa mereka. Kriminalisasi dijadikan senjata hukum untuk menakut-nakuti, sementara intimidasi sosial dan politik berfungsi memecah solidaritas yang selama ini menjadi kekuatan rakyat. Lebih jauh, pola kekerasan dan kriminalisasi ini beroperasi sebagai legitimasi terselubung bagi perampasan tanah dan sumber daya alam. Dengan melabeli perlawanan sebagai “pelanggaran hukum” atau “gangguan investasi”, negara dan korporasi menciptakan narasi bahwa MHA adalah penghalang pembangunan. Padahal, sesungguhnya intimidasi ini adalah upaya menghapus suara komunitas dan mengamankan kepentingan modal. Ketika hukum dijadikan alat untuk membungkam, maka perjuangan MHA bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal merebut kembali martabat, kedaulatan, dan keadilan sosial yang selama ini direbut dari mereka.

Hutan Adat: Benteng Terakhir Konservasi dan Karbon

Pengakuan hak teritorial MHA bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga merupakan strategi mitigasi iklim paling efektif dan hemat biaya. Bukti-bukti empiris konsisten menunjukkan bahwa wilayah adat yang dikelola langsung oleh komunitas memiliki tingkat deforestasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan non-adat yang dibuka untuk konsesi atau investasi skala besar. Ketika MHA memiliki kedaulatan penuh atas tanah dan hutan mereka, ekosistem terlindungi, dan praktik pengelolaan yang berkelanjutan tetap terjaga.

​​Pengamanan hak kepemilikan lahan adat terbukti lebih stabil, tahan lama, dan hemat biaya dibandingkan intervensi berbasis teknologi atau skema pasar karbon yang rapuh dan sarat kepentingan. Banyak proyek iklim berbasis mekanisme pasar seperti carbon offset atau REDD+ justru menyingkirkan MHA dari wilayahnya sendiri, mengunci mereka dalam kontrak yang merugikan, atau bahkan melegitimasi perampasan tanah atas nama “konservasi.” Hasilnya bukan hanya kegagalan ekologis, tetapi juga luka sosial yang memperdalam ketidakadilan. Sebaliknya, pengakuan hak teritorial adat telah berulang kali membuktikan efektivitasnya tanpa perlu jargon teknokratis atau skema pasar yang penuh celah. Dengan memperkuat hak-hak MHA, dunia sesungguhnya sedang berinvestasi pada solusi iklim paling nyata yaitu komunitas yang berakar pada tanah, memiliki kepentingan langsung untuk melindunginya, dan telah melakukannya selama ratusan tahun tanpa perlu “inovasi” yang mahal dan artifisial.

Kita bisa bayangkan bahwa secara global, wilayah adat tropis menyimpan cadangan karbon yang luar biasa besar setara dengan 168,3 gigaton karbon dioksida (GtCO₂). Angka ini menegaskan bahwa MHA bukan sekadar “penjaga hutan,” melainkan garda terdepan penyimpan karbon dunia. Mereka telah menjaga keseimbangan ekologis jauh sebelum istilah “mitigasi iklim” dikenal, dengan kearifan ekologis yang diwariskan lintas generasi. Menolak atau menunda pengakuan hak mereka sama saja dengan mengorbankan salah satu solusi paling nyata dan alami untuk krisis iklim global. Pengamanan hak kepemilikan lahan adat terbukti lebih stabil, tahan lama, dan hemat biaya dibandingkan intervensi berbasis teknologi atau skema pasar karbon yang rentan manipulasi. Alih-alih menguras anggaran untuk solusi teknokratis, mendukung pengakuan wilayah adat justru memperkuat sistem yang sudah terbukti efektif selama berabad-abad. Dengan memberikan hak penuh kepada MHA, dunia bukan hanya melindungi hutan dan iklim, tetapi juga memastikan keberlanjutan sosial, budaya, dan ekonomi komunitas yang paling terdampak oleh krisis iklim.

Mewujudkan Keadilan Redistribusi dan Pengakuan

Pengakuan terhadap Wilayah dan Hutan Adat tidak bisa lagi ditunda atau dibebani oleh tumpang tindih birokrasi sektoral antara KLHK dan ATR/BPN. Pemerintah harus segera membentuk satuan tugas independen yang memiliki kewenangan penuh untuk mempercepat proses pemetaan, verifikasi, dan penetapan wilayah adat. Tanpa mekanisme independen yang berani menembus kebuntuan birokrasi, pengakuan hak adat hanya akan menjadi jargon politik yang tak kunjung terwujud. Satuan tugas ini bukan hanya soal efisiensi, melainkan juga soal keberpihakan: apakah negara benar-benar berpihak pada keadilan sosial dan ekologis, atau terus melanggengkan status quo yang diskriminatif terhadap masyarakat adat. Selain percepatan pengakuan wilayah adat, langkah krusial berikutnya adalah melakukan audit ekologis dan sosial terhadap seluruh izin ekstraktif baik perkebunan, tambang, maupun proyek infrastruktur strategis nasional (PSN) yang tumpang tindih dengan wilayah adat. Audit ini harus menilai secara menyeluruh dampak terhadap lingkungan, keberlangsungan sosial, serta legalitas dalam penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Tanpa audit menyeluruh, negara akan terus menutup mata pada perampasan ruang hidup masyarakat adat yang sering kali dilegitimasi oleh dokumen izin. Audit ini menjadi instrumen kunci untuk memastikan bahwa klaim pembangunan tidak berdiri di atas pelanggaran hak asasi manusia.

Audit tanpa konsekuensi hanya akan menjadi formalitas. Karena itu, pemerintah harus berani mengambil langkah nyata dengan mencabut izin konsesi yang terbukti melanggar hak adat atau melanggar prinsip FPIC. Langkah ini adalah bentuk pertanggungjawaban lingkungan sekaligus penegasan bahwa hak adat tidak bisa dinegosiasikan demi kepentingan investasi jangka pendek. Mencabut izin bermasalah juga mengirimkan pesan penting: pembangunan sejati hanya bisa berdiri di atas fondasi keadilan ekologis dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Tanpa keberanian ini, agenda reforma agraria dan keadilan lingkungan hanya akan menjadi ilusi yang hampa makna. ​​Kampanye advokasi harus dibangun di atas satu narasi tunggal yang sederhana namun kuat “Hak Tanah Adat = Solusi Iklim Global.” Narasi ini bukan sekadar slogan, melainkan strategi komunikasi yang menghubungkan perjuangan MHA dengan krisis iklim dunia. MHA telah membuktikan bahwa wilayah adat yang dikelola oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) memiliki tingkat deforestasi lebih rendah dan kapasitas penyimpanan karbon lebih tinggi dibandingkan kawasan non-adat. Dengan mengintegrasikan narasi ini ke dalam wacana publik, media, hingga forum internasional, kampanye tidak hanya memperjuangkan keadilan lokal, tetapi juga menegaskan bahwa melindungi hak tanah adat adalah strategi mitigasi iklim paling efektif, berbiaya rendah, dan berjangka panjang.

Langkah strategis berikutnya adalah menggeser aliran modal global. Lembaga keuangan, perdagangan, dan rantai pasok internasional harus didorong untuk menarik dukungan dari proyek-proyek yang terbukti melanggar prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dan merampas wilayah adat. Dengan menekan kantong kekuasaan oligarki ekstraktif melalui advokasi hukum, kampanye akan mampu melemahkan legitimasi ekonomi dari perampasan lahan. Mekanisme ini tidak hanya menghukum pelaku pelanggaran, tetapi juga menciptakan insentif baru bagi sektor bisnis untuk bertransformasi menuju praktik yang adil dan ramah lingkungan. Pada titik inilah, perjuangan masyarakat adat bertemu dengan solidaritas global untuk menegakkan keadilan ekologis dan HAM. Strategic Legal Response Centre (SLRC) yang digagas oleh Forest Peoples Programme (FPP) menjadi instrumen penting untuk memperkuat perjuangan Masyarakat Hukum Adat (MHA), karena menyediakan dukungan hukum yang cepat, masif, dan terkoordinasi dalam menghadapi kriminalisasi, perampasan wilayah, maupun pelanggaran prinsip FPIC. Melalui SLRC, MHA tidak lagi berjalan sendiri, melainkan memiliki akses pada jaringan pengacara, advokat HAM, serta mekanisme litigasi dan non-litigasi yang terhubung secara global. Kehadiran pusat ini bukan hanya soal pembelaan kasus per kasus, tetapi juga strategi sistematis untuk menciptakan preseden hukum, menekan negara dan korporasi agar akuntabel, serta memperkuat posisi MHA dalam peta politik hukum nasional maupun internasional.

Melalui pengakuan hak teritorial yang menyeluruh dan penegakan keadilan lingkungan, Indonesia memiliki kesempatan untuk melepaskan diri dari jerat model pembangunan yang eksploitatif dan destruktif. Pengakuan ini bukan sekadar koreksi terhadap sejarah panjang perampasan tanah, melainkan langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan hidup bangsa di tengah krisis iklim global. Dengan menempatkan Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai penjaga utama ruang hidupnya, kita tidak hanya memulihkan hak-hak dasar mereka, tetapi juga mengakui peran vital mereka sebagai arsitek ekologi yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan alam. Wilayah adat yang terlindungi terbukti lebih tangguh dalam menghadapi deforestasi, menyimpan cadangan karbon yang masif, serta menopang keragaman hayati yang menjadi fondasi keberlanjutan Nusantara. Transisi menuju model pembangunan yang inklusif hanya dapat dicapai jika MHA diposisikan di pusat pengambilan keputusan, bukan di pinggiran. Mereka bukan sekadar “penerima manfaat,” melainkan aktor utama yang menentukan arah kebijakan. Inilah jalan menuju Indonesia yang adil secara sosial, lestari secara ekologis, dan berdaulat secara politik sebuah peradaban yang menempatkan tanah adat bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai solusi iklim global.

 

Privacy Preference Center