Ketahanan pangan menjadi salah satu isu global yang tercantum dalam agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yaitu untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik serta mendukung pertanian berkelanjutan. Di Indonesia ketahanan pangan diukur menggunakan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) yang merupakan indeks komposit. Indeks ini menilai situasi ketahanan pangan dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Tingkat kelaparan di Indonesia menepati urutan ketiga tertinggi di Asia Tenggara. Hasil perhitungan Global Hunger Index (GHI) tahun 2021 menunjukkan bahwa kelaparan di Indonesia saat ini berada pada kondisi serius dengan nilai indeks sebesar 18,0 dan berada pada peringkat ke-73 dari 116 negara.[1]

Kelaparan yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh kemiskinan, pengunaan lingkungan yang melebihi kapasitas, faktor alam yaitu perubahan iklim. Indonesia termasuk negara yang memiliki ketahanan pangan paling rawan untuk terkena dampak perubahan iklim di Asia Tenggara. Dampak perubahan iklim menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen dan berimplikasi pada penurunan produksi dan kesejahteraan petani, perubahan iklim juga memiliki pengaruh tidak langsung yang dapat menurunkan produktivitas tanaman pangan dengan meningkatnya serangan hama dan penyakit disamping kondisi cuaca ekstrim.

Jika kemiskinan dilihat secara prosesual, kemiskinan dan perubahan iklim pada dasarnya bersifat dinamis, dimana kelompok miskin hidup dalam kondisi yang membuatnya paling rentan terhadap dampak perubahan iklim sementara kebijakan penanggulangan kemiskinan gagal mengatasi masalah kemiskinan akibat tidak memperhitungkan faktor perubahan iklim. Hasil Riset Sistem foodways yang di lakukan oleh Akar Foundation tahun 2018 pada keluarga petani Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Rejang Lebong mengungkapkan adanya kelaparan tersembunyi (hidden hunger) di balik ancaman kerentanan livelihood.[2] Peraturan Presiden No. 83 tenhun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan Nasional, dimana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan salah satu sektor yang turut bertanggungjawab terhadap ketahanan pangan. Sehingga ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan nasional, RPJMN 2020-2024 secara tegas menyatakan bahwa peningkatan ketahanan pangan tidak hanya menyangkut urusan kebutuhan dasar tapi juga menjadi penopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Hasil riset lebih lanjut menemukan  satu relasi yang paling penting bagi kehidupan masyarakat sekitar hutan adalah relasi produksi dan reproduksi. Petani hutan memproduksi dan mereproduksi sumber daya alam dari hutan untuk kebutuhan dan keberlangsungan pangan manusia. Ketika akses terhadap hutan dibatasi akan berakibat pada peningkatan angka kemiskinan dan bertambahnya jumlah petani tunakisma.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Kominfo dan Statistik Provinsi Bengkulu pada tahun 2020 Kabupaten Rejang Lebong memiliki angka kemiskinan mencapai 15,85 % atau setara dengan  41.470 jiwa dan berada pada urutan ke 9 dari 10 Kabupaten dan Kota yang ada di Provinsi Bengkulu. Angka kemiskinan yang ada di Kabupaten Rejang Lebong terkosentrasi di desa-desa penyangga kawasan hutan. 

Dengan luas hutan 53.429 Ha di Kabupateng Rejang Lebong merupakan hutan negara yang di peruntukan sebagai fungsi konservasi dan linfung merupakan potensi yang bisa dimanfaatkan sebagai upaya penanggulangan kemiskinan dengan memperhitungkan faktor perubahan iklim. Hutan tidak semata dipandang sebagai penghasil kayu, tapi juga menjadi sumber nutrisi tanpa menghilangkan fungsi utama sebagai penyerap karbon.

Target pemberian izin perhutanan sosial di Bengkulu berdasarkan PIAPS Revisi VI Provinsi Bengkulu Nomor : SK. 4028 / MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/5/2021 tertanggal 25 Mei 2021 luas Perhutanan Sosial di Provinsi Bengkulu 94.663,28 Ha. Dimana di Kabupaten Rejang Lebong telah terealiasi seluas 4.093,61 Ha atau 4,3 % dari target Provinsi.

Luas Hutan Lindung Bukit Daun di Rejang Lebong selaus 5.131 hektar, seluas 1.486,61 Ha merupakan Kawasan yang telah di berikan izin pengelolaan hutan kepada 721 Kepala Keluarga melaui skema Hutan Kemasyarakatan. Dalam Dokumen Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPHL Unit III Bukit Daun (2018-2017). Pada wilayah Hutan Lindung  Bukit Daun terdapat Lahan kritis seluas 21.908 Ha dan sangat kritis seluas 295 Ha. Seluas 1.486,61 Ha Kawasan Hutan Lindung Bukit Daun merupakan lahan kelola masyarakat yang telah di berikan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Seluas 297,3 Ha merupakan Kawasan terbuka dalam bentuk lahan yang belum di kelola dan ladang monokultur dengan komoditi Kopi, pada lahan-lahan tersebut perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi dengan penanaman (RHL Vegtatif) dengan jenis tanaman tegakan baik yang bernilai ekonomi maupun konservasi.

Hutan Lindung Bukit Daun memiliki peranan penting dalam siklus karbon dan berperan penting dalam menjaga kestabilan iklim karena kemampuannya menyerap CO2 melalui proses fotosistesis. Salah satu peranan Hutan Kemasyarakatan adalah mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu aspek penting untuk mengetahui potensi cadangan karbon pada hutan kemasyarakatan di Desa Air Lanang Kecamatan Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong adalah penelitian menghitung potensi cadangan karbon dan menganalisis nilai ekonomi dari perhitungan potensi cadangan karbon.

Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan Universtitas Bengkulu tahun 2015 mengunakan metode non-destructive dengan rumus allometric dan pembagian kuisioner pada masyarakat pelaku HKm menunjukan bahwa tipe tegakan kemiri dan pinang sebagai tanaman pagar nilai cadangan karbon yang dihasilkan adalah 30,05 ton/ha. Pada tegakan johar-kopi dan pinang nilai cadangan karbonnya adalah 2.28 ton/ha. Pada Tipe tegakan sedikit kemiri-kopi dan pinang, nilai cadangan karbon yang dihasilkan adalah 4.7 ton/ha.

Meski memiliki potensi cadangan karbon lebih dari 30 ton/ ha, lahan kritis di sekitar kawasan Hutan Lindung Bukit Daun perlu dipulihkan. Rehabilitasi ekosistem termasuk pada area yang berbatasan dengan area HKM di 5 Desa menjadi target rehabilitasi sebagai bagian dari model agroekologi. Kurang lebih 110 ribu Ha lahan di kawasan Hutan Lindung Bukit Daun di Kepahiang kritis. Melalui pendekatan agroekologi kelompok tani HKM akan melakukan rehabilitasi lahan yang kemudian akan menjadi program rehabilitasi ekosistem pada pemerintahan desa dengan pengembangan kebun bibit desa.

Kelestarian Hutan Kemasyarakatan simetris dengan peningkatan jumlah carbon tersimpan (stock of carbon). Perlindungan dan pengamanan hutan dibutuhkan untuk mencegah dan meminimalkan kerusakan hutan akan dilakukan oleh anggota kelompok HKM sebagai tim pengamanan swadaya atau jagawana desa. Pentingnya pengamanan dan perlindungan hutan karena Hutan lindung yang telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan berfungsi sebagai sumberdaya alam hayati, penyangga kehidupan dan merupakan aset daerah yang mempunyai manfaat ekologis dan ekonomis.

Kelompok Jagawana Desa ini nantinya akan dibekali pengetahuan dan keterampilan dalam inventarisasi hutan dengan teknologi berbasis IT. Kelompok Jagawana Desa ini juga sebagai pengelola program pohon asuh yang nantinya menjadi bagian dari pengembangan kemitraan dan dukungan dalam menjaga hutan. (Public-Private-Community Partnership).

Perhutanan sosial telah menjadi prioritas pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan dan ekonomi di tingkat tapak. Pengelolaan hutan melalui skema Perhutanan Sosial yang berkelanjutan oleh masyarakat dapat berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Diperkenalkan skema REDD+ kepada pemegang izin Perhutanan Sosial memberikan peluang “Imbal Jasa Lingkungan” atas usaha yang dilakukan untuk menahan laju deforestasi dan degradasi hutan. Imbal Jasa Lingkungan memberi peluang bagi kelompok Perhutanan Sosial mendanai pengelolaan Kawasan

Status legal sebagai pemegang izin Usaha Hutan Kemasyarakatan (IUHKM) seluas 1.486,61 Ha di Desa Air Lanang, Tanjung Dalam, Tebat Pulau, Tebat Tenong Dalam dan Baru Manis merupakan desa payanggah Kawasan Hutan Lindung Bukit Daun dengan luas total 4.897 Ha yang ada di Kabupaten Rejang Lebong merupakan peluang untuk  pengelolaan lestari melalui sistem produksi agroekologi untuk pemulihan daya dukung ekosistem, peningkatan ekonomi desa berbasis komoditas kebun dan hutan termasuk peluang penurunan emisi karbon melalui sertifikasi hutan lestari dan  pasar carbon yang dikelola masyarakat pemegang Izin Pengelolaan Hutan berdasarkan nilai dan pengetahuan lokal. Selain itu, hutan yang dikelola oleh masyarakat tersebut menjadi habitat penting berbagai polinator kunci untuk produksi pangan dan keberadaan hutan membantu memitigasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kebutuhan pangan lokal dan wildfood.

 

[1] https://www.globalhungerindex.org/ranking.html

[2] Laporan Riset Perempuan dan Pangan di kawasan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Rejang Lebong. Akar Foundation-Inkrispens, 2018. Unpublished.