PENGANTAR
Propinsi Bengkulu adalah salah satu Propinsi yang ada di Pulau Sumatera yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah baik terbarukan maupun yang tidak terbarukan, tetapi sekaligus merupakan wilayah rawan bencana. Peraturan Daerah No 02 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Bengkulu 2012-2032 menegaskan bahwa perencanaan tata ruang Propinsi Bengkulu berbasis mitigasi bencana. Bagi Propinsi Bengkulu khususnya ekosistem hutan memiliki peran pivotal, di satu sisi menjadi penyedia bahan-bahan yang dapat digunakan secara langsung oleh mahluk hidup, dan di sisi lain berperan penting menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi alam, seperti tata air, penyaring udara, pengatur kestabilan iklim, serta pengikat tanah.
Provinsi Bengkulu adalah contoh gambaran lengkap satu kesatuan sistem dan fungsi hutan selama beberapa abad sebagai penyedia sumber kehidupan dan penghidupan dan pada saat yang sama memainkan peran kunci dalam menjamin kelangsungan fungsi-fungsi alam

Sekaligus memiliki jejak historik perombakan bentang alam, sosial dan politik yang sangat panjang, sejak masa pendudukan Belanda di Abad ke-18. Jejak historik tersebut ditandai pola yang konsisten: Perkebunan besar, pembalakan hutan, penambangan bahan-bahan mineral yang ditopang pembukaan jejaring sarana dan prasarana pendukung percepatan industri berbasis kekayaan alam. Jejak tersebut secara konsisten menunjukkan tingginya daya rusak, besarnya dampak yang diemban dan kecilnya manfaat yang dinikmati masyarakat.
Perubahan iklim memperburuk keadaan yang ada. Di satu sisi perubahan iklim disumbang oleh massifnya deforestasi dan degradasi hutan di Bengkulu, di sisi lain perubahan iklim menjadi potensi ancaman keberlanjutan kehidupan dan fungsi-fungsi alam wilayah tersebut. Deforestasi membuka gerbang bagi kemerosotan mutu hidup dan mutu lingkungan. Deforestasi menjadi mesin ampuh penurun daya dukung lingkungan dan kelentingan sosial. Hal ini menyebabkan pelipatgandaan daya rusak suatu bencana ekologis, baik yang murni alami maupun yang dipicu oleh akumulasi dampak kegiatan manusia dalam jangka waktu lama.
Hal tersebut menjadi argumen dasar baik oleh Akar Foundation sebagai CSO yang peduli dengan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam yang ada maupun oleh pembuat kebijakan menjadikan beberapa wilayah di Bengkulu sebagai wilayah prioritas dalam mendorong pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim dan reposisi ruang kelola rakyat. Wilayah prioritas ini menyasar beberapa kawasan, baik kawasan konservasi, kawasan lindung, kawasan berstatus hutan produksi, serta kawasan-kawasan perkebunan yang terdegradasi (exhausted forest).
Namun penting dicatat bahwa upaya mendorong pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim dan reposisi ruang kelola rakyat seharusnya sudah bekerja ke arah penanganan dampak perubahan iklim (adaptasi) serta tata-kelola dan upaya pemangkasan emisi CO2 (mitigasi)[1]. Perpaduan konteks UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, membuat pendekatan penataan ruang harus bergeser dari upaya pengaturan konvensional tata-guna lahan ke arah perwujudan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu pelaksanaan skema-skema hutan untuk iklim dan reposisi ruang kelola rakyat seharusnya bukan semata-mata tentang lahan hutan dan karbon, tetapi harus diarahkan sebagai suatu kesepakatan pembenahan dan pembaruan tata-kelola hutan, dengan mengutamakan pengendalian faktor-faktor penyebab deforestasi. Seperti yang dipaparkan Jackson (2005), upaya adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim melalui penataan ruang harus mengedepankan status keselamatan manusia[2].
REPOSISI RUANG KELOLA RAKYAT MELALUI HUTAN KEMASYARAKATAN (HKM)
Kebijakan Hutan Kemasyarakatan pertama kali dikeluarkan pada tahun 1995 melalui penerbitan Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindaklanjutnya, Dirjen Pemanfaatan Hutan, didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun 1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Lalu Menhut mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1997, mengubah Keputusan No.622/Kpts-II/1995. Regulasi ini memberi ruang pemberian hak pemanfaatan hutan bagi masyarakat yang dikenal dengan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) yang terbatas pada pemanfaatan hutan non kayu. Dan bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Pada tahun 2001, dikeluarkanlah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001, yang memberikan keleluasaan lebih besar kepada masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan kemudian diikuti dengan perubahan-perubahannya (Permenhut No.P.18/Menhut-II/2009, Permenhut No. P.13/Menhut-II/2010, hingga Permenhut No.P52/Menhut-II/2011). Tahun 2016 melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial, yang di dalam peraturan tersebut, pemerintah menjelaskan bahwa untuk mengurangi kemiskinan, penggangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberianakses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat,Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Dan, Hutan Kemasyarakatan yang selanjutnya di singkat dengan HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
PERKEMBANGAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKM) DI KABUPATEN REJANG LEBONG
Pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Rejang Lebong diawali melalui pilot project hutan kemasyarakatan tahun 1999 yang berlokasi di kawasan hutan lindung Bukit Daun (register 5) seluas 2.000 hektar. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Kehutanan P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, seluruh eks pilot project HKm di Provinsi Bengkulu dievaluasi oleh Departemen Kehutanan. Hasil dari proses fasilitasi program HKm tahun 1999 sampai 2009 tersebut, terdapat 52 kelompok tani hutan kemasyarakatan yang terhimpun 1.279 jumlah anggota kelompok tani dengan luas lahan 1.762.8 Ha. Kelompok tani HKm ini tersebar di tujuh Desa disepanjang daerah aliran Sungai Musi atau di kawasan Hutan Lindung Bukit Daun Register 5. Jumlah tersebut sebagian besar masuk dalam cakupan administrasi pemerintahan Kabupaten Kepahiang 6 Desa dan 1 di Kabupaten Rejang Lebong yaitu Desa Air Lanang.[3]
Berangkat dari Pembelajaran dari pilot project ini, pada tahun 2010 Akar Foundation melakukan pendampingan dan fasilitasi di 6 (enam) desa yang ada di Kabupaten Rejang Lebong, desa-desa tersebut antara lain; Desa Air Lanang, Desa Tebat Pulau, Desa Tanjung Dalam, Desa Tebat Tenong Dalam, Desa Baru Manis dan Desa Air Pikat. Dari proses pendampingan dan fasilitasi tersebut terbentuk 30 kelompok tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan 6 Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pengajuan permohonan perizinan ini dilakukan bersama masyarakat. Setelah proses verifikasi oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2013 Menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan penunjukan Peta Areal Kerja untuk 5 (lima) Desa; Desa Air Lanang, Desa Tanjung Dalam, Desa Tebat Pulau, Desa Tebat Tenong Dalam dan Desa Baru Manis.[4]
Izin Peta Areal Kerja (PAK) untuk pengelolaan hutan melalui Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.545/Menhut-II/2013 pada lahan seluas Lahan + 1.165 Ha tertanggal 30 juli 2013 yang diberikan kepada Gapoktan Tumbuh Lestari, Gapoktan Tri Setia, dan Gapoktan Rukun Makmur yang terdapat di Desa Air Lanang Desa Tebat Pulau dan Desa Baru Manis dan Nomor: SK.19/Menhut-II/2014 pada lahan seluas Lahan + 310 Ha tertangal 9 januari 2014 untuk Gapoktan Maju Jaya dan Gapoktan Enggas Lestari terdapat Desa Tanjung Dalam dan Desa Tebat Tenong.
Atas dasar Surat Keputusan penunjukan Peta Areal Kerja ini pada tanggal 13 Mei 2015 Bupati Kabupaten Rejang Lebong memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) melalui Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III Tahun 2015 tentang pemberian Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) kepada Gabungan Kelompok Tani dalam Kabupaten Rejang Lebong di 5 Desa (Air Lanang, Tebat Pulau, Tebat Tenong Dalam, Baru Manis dan Tanjung Dalam). Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung Register 5.
Di dalam Keputusan Bupati RL, No: 180.186.III tahun 2015 salah satu yang dimandatkan kepada penggarap Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah penyusunan Rencana Umum dan Rencana Operasional secara periodik atau berjangka sehingga dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan nantinya bisa memenuhi  azas Hutan Kemasyarakatan diantaranya manfaat dan lestari secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
PELUANG DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN
Peluang Politik Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Pada tahun 2014, Target pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo mencanangkan salah satunya mewujudkan wilayah kelola rakyat di areal hutan minimal seluas 12, 7 juta hektar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup sebagai perpanjangan dan pelaksana wacana tersebut bertangung jawab memastikan angka tersebut tercapai, Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan salah satu Skema yang tentu saja harus direspon dan didorong manisfestasinya, perizinan dan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) akan membuktikan perluasan dan reposisi ruang kelola rakyat.
Dalam konteks mendukung program Perhutanan Sosial di kawasan hutan Lindung, saat ini acuan yang digunakan adalah Permenhut No. P.88/Menhut-II/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan dan disempurnakan dengan Permenhut P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2016 tentang Perhutanan Sosial, yang pertimbangannya adalah untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan. Pada skema ini, Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk memberikan Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Seiring dengan lahirnya UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, pasal 14 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumberdaya mineral di bagi antara pemerintah pusat dan daerah propinsi, kecuali Taman Hutan Raya yang pengelolaannya menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota (pasal 14, ayat 2).
Kebijakan ini mengisyaratkan bahwa hampir semua ijin akan berada di tangan Gubernur. Sementara kebijakan Perhutanan Sosial, proses perijinan masih berada di tanganBupati/Walikota. Untuk itu, artinya pasca dikeluarkannya UU No. 23/2014 proses perizinan ini cenderung dipermudahkan karena dilakukan memalui “satu pintu” sekaligus ini memudahkan proses evaluasi dan monitoring perkembangan pengelolaan hutan memalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Pertumbuhan dan Ketimpangan
Hutan yang ada di Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu dikenal kaya dengan berbagai kehidupan liar dan beragam tipe ekosistem (mega-biodiversity) serta mempunyai peran yang sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan warganya. Potensi ini haruslah menjadi perhatian banyak pihak karena pentingnya hutan dilihat dari sisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
Sektor kehutanan ini menghadapi masalah yang sangat kompleks. Hal ini terjadi karena peruntukan lahan tidak sesuai dengan kebijakan dan arah pembangunan kehutanan yang tidak terstruktur. Kebijakan pemerintah saat ini lebih memprioritaskan keuntungan di bidang ekonomi, tanpa memperhatikan aspek sosial dan lingkungan (ekologi). Akibatnya, hutan mengalami deforestasi (kerusakan hutan dan ekosistem), termasuk areal hutan lindung. Perubahan pola penggunaan lahan hutan lindung ini mengakibatkan terganggunya fungsi hutan lindung yang ditandai penurunan tingkat penutupan lahan hutan lindung, peningkatan laju erosi sehingga kualitas tanah menurun, dan bencana alam dan menyisakan banyak permasalahan, baik ekonomi, sosial maupun lingkungan. Pengelolaan hutan yang tidak berpihak kepada masyarakat berdampak pada pola pikir masyarakat yang merasa tidak memiliki, sehingga tidak merasa perlu untuk turut terlibat mengelola hutan. Kebijakan Otonomi Daerah (Otoda) juga menimbulkan berbagai masalah, antara lain terjadi ketimpangan pembangunan hutan di berbagai daerah menimbulkan kesenjangan sosial masyarakat. Kondisi tersebut disebabkan antara lain karena masyarakat masih memandang hutan semata-mata sebagai sumber pendapatan, terjadinya benturan kepentingan dan konflik pemanfaatan sumberdaya. Penyebab utama adalah pemanfaatan kawasan yang melampaui daya dukung kawasan, maraknya pemanenan dan perdagangan hasil hutan ilegal (illegal logging) serta lemahnya penegakan hukum. Selain itu, kawasan hutan juga banyak digunakan untuk menanam tanaman semusim dengan tanaman yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Tata kelola kehutanan melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan titik awal bagi keterlibatan dan kerja sama pada setiap tema utama pembangunan : pembangunan pedesaan, pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, demokrasi, resolusi konflik, dan desentralisasi, selain pemanfaatan  hasil ekonomi, distribusi keuntungan yang adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan konservasi kawasan. Dan tentu saja sejalan dengan tiga tujuan pengelolaan hutan internasional yang saling terkait: memanfaatkan potensi hutan untuk menurunkan kemiskinan, mengintegrasikan kehutanan pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dan melindungi nilai global hutan.
Investasi dan Mobilisasi Sumber Daya
Pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm) mempunyai ruang lingkup yang luas, sehingga dalam investasi sektor kehutanan ini perlu dilakukan: 1) menginventarisasi semua potensi yang dimiliki hutan, termasuk jenis, jumlah, luas kawasan, daya dukung, batas-batas hutan lindung dan letak geografis; 2) perencanaan untuk memperbaiki lingkungan yang mengalami kerusakan, baik karena sebab alamiah maupun karena tindakan manusia; 3) perencanaan berdasarkan perkiraan dampak yang akan terjadi sebagai akibat pembangunan; 4) pengelolaan dilakukan secara rutin dan sesuai peruntukan, letak geografis, jenis, dan luasnya.
Pada posisi ini pembangunan hutan memerlukan perubahan orientasi pembangunan, dimana pengelolaan hutan ditujukan untuk pemulihan ekosistem sebagai sistem penyangga kehidupan dan mendukung kegiatan ekonomi jangka panjang. Selain itu, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting dilakukan, masyarakat harus terlibat langsung berdampingan dengan pemerintah atau pihak lainnya sebagai mitra kerja sejajar.
Peningkatan keterlibatan dan kerjasama yang strategis adalah suatu kemajuan secara alamiah yang dapat diakomodasikan dengan sumberdaya yang sudah diidentifikasi, dan diletakkan sebagai pondasi untuk keterlibatan dan kerjasama yang lebih dalam, sejalan dengan kemajuan yang diperoleh. Untuk memperluas isu tata guna lahan dan akses, terutama menyangkut pengentasan kemiskinan dan investasi usaha kecil serta diversifikasi, dilakukan upaya-upaya mitra donor, pemerintah maupun pihak swasta dengan masyarakat madani.
Upaya penanganan harus dilaksanakan secara sistematis, terstruktur, berkelanjutan dan lintas sektoral. Hal tersebut dilakukan mengingat manfaat yang diperoleh dari hutan yang dikelola secara lestari baik berupa barang, jasa, kayu, dan atau non kayu tidak hanya dirasakan oleh masyarakat setempat, tetapi juga oleh semua pihak, lokal, nasional bahkan global (dunia) (Aktualisasi Kebijakan Kehutanan, 2005). Agar dapat dijadikan pegangan bagi semua pihak, diperlukan arah penyelenggaraan pembangunan hutan dalam jangka panjang. Perumusannya yang melibatkan pihak terkait khususnya masyarakat.
USULAN DAN SKEMA PENDANAAN
Sebagai aset nasional, hutan merupakan hak milik umum bagi masyarakat global. Hutan juga merupakan penghidupan bagi 10 juta dari 36 juta masyarakat miskin Indonesia. Hilangnya hutan membahayakan penghidupan masyarakat pedesaan, jasa lingkungan, dan kemampuan Indonesia mengentaskan kemiskinan. Tata kelola hutan yang lemah merusak iklim investasi, potensi ekonomi pedesaan, daya saing dan reputasi internasional Indonesia. Tata kelola kehutanan yang buruk telah memicu terjadinya kerusakan lingkungan. Lebih dari itu, dampaknya juga menyebabkan kerugian yang signifikan pada penghidupan ekonomi pedesaan, iklim investasi, daya saing dan hilangnya pendapatan negara. Dibutuhkan strategi yang jelas untuk memperbaiki sektor kehutanan.
Rabu (21/2), Bank Dunia mengeluarkan laporan yang berjudul “Sustaining Economic Growth Rural Livelihoods and Environmental Benefits: Strategic Options for Forest Asistance in Indonesia” (Melestarikan Pertumbuhan Ekonomi, Penghidupan Pedesaan dan Manfaat Lingkungan: Opsi-opsi Strategis Untuk Bantuan Kehutanan Indonesia). Laporan tersebut mempelajari bagaimana donor dan badan pembangunan dapat membantu pelaku kehutanan utama, seperti badan-badan pemerintah, masyarakat madani, sektor swasta, dan masyarakat miskin, dalam melaksanakan tata kelola hutan dan program pengelolaan hutan. Sebagai salah satu inisiator Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Bengkulu Khususnya di Kabupaten Lebong dan Kabupaten Rejang Lebong, opsi pendanaan ini dapat dilakukan melalui beberapa issue pengurangan emisi dari deforestasi hutan atau peningkatan cadangan karbon.
Terdapat berbagai opsi kebijakan pasar dan non-pasar yang tersedia untuk pengurangan emisi dari deforestasi. LSM dan banyak Negara Pihak pada umumnya setuju bahwa baik insentif pasar dan non-pasar diperlukan untuk memberikan sumber daya yang memadai bagi laju deforestasi yang terkait. Beberapa pihak berargumen bahwa apabila pengurangan deforestasi bersifat nyata dan dapat diverifikasi, maka pengurangan tersebut seharusnya dapat ditukarkan dengan pengurangan bahan bakar fosil atau jatah emisi secara bebas, atau “dapat dipertukarkan”. Beberapa pihak khawatir bahwa dengan memberikan akses tidak terbatas kepada kredit kehutanan ke pasar karbon akan melemahkan inisiatif untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil.
Pendanaan sektor ini bisa dari berbagai sumber baik yang dari pasar karbon ataupun yang bukan merupakan pasar karbon internasional dimungkinkan untuk terpibat dalam skema pendanaan untuk peningkatan cadangan karbon. Konferensi Perubahan Iklim PBB (United Nations Climate Change Conference) yang diadakan 29 November – 11 Desember 2010 di Cancun, Meksiko menghasilkan apa yang disebut Kesepakatan Cancun (Cancun Agreements). Ada 5 aktivitas yang menjadi pokok kesepakatan ini: a) Mengurangi emisi dari deforestasi; b) Mengurangi emisi dari degradasi hutan; c) Konservasi cadangan karbon hutan; d) Pengelolaan hutan yang berkelanjutan; dan e) Peningkatan cadangan karbon hutan.
Regimen efektif guna mengurangi deforestasi ini setidaknya perlu untuk,

  1. Mendukung pemerintah untuk mengawasi dan mengukur deforestasi secara terbuka dan untuk memperbaiki penegakan hukum lingkungan dan tata kelola kehutanan;
  2. Memberikan manfaat langsung bagi penduduk lokal, asli dan masyarakat tradisional hutan; dan
  3. Menawarkan insentif bagi usaha yang memiliki hak-hal legal untuk melakukan deforestasi, apabila mereka melepaskan hak tersebut.

Sementara dalam pemanfaatan sumber daya hutan non kayu yang ada di dalam kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm), pendanaan bisa dilakukan melalui skema bisnis murni, aplikasi bisnis ini dari kondisi yang aa dan kapasitas potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi manusia yang termanifestasi dalam sistem kelembagaan, sosial dan budaya masyarakat penggarap maka ada (tiga) skema yang di anggap mampu untuk mencapai tujuan dari tata kelola hutan kemasyarakatan (HKm);

  1. Project Financing. Proyek finance adalah investasi yang didanai sebagian oleh lembaga keuangan dan sebagian lagi oleh modal sendiri (equity). Mengacu pada equity umum yang sering dilakukan, porsi pendanaan dari equity umum sebesar 25 % dan sisanya didanai dari lembaga keuangan Bank maupun non Bank.
  2. Self Financing. Self Financing adalah investasi yang seluruh pendanaannya berasal dari dana sendiri (berasal dari akumulasi potensi yang dimiliki maupaun akumulasi keuntungan).
  3. Voluntary Fund, adalah pendanaan yang tidak mengikat atau yang dikenal dengan skema hibah dari beberapa lembaga yang konsisten mendukung pengelolaan hutan lestari.

Dari assesment yang dilakukan oleh Akar Foundation, terdapat beberapa pihak yang berpotensi mendukung pendanaan dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang ada di Kabupaten Lebong dan Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu, para pihak tersebut antara lain:

  1. Negara-Negara maju yang tergabung dalam Annex I
  2. Lembaga Keuangan (Bank maupun Non Bank)
  3. Pihak Swasta melalui pendanaan Corporate Social Responsiblity (CSR)
  4. Skema pembiayaan melalui Anggaran Belanja Negara atau Daerah
  5. Masyarakat mandani.

[1]  Ruth Jackson (2006). The Role of Spatial Planning in Combating Climate Change. A paper for the Planning Research Network.
[2]  Ibid.
[3] Di olah dari data Akar Foundation, https://akar.or.id/adat/perkembangan-program-hutan-kemasyarakatan-hkm-di-bengkulu
[4] Proseding Report Reposisi Ruang Kelola Melalui Kebijakan Berlaku, Akar Foundation 2011
 
Dokumen Lengkap bisa di Download di Sini Hutan Kemasyarakatan Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan