Oleh Erwin Basrin (Direktur Eksekutif) Akar Global Inisiaitif

 

Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) merupakan instrumen penting dalam perlindungan hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan sumber daya alam. Namun, implementasinya di Indonesia masih sering bersifat formalistik, reduktif, dan tidak mengubah relasi kekuasaan antara negara, korporasi, dan masyarakat hukum adat. Tulisan singkat ini merupakan refeksi dan pembelajaran dari tiga kali pelaksanaan pelatihan dan penyusunan protocol FPIC yang dilaksanakan oleh Akar Global Inisiatif untuk masyarakat hukum adat di Enggano Bengkulu dan konferensi masyarakat hukum adat yang mengangkat tema khusus FPIC.

Saya berupaya membaca kembali konsep FPIC melalui lensa teori hukum kritis Roberto Mangabeira Unger dan Duncan Kennedy. Dengan mengunakan pendekatan sosio-legal, tulisan ini menegaskan bahwa FPIC tidak boleh dimaknai hanya sebagai prosedur administratif, melainkan sebagai praktik transformasi sosial dan politik. Melalui teori destabilization rights (Unger) dan legal indeterminacy (Kennedy), saya mengajukan kerangka FPIC sebagai proyek emansipasi hukum bagi masyarakat hukum adat, yang membuka ruang bagi rekayasa kelembagaan partisipatif dan kesadaran hukum dari bawah (bottom-up legal consciousness).

Dalam dua dekade terakhir, perdebatan mengenai Free, Prior and Informed Consent (FPIC) menempati posisi strategis dalam wacana hak masyarakat hukum adat dan tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Prinsip ini ditegaskan dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP, 2007) dan Konvensi ILO No. 169 (1989), serta diakui dalam beberapa kebijakan nasional. FPIC memuat empat unsur pokok yakni bebas, didahulukan, diinformasikan, dan disetujui. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Padiatapa singkatan dari Persetujuan Atas Dasar Informasi Sejak Awal Tanpa Paksaan yang menuntut partisipasi penuh masyarakat adat sebelum setiap proyek pembangunan dijalankan di wilayah mereka.

Dalam praktiknya, pelaksanaan FPIC di Indonesia masih jauh dari prinsip dasar tersebut. Di berbagai kasus, terutama pada sektor kehutanan, energi, dan perkebunan, persetujuan masyarakat hukum adat hanya bersifat formal dan simbolik. Mekanisme FPIC sering dijalankan untuk memenuhi syarat administratif investasi, bukan untuk memastikan kontrol substantif komunitas atas tanah dan sumber daya mereka.

Kondisi ini menunjukkan bahwa FPIC telah kehilangan daya transformasinya dan direduksi menjadi perangkat legal birokratik. Untuk memahami problem ini secara lebih mendalam, pendekatan hukum positif tidaklah cukup. Diperlukan cara pandang yang mengungkap bagaimana hukum beroperasi sebagai kekuasaan, bukan sekadar sistem normatif. Karena itu, teori hukum kritis, khususnya yang dikembangkan oleh Roberto Mangabeira Unger dan Duncan Kennedy, menjadi lensa penting untuk menganalisis FPIC secara struktural dan ideologis.

Melalui tulisan ini saya mengajukan argumen bahwa FPIC harus dipahami sebagai proyek politik dan sosial, bukan semata mekanisme hukum. Dengan membaca FPIC melalui teori destabilisasi Unger dan indeterminasi hukum Kennedy, tulisan ini menegaskan bahwa implementasi FPIC sejati hanya mungkin jika disertai transformasi kelembagaan dan kesadaran hukum masyarakat adat itu sendiri.

Hukum sebagai Imaginasi Sosial

Roberto Unger berangkat dari kritik terhadap hukum liberal yang dianggap mengekalkan relasi sosial kapitalistik. Dalam Law in Modern Society (1976) dan The Critical Legal Studies Movement (1983), ia mengemukakan konsep false necessity gagasan bahwa struktur hukum dan sosial dianggap tak dapat diubah. Padahal, bagi Unger, hukum adalah sarana empowerment through imagination, alat bagi manusia untuk menciptakan struktur sosial alternatif.

Unger juga memperkenalkan konsep destabilization rights, yakni hak untuk mengintervensi struktur kekuasaan yang menindas. Dalam konteks FPIC, ini berarti masyarakat hukum adat memiliki hak untuk menolak, menggugat, atau merevisi proyek pembangunan yang tidak sesuai dengan nilai kolektif dan keberlanjutan ekologis mereka. FPIC, harus membuka kemungkinan bagi pengakuan atas tata kelola adat yang berdaulat.

Indeterminasi dan Kesadaran Hukum

Duncan Kennedy, melalui karya Form and Substance in Private Law Adjudication (1976) dan Legal Education and the Reproduction of Hierarchy (1982), memperkenalkan konsep indeterminacy of law. Ia berpendapat bahwa hukum tidak memiliki makna Tunggal ia selalu terbuka bagi tafsir yang dipengaruhi ideologi dan kepentingan sosial.

FPIC adalah contoh nyata dari indeterminasi hukum, “persetujuan” dapat dimaknai sebagai partisipasi substantif, tetapi juga sekadar tanda hadir dalam rapat. Karena itu, yang menentukan arah FPIC bukanlah teks hukum itu sendiri, melainkan kekuasaan sosial yang menguasai tafsirnya.

Kennedy juga menyoroti pentingnya bottom-up legal consciousness kesadaran hukum yang lahir dari masyarakat. Dalam konteks FPIC, ini berarti masyarakat adat perlu membangun protokol adat FPIC mereka sendiri agar tafsir hukum tidak didominasi oleh negara dan korporasi.

Prinsip FPIC dalam hukum Indonesia masih dibatasi oleh paradigma pembangunanisme yang menempatkan masyarakat hukum adat sebagai objek pembangunan. Hukum dijalankan sebagai perangkat administratif, bukan alat perundingan kekuasaan. Kondisi ini selaras dengan analisis Unger bahwa hukum modern seringkali menjadi alat penataan sosial kapitalistik. Untuk menjadikan FPIC bermakna substantif, perlu ada rekonstruksi hukum sebagai arena sosial terbuka di mana masyarakat hukum adat dapat mengajukan tafsir dan kelembagaannya sendiri.

Dalam kerangka Unger, pelaksanaan FPIC yang sejati menuntut destabilisasi institusional. Ini tampak dalam praktik masyarakat Enggano yang mendorong Perda Pengakuan Masyarakat Adat Enggano, termasuk pengakuan wilayah laut sejauh 3 mil. Proses ini menunjukkan bahwa hukum adat mampu mengintervensi ruang hukum negara, menciptakan bentuk co-governance baru antara komunitas dan pemerintah. Demikian juga dengan masyarakat Merpas dan Linau yang menetapkan temporary closure (penutupan laut sementara) sebagai kebijakan ekologis berbasis adat. Ini adalah wujud nyata dari empowered democracy ala Unger, di mana masyarakat tidak hanya dilibatkan, tetapi berdaulat dalam pengambilan keputusan.

Indeterminasi FPIC: Siapa yang Berhak Menafsirkan “Persetujuan”?

Kennedy membantu kita memahami bahwa ambiguitas hukum FPIC bukan kelemahan, tetapi peluang. Ketidakpastian makna membuka ruang bagi tafsir alternatif dari komunitas adat. Dalam praktik Akar Global Inisiatif di lapangan, masyarakat Enggano, Lebong dan Merpas mulai menulis protokol FPIC versi mereka, siapa yang dianggap wakil sah, bagaimana konsensus dicapai, dan bagaimana perempuan dan pemuda terlibat.

Dengan cara ini, masyarakat hukum adat tidak lagi menunggu tafsir dari luar, melainkan memproduksi legal meaning mereka sendiri. FPIC menjadi ruang konfrontasi epistemologis antara hukum modern yang menuntut efisiensi, dan hukum adat yang menuntut keseimbangan ekologis serta moralitas kolektif.

Kennedy menegaskan bahwa pendidikan hukum modern cenderung mereproduksi hierarki sosial, menjauhkan hukum dari realitas rakyat. Proyek FPIC transformatif harus menumbuhkan kesadaran hukum rakyat, pemahaman bahwa hukum dapat dinegosiasikan dan dimiliki.

Inisiatif pendataan partisipatif, pelatihan hukum adat, dan dokumentasi pengetahuan lokal yang difasilitasi Akar Global Inisiatif adalah langkah konkret membangun legal consciousness. Kesadaran ini memungkinkan masyarakat hukum adat memahami hak, menuntut pengakuan, dan memproduksi narasi tandingan terhadap versi hukum negara.

FPIC sebagai Proyek Emansipasi Sosial

Dengan menggabungkan teori Unger dan Kennedy, FPIC dapat dilihat sebagai proyek emansipasi sosial. Dari Unger, FPIC memperoleh basis kelembagaan untuk membangun sistem hukum alternatif. Dari Kennedy, FPIC mendapat basis ideologis untuk menantang dominasi tafsir hukum negara. Keduanya menunjukkan bahwa perubahan hukum sejati tidak hanya terletak pada peraturan, tetapi pada distribusi kekuasaan dan kesadaran sosial.

Implementasi FPIC yang sejati harus mengandung tiga elemen utama; Pertama, Redistribusi kekuasaan dimana masyarakat hukum adat sebagai pengambil keputusan sejajar dengan negara dan korporasi. Kedua, Rekonstruksi institusi yaitu pengakuan lembaga adat sebagai co-decision maker. Ketiga, Revolusi kesadaran hukum yaitu pemahaman bahwa hukum adalah alat politik untuk melawan ketimpangan. FPIC sejati adalah hukum yang hidup dari bawah, bukan hukum yang diturunkan dari atas.

FPIC bagi masyarakat hukum adat di Indonesia bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan arena perjuangan politik, hukum, dan moral. Teori Roberto Mangabeira Unger mengajarkan bahwa hukum harus membuka kemungkinan baru bagi demokrasi yang berdaya, sedangkan Duncan Kennedy mengingatkan bahwa hukum adalah arena tafsir yang harus direbut kembali oleh rakyat. Karena itu, pelaksanaan FPIC harus bertransformasi dari model state-driven consent menuju community-led consent. Pendekatan ini menuntut reformasi hukum yang tidak hanya mengatur, tetapi juga memberdayakan. Hanya dengan cara itu FPIC dapat menjadi alat emansipasi bagi masyarakat hukum adat untuk menegakkan hak atas tanah, laut, dan masa depan ekologisnya.

 

Sumber Bacaan

  • Akar Global Inisiatif. (2025). Laporan Pemetaan Partisipatif dan FPIC Masyarakat Hukum Adat Enggano dan Merpas. Bengkulu: Akar Global Inisiatif-Forest Peoples Programm Publication.
  • Bellwood, P. (1997). Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. Honolulu: University of Hawai‘i Press.
  • ILO. (1989). Convention No. 169 on Indigenous and Tribal Peoples. Geneva: International Labour Organization.
  • Kennedy, D. (1976). Form and Substance in Private Law Adjudication. Harvard Law Review, 89(8), 1685–1778.
  • Kennedy, D. (1982). Legal Education and the Reproduction of Hierarchy. Journal of Legal Education, 32(4), 591–615.
  • Mangabeira Unger, R. (1976). Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory. New York: Free Press.
  • Mangabeira Unger, R. (1983). The Critical Legal Studies Movement. Harvard Law Review, 96(3), 561–675.
  • Mangabeira Unger, R. (1987). Plasticity into Power. Cambridge University Press.
  • Sikor, T., & Lund, C. (2009). Access and Property: A Question of Power and Authority. Development and Change, 40(1), 1–22.
  • UNDRIP. (2007). United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. United Nations.
  • Wignjosoebroto, S. (2002). Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: ELSAM.

 

Language

 - 
Arabic
 - 
ar
Bengali
 - 
bn
German
 - 
de
English
 - 
en
French
 - 
fr
Hindi
 - 
hi
Indonesian
 - 
id
Portuguese
 - 
pt
Russian
 - 
ru
Spanish
 - 
es

Sosial Media

Privacy Preference Center