Oleh : Erwin S Basrin
Secara umum kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena kawasan konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam yang ditujukan untuk mengusahakan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Keberadaan fungsi-fungsi keanekaragaman hayati tersebut sangatlah penting. Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat misalnya, di yakini sebagai paru-paru dunia yang memberikan kontribusi sangat besar dalam produksi oksigen. Bahkan pentingnya perlindungan kawasan konservasi telah menggugah masyarakat dunia untuk menyelamatkan kawasan-kawasan konservasi sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Site).
Peningkatan keterlibatan masyarakat untuk menjaga kawasan-kawasan konservasi sangat memungkinkan. Terdapat berbagai keuntungan dengan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam (termasuk kawasan konservasi) karena masyarakat secara nyata tinggal disekitar sumber daya alam tersebut.
Bahkan untuk kalangan masyarakat tertentu seperti masyarakat adat, hutan mengandung muatan religi dan kebudayaan. Tinggal bagaimana pengaturan dan jaminan akses masyarakat terhadap sumber daya alam dikembangkan.
Kondisi ini yang membuat dunia internasional untuk melihat dan membangun kembali cara pandang pengelolaan kawasan konservasi. Pada Bulan Januari 2011, di tengah Konferensi Komisi Lingkungan, Ekonomi dan Sosial Internasional Union for Conservation of Nature (IUCN) bertajuk ‘Sharing Power’, yang berlangsung di Whakatane, Selandia Baru, berlangsung sebuah pertemuan antara perwakilan masyarakat hukum adat dan sejumlah pimpinan IUCN dan Forest Peoples Programme.
Hasil utama dari pertemuan tersebut adalah kesepakatan untuk melaksanakan serangkaian langkah-langkah untuk meninjau pelaksanaan beberapa resolusi terkait dengan masyarakat hukum adat yang sudah diadopsi oleh Kongres Konservasi Dunia Ke Empat di Barcelona pada 2008. Resolusi-resolusi tersebut bersama dengan Durban Action Plan dan Program of Work on Protected Area dari Konvensi Kehati PBB umumnya dipandang sebagai sebuah paradigma baru pengembangan konservasi.
Paradigma baru ini ingin memastikan bahwa kegiatan-kegiatan dan pengembangan konservasi di dunia harus menghormati hak-hak masyarakat hukum adat, mencakup hak-hak yang tercantum dalam The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). IUCN kemudian merumuskan langkah-langkah penerapan dari konsep penghormatan hak-hak masyarakat hukum adat di kawasan konservasi tersebut bersama Forest Peoples Programme dan beberapa komisi IUCN.
1
Langkah-langkah penghormatan dan perlindungan masyarakat hukum adat di dalam kawasan konservasi itu kemudian dikenal sebagai MEKANISME WHAKATANE. Mekanisme Whakatane bertujuan mengidentifikasikan dan memperbaiki keadaan masyarakat adat yang pernah atau sedang menghadapi dampak negatif yang melanggar hak-hak mereka akibat dari keberadaan kawasan konservasi dan kegiatan-kegiatan konservasi di wilayah mereka.
Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu yang memiliki setidaknya 73 % dari luas wilayah administrasinya adalah kawasan Konservasi, seluas 111.305 Ha adalah Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan seluas 3,022,15 Ha adalah Kawasan Cagar Alam.
Dengan kondisi kawasan hutan yang sangat luas ini, Kabupaten Lebong mulai menguatkan dikursus tentang tantangan-tantangan pengelolaan kawasan konservasi dan masyarakat di sisi lainnya dan menggarisbawahi pentingnya berbagai inisiatif untuk meningkatkan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi.
Salah satunya dengan pelibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Karena pengelolaan kawasan konservasi haruslah menjamin adanya pembagian manfaat yang adil atas sumberdaya tersebut. Lebih spesifik lagi, pengelolaan konservasi merupakan proses mengembangkan kerjasama antar pihak yang relevan, terutama antara masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan kebijakan Perhutanan Sosial untuk mendekatkan masyarakat dengan hutan. Secara teknis Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) telah menerbitkan Perdirjen No.P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Kemitraan Konservasi ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka penguatan tata kelola dan fungsi kawasan konservasi dan kelestarian keanekagaraman hayati.
Kebijakan internasional memalui Mekanisme Whakatane ini sejalan dengan kebijakan kemitraan konservasi sebagai mana dalam kebijakan Perdirjen No. P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018. Dimana upaya konservasi membutuhkan perhatian dalam mengkaitkan kepentingan keanerakaragaman hayati dan kebudayaan yang memberi ruang bagi masyarakat lokal dan adat untuk secara aktif dan terberdayakan selama kolaborasi berlangsung.
Peraturan Daerah Kabupaten Lebong No 4 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Rejang di Kabupaten Lebong adalah bentuk dukungan kongkrit Pemerintahan Daerah dalam menguatkan posisi masyarakat adat terhadap pengelolan kawasan hutan.
Kebijakan ini tentu saja mengacu pada keputusan MK 35 tahun 2012 dimana upaya pengelolaan hutan membutuhkan perhatian dalam prinsip kesetaraan dan keadilan, baik pembagian biaya dan manfaat yang diterima baik dalam perlindungan keanekaragaman hayati, pengelolaan sumberdaya alam maupun pemanfaatannya.
Upaya ini menuntut penghormatan terhadap hak-hak social ekonomi masyarakat dikedepankan agar tidak memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan social-ekonomi masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar kawasan. Apabila memungkinkan, diupayakan insiatif konservasi untuk memberi dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Atas dasar kebutuhan tersebut, Bahtera Alam dan Akar Foundation bekerja sama dengan Forest People Programme (FPP) bersepakat untuk membangun model pengelolaan kawasan konservasi melalui Mekanisme Whakatane di Indonesia dengan memilih 4 (empat) desa (Sungai Lisai, Sebelat Ulu, Talang Donok dan Talang Donok I) Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu.
Inisiatif ini menekankan pelibatan masyarakat dengan pendekatan pemberdayaan menjadi penting mengingat masyarakat sudah tinggal di sekitar atau di dalam kawasan konservasi sebelum kawasan tersebut ditetapkan. Karenanya menegasikan keberadaan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat tidak mungkin mengingat interaksi, pemahaman dan ketergantungan masyarakat terhadap kawasan cukup tinggi.
Masyarakat adalah asset yang eksistensinya dapat mendukung terwujudnya pengelolaan kawasan yang efektif. Ruang kerjasama pengelolaan kawasan konservasi yang telah diberikan Negara selayaknya menjadi landasan dalam membangun kemitraan antar pihak yang sejajar dalam kerangka pengelolaan, kawasan konservasi yang lestari dan mensejahterkan masyarakat.