Oleh: Pramasti Ayu Kusdinar 

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada tanggal 6 Mei 2024 di Hotel Two K Azana Bengkulu, Akar Global Inisiatif menandatangani MoU dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bengkulu dalam rangkaian kegiatan Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) BKKBN Provinsi Bengkulu. Sebagian orang yang telah lama mengikuti track record Akar, mungkin bertanya-tanya; kenapa Akar melakukan kerjasama dengan BKKBN ? apa korelasinya dengan kerja-kerja Akar ?  Dan hal-hal apa yang akan dikolaborasikan ? 

Kami di Akar yang selama satu dekade ini fokus pada ‘pengamanan’ ruang-ruang hidup masyarakat, baik yang di terestrial maupun yang di pesisir menemukan banyak fenomena yang kami sebut dengan post tragedy. Kiranya fenomena ini adalah kondisi yang muncul pasca masyarakat adat dan komunitas lokal mendapatkan kembali haknya atau akses legal terhadap ruang hidupnya pasca melalui banyak momentum konflik. Seperti yang selalu berulang-ulang kami sampaikan yakni fenomena hidden hunger atau kelaparan tersembunyi dan life in debt atau hidup dalam hutang yang bermuara pada menurunnya kualitas kesejahteraan lahir batin (wellbeing) masyarakat terkait.

Berdasarkan pendekatan kapabilitas Nussbaum (2011), berikut gambaran kondisi kapabilitas masyarakat adat dan komunitas lokal yang kami dampingi : 

  1. Hidup (life) → Hidup masyarakat di tepian hutan dan pesisir tereduksi oleh sistem pasar dan relasi sosial yang terikat oleh hutang dan termediasi oleh media sosial.
  2. Kesehatan (bodily health) → terdapat indikasi kurang gizi terhadap balita dan perempuan
  3. Integritas Tubuh (bodily integrity) → memiliki keterbatasan untuk mengakses sebagian besar ruang hidupnya karena masuk dalam kawasan hutan/laut milik negara. Atau dalam konteks pesisir, masyarakat hanya boleh mengakses 12 mil laut dari bibir pantai. Sementara dalam konteks terestrial, khususnya tepian hutan, masyarakat harus memiliki akses legal untuk memanfaatkan hasil hutannya meskipun hutan tersebut merupakan hutan adat.
  4. Indra, imajinasi dan pikiran (sense, imagination and thought) → meskipun sebagian besar masyarakat desa dapat mengoperasionalkan indra, imajinasi dan pikirannya, namun mereka belum bisa keluar dari kondisi yang kurang menguntungkan seperti relasi patronasenya dengan para tengkulak. 
  5. Emosi (emotions) → sebagian besar masyarakat yang kami dampingi memiliki pengalaman atau latar belakang konflik agraria. Sehingga membuat mereka merasa takut dan memiliki trauma bahkan stereotype.
  6. Nalar Praktis (Practical Reason) → sebagian besar masyarakat hanya ingin mencapai tujuan seefektif mungkin tanpa mempedulikan apakah tujuan yang akan dicapai tersebut baik atau buruk
  7. Afiliasi (Affiliations) → masyarakat sebagai subjek, tidak memiliki afiliasi yang struktural dan mutual, bentuk afiliasinya selalu menempatkan masyarakat pada posisi yang kalah
  8. Spesies lain (Other Species) → relasi dengan spesies lainnya sebagai subjek dan objek transaksional, yakni antara profesi (petani atau nelayan) dengan komoditasnya.
  9. Bermain (Play) → rekreasi sosial media
  10. Kendali atas lingkungan seseorang (Control over one’s environment) → secara politik, dapat berpartisipasi secara aktif terhadap pilihan politik, kebebasan berpendapat dan berasosiasi. Namun secara material, untuk masyarakat di tepian hutan dan di tepian pesisir tidak memiliki hak kepemilikan terhadap properti. 

Berangkat dari kondisi inilah kami mulai memprioritaskan pekerjaan pendampingan kami dengan pendekatan kapabilitas Nussbaum. Kami merasa pangkal perubahan sosial dapat terjadi adalah dari dalam diri manusia itu sendiri; yakni kesadaran akan terjadinya penindasan/penderitaan terhadap dirinya atau orang lain dan kesadaraan untuk bertindak atau bangkit dari kondisi tersebut. Ini merupakan salah satu hal yang kami pelajari dari proses pendampingan kami kepada kelompok perempuan. Akan sulit meningkatkan kapasitas perempuan agar paham tentang gender tanpa memastikan bahwa perempuan tahu tentang konsep dan masalah gender yang berpusat pada diri mereka sendiri. Sehingga proses advokasi yang kami lakukan berangkat dari hal-hal yang sangat fundamental, sebagaimana 10 kapabilitas utama Nussbaum. Misalnya meningkatkan kepercayaan diri perempuan atau to be able to speak for themselves, tidak menganut sistem perwakilan. Perempuan harus berani bicara atas kehendak dan kepentingan dirinya sendiri. Kemudian mendorong perempuan untuk menjadi influencer (do not wait to become a decider).  

Bersama BKKBN Provinsi Bengkulu, kami memiliki irisan isu dan kepentingan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat di pedesaan baik yang di pesisir maupun yang berada di tepian hutan untuk mencapai beberapa poin kapabilitas tersebut; yakni hidup (life), Kesehatan (bodily health), Integritas Tubuh (bodily integrity), Indra, imajinasi dan pikiran (sense, imagination and thought), Emosi (emotions) dan Nalar Praktis (Practical Reason). Ke enam poin ini menjadi pijakan awal untuk mereduksi letupan fenomena hidden hunger di tingkat masyarakat.  

Karena sebagian besar masyarakat yang kami dampingi telah memiliki akses legal terhadap ruang hidupnya, maka kami mencoba mengintegrasikan pendekatan kapabilitas Nussbaum tersebut dengan konsep agroekologi untuk menjawab krisis yang melanda petani dan nelayan kecil yakni krisis iklim dan krisis ekonomi. Agroekologi menurut FAO adalah …”a holistic and integrated approach that simultaneously applies ecological and social concepts and principles to the design and management of sustainable agriculture and food systems. It seeks to optimize the interactions between plants, animals, humans and the environment while also addressing the need for socially equitable food systems within which people can exercise choice over what they eat and how and where it is produced. Agroecology is concurrently a science, a set of practices and a social movement and has evolved as a concept over recent decades to expand in scope from a focus on fields and farms to encompass the entirety of agriculture and food systems. It now represents a transdisciplinary field that includes the ecological, socio-cultural, technological, economic and political dimensions of food systems, from production to consumption…”. Sederhananya kami menganggap bahwa agroekologi ini sebagai gerakan sosial untuk memulihkan keseimbangan ekologi dan keadilan ekonomi pada sistem pangan.

Inti dari strategi agroekologi ini adalah pemahaman bahwa sistem pertanian harus menyerupai ekosistem lokal, dengan siklus nutrisi yang sehat dan keanekaragaman hayati yang optimal. Untuk mencapai tujuan ini, kami berupaya mendorong diversifikasi tanaman dan menentang penanaman tunggal (monokultur), penggunaan pestisida dan pupuk kimia, peternakan intensif, dan praktik ekstraktif yang mempercepat degradasi lingkungan. Karena gejala kompleksitas 6 poin wellbeing yang kami sebutkan di atas berasal dari apa yang kita input kedalam tubuh kita atau apa yang kita makan. Sebab kita adalah apa yang kita makan, atau istilahnya We Are What We Eat. Sehingga kita perlu betul-betul memastikan bahwa apa yang kita makan dan bagaimana kita menyediakan serta mengelola sumber makanan tersebut baik dan tepat untuk kebutuhan gizi tubuh kita. 

Namun ide-ide jalan keluar yang kami tawarkan diatas tentu merupakan sebuah konsep ideal; yakni bagaimana seharusnya hal itu menjadi (what should it be). Perombakan atau reformasi sistem pangan, perubahan corak produksi dan pola konsumsi yang dicita-citakan tersebut kontraproduktif dengan proses deagrarianisasi di kalangan nelayan kecil dan petani. Yakni sebuah proses pergeseran struktur dan relasi sosial masyarakat agraris menjadi non-agraris. Ketika kami berpikir bahwa jawaban dari masalah menurunnya kapabilitas masyarakat adalah kembali ke pendekatan agroekologi, masyarakat di desa mulai berbondong-bondong meninggalkan pola subsistensi mereka dan menggantinya dengan aktivitas yang cenderung hanya menghasilkan uang atau monetisasi (monetized). Beberapa faktor penyebab deagrarianisasi ini adalah pertumbuhan ekonomi, industrialisasi dan urbanisasi yang telah mendorong secara besar-besaran konversi lahan pertanian untuk kepentingan komersial, industri, perumahan, pariwisata dan infrastruktur serta tujuan konservasi lingkungan. Dan faktor-faktor ini menurut Derek, Philip Hirsch dan Tania Murray Li disebut sebagai Eksklusi atau penyingkiran yang tidak terjadi secara acak, melainkan di strukturasi oleh relasi kekuasaan atau atas nama orang yang berkuasa. 

Hal ini menjadi tantangan bagi kami karena kapabilitas berangkat dari individu, sementara individu sasaran memiliki orientasi yang melampaui kompleksitas yang ia dihadapi. Kemudian, relasi sosio agraria masyarakat di desa-desa yang kami dampingi juga sudah dimediasi oleh media sosial, mereka tidak lagi terjalin secara organik terhadap ruang hidup dan sesamanya. Padahal syarat untuk mencapai tujuan besar ini adalah adanya commoning care atau keperawatan bersama. 

Namun, bukan berarti hal ini tidak bisa dilakukan. Akar Global Inisiatif bersama beberapa kelompok perempuan yang kami dampingi telah melakukan upaya untuk menjaga  etik commoning care atau keperawatan bersama ini dengan membangun demplot-demplot pangan organik di desa. Menurut Dr. Ruth Indiah Rahayu, S.Ip, demplot pangan ini dapat menjahit ulang relasi sosio agraria antar masyarakat di desa dan merawat lagi memori serta pengetahuan masyarakat khususnya perempuan terkait praktik etik keperawatan bersama dalam kerja-kerja agraris. 

Pembangunan model-model demplot integratif inilah yang kami tawarkan kepada BKKBN untuk mendorong inovasi program penurunan stunting. Kami berharap program penurunan stunting dan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat tidak selalu berangkat dari program-program yang bersifat karitatif, melainkan kebutuhan substantif.