Oleh M.A Prihatno/Kepala Sekolah Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B)
Pada salah satu diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat adat di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu pada bulan September 2013 yang lalu. terdapat beberapa hal yang menarik untuk dicermati, salah satunya adalah ketika ditanya tentang pihak mana saja yang dianggap mampu membantu persoalan yang dialami masyarakat adat, dengan lancarnya mereka membeberkan pihak tersebut.
Pihak-pihak yang mereka sebut antara lain: eksekutif, legislatif, akademisi, LSM. lembaga agama, kepolisian. BPN. lembaga pendidikan dan lain-lain.  Namun, ketika ditanyakan apakah partai politik juga dapat diharapkan untuk membantu mereka, dengan spontan mereka menolak keterlibatan partai politik.
Hal ini menarik, karena dalam kuasa media massa, politisi (partai politik) berada pada posisi atas dalam porsi pemberitaan, Akibatnya, publik terbombardir oleh opini-opini yang bernuansa politik-kepartaian.  Seharusnnya dengan kekuatan media massa, opini yang terbentuk mampu membuat publik memiliki citra positif terhadap partai politik. Akan tetapi berkaca dari kejadian yang terjadi di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu tersebut, yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat tidak menganggap partai politik mampu membantu mereka, bahkan mereka menolak keterlibatan partai politik untuk terlibat dalam menyelesaikan masalah yang ada dilingkungannya.
Penolakan masyarakat adat di Kabupaten Lebong terhadap pelibatan partai politik dalam kehidupannya menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Sementara itu, para politisi sibuk “menjual” rakyat sebagai komoditas komunikasi politiknya. Nada-nada keberpihakan kepada rakyat memenuhi setiap “dinding kronologi” partai politik. Mereka mengasumsikan bahwa dengan penuhnya “dinding kronologi” dengan suara rakyat akan membuat masyarakat menempelkan aspirasinya.
Partai Politik seharusnya menyadari bahwa urusan untuk mendapatkan simpati dari rakyat, bukanlah dengan memenuhi “dinding kronologi”, akan tetapi dengan memasuki relung-relung terdalam dari “perasaan” masyarakat. Untuk memasuki wilayah rasa tersebut bukanlah dengan menggunakan kekuatan logika, uang, kekuasaan, bujuk rayu, apalagi tipu daya. Anggapan bahwa logika, uang, kekuasaan dan bujuk rayu mampu menumbuhkan rasa simpati tertolak dengan peristiwa yang terjadi pada diskusi publik dengan masyarakat adat di Kabupaten Lebong.
Suara penolakan rakyat terhadap partai politik tidak boleh dianggap sebagai hal yang remeh-temeh. Hal ini merupakan agenda penting, serius dan mendesak untuk segera dicari solusinya, karena partai politik merupakan instrumen terpenting dalam piranti demokrasi modern.
Dalam sistem demokrasi modern, wacana terpenting yang mesti diperhatikan adalah bagaimana “menangkap” perasaan masyarakat kemudian memformulasinya dalam konsep=kensep kemasyarakatan dan mampu menterjemahkannya dalam tataran praksis. Selagi partai politik hanya bergerak di wilayah jargon semata maka hal itu berarti menunggu saat-saat kematian partai politik. Dan. akhirnya partai politik akan dianggap oleh masyarakat sebagai “sampah demokrasi”.