Transisi Agraria melalui jalan konversi lahan pertanian ke lahan nonproduktif banyak dipengaruhi baik langsung maupun tidak oleh faktor perubahan sturuktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, implementasi rencana tata ruang untuk pembangunan dan pertumbuhan pemukiman. Modernisme dan kapitalisme selalu bersanding dan menjadi penyebab utama lajunya konversi lahan. Pada titik ini perubahan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri adalah output dari kerja-kerja modernisme dan kapitalisme. Ujungnya, secara masif menjadikan prilaku agroindustri dan agribisnis berkembang kearah eksploitasi.

 

Dalam proses akumulasi kapital, kaum kapitalis menciptakan suatu sistem yang mereproduksi diri menjadi reproduksi kapital dalam skala yang makin meningkat dan meluas. Kondisi ini dapat dilihat dari, antara hubungan secara vertical pelaku agribisnis menjadi asimetris dimana tiadanya asosiasi para pelaku agribisnis ditingkat hulu (petani), sementara asosiasi pelaku agribisnis ditingkat hilir yaitu industri pengelolaan, perdagangan dan eksportir sangat kuat. Asosiasi kartel monopolistik di tingkat hilir cenderung menjerat, menekan dan merugikan pelaku tingkat hulu. Merugikan petani sebagai produsen komoditas pertanian dan konsumen input dari alat-alat pertanian.

 

Kemajuan yang dibawa modernisme dan kapitalisme dalam isu lahan yang di dalamnya ada sistem pertanian dapat di lacak melalui proses revolusi hijau sebagai jalan modernisasi sistem dan budaya pertanian. Indonesia memulai revolusi hijau dengan sangat baik di tahun 1970-an-1980-an yang diklaim mengantarkan Indonesia berhasil menjadi negara swasembada beras terbesar dunia pada tahun 1984. Dalam waktu yang cukup lama, program Revolusi Hijau juga telah berhasil mengubah kebiasaan dan sikap para petani Indonesia yang awalnya menggunakan sistem bertani secara tradisional menjadi sistem bertani modern dimana para petani mulai menggunakan teknologi-teknologi pertanian yang ditawarkan oleh program Revolusi Hijau.

 

Revolusi hijau dengan beberapa program paketnya melakukan praktek-praktek pertanian yang mengkonversi lahan, menjadi kontributor utama terjadinya perubahan sosial, perubahan pola budaya dan struktur sosial. Perubahan pola budaya tampak pada perubahan nilai tradisional, yang sifatnya penuh corak komunal, bertumpu pada agraris dengan komoditi yang heterogen, kuatnya sistem kekeluargaan dan solidaritas serta shame culture (budaya malu) sebagai system pengawas sosial.

 

Van Vollenhoven menggambarkan masyarakat petani sebagai masyarakat desa yang dilatarbelakangi kesatuan agroekosistem (alam/geografi) dan kebudayaan. Kesatuan lingkungan geografisnya terutama terkait dengan penguasaan dan pengusahaan sumberdaya lahan. Sedangkan kesatuan kebudayaan (kultural) meliputi berbagai aturan-aturan sosial yang berlaku dalam masyarakat petani tersebut. Berbagai aturan tersebut antara lain meliputi aturan adat, penduduk asli, tanah, lahan garapan, hubungan kekeluargaan, dan kehidupan ekonomi masyarakat (rakyat) desanya.

 

Revolusi hijau dengan konversi lahan dan ekstensifikasi perlahan merubah petani sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan menjadi masyarakat yang tidak tradisional, tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan antara suku-bangsa tradisional komunal (tribe) dan masyarakat industry yang terbentuk sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa dihapus begitu saja. Dalam perjalanan sejarah, kaum petani pedesaan (peasantry) memiliki arti penting karena di atas puing-puing merekalah masyarakat industri dibangun. Sayangnya sampai saat ini mereka tetap menjadi dan mendiami bagian “yang terbelakang”.

 

Dalam system perekonomian petani pedesaan, unsur-unsur biaya produksi tidak dapat diperbandingkan dengan dengan perekonomian kapitalis. Oleh karena itu, cara penghitungan laba tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada perekonomian petani. Masalah petani adalah fakta yang menarik, sebab mencari keseimbangan antara tuntutan dunia luar dan kebutuhan petani akan berlangsung selamanya, dimana hasil yang mereka peroleh adalah dari seluruh tahun kerja, bukan dari hari kerja (unit kerja).

 

Pada titik ini kapitalisme hadir seringkali membawa dampak yang menimbulkan kontradiksi antar-berbagai elemen yang terlibat di dalamnya, termasuk elemen sosial, budaya dan system ekonomi petani pedesaan. Dampak tersebut terjadi ketika dalam proses operasional sistem kapitalisme tersebut didahului oleh sikap-sikap antagonistik, sehingga rawan berpotensi konflik baik dalam konteks masyarakat industrial-teknologis maupun tradisional-agraris.

 

Proses opersional kapitalisme melalui transisi agraria atau alih fungsi lahan tumbuh dan berkembang karena orientasi yang menekankan pada pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Orientasi kaum kapitalis dalam mengejar keuntungan itu pada dasarnya mendorong terjadinya penyerobotan surplus value yang mestinya menjadi hak para petani kecil pedesaan sebagai produsen. Melalui penyerobotan surplus value oleh kekuatan kapitalis ini terjadi akumulasi kapital dan berlanjut pada terbangunnya jaringan sistem kapitalisme yang semakin meluas menembus batas ruang dan waktu.

 

Dari eksplorasi study kasus transisi dan konversi lahan di Bengkulu yang dilakukan oleh Akar Foundation, hipotesisnya menjelaskan sebuah argumen logika kapital di dalam masyarakat-masyarakat agraria. Hipotesis dan argumen pentingnya menyatakan; pertama, dampak transformasi kapitalisme dalam transisi lahan, adalah bahwa kelas petani akan terdiferensiasi sepanjang garis kelas. Kedua, perkembangan kapitalisme di sektor pertanian, seperti halnya di dalam industri, akan menghasilkan dua pola kelas yang saling bertentangan, yakni kelas borjuasi pedesaan dan kelas proletar pertanian. Ketiga, Ketika sistem kapitalisme tetap dipertahankan dengan tetap mengeksploitasi agraria untuk kepentingan akumulasi modal, pada gilirannya akan mendorong munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi pihak luar atau investor.

 

Perkembangan karakter konflik antara kepentingan-kepentingan kelas petani di daerah pedesaan dan kepentingan-kepentingan kelas industrial dari luar desa itulah yang menyebabkan timbulnya kontroversi mengenai tata cara pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan dan percepatan pertumbuhan ekonomi akhir-akhir ini. Kontroversi ini semakin menguat Ketika “Petani-petani” pemilik tanah luas menguasai struktur-struktur kekuasaan pada tingkat desa dan memiliki akses pada patronase negara, baik di dalam maupun di luar sektor pertanian.

 

Segala kemungkinan yang terjadi dan dalam kondisi sosial di mana pun tidak akan lepas dari faktor kepentingan terutama dalam hal penguasaan. Dan, “Petani-petani” pemilik tanah luas menyadari betul bahwa kekuasaan politik sebagai kekuatan dalam mengendalikan masyarakat, memiliki faktor penting dalam berjalannya proses sosial.

 

Masyarakat petani pedesaan (peasantry) selanjutnya jadi semakin tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis; dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata. Artinya, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Implikasi lain adalah memudarnya keterjaminan sumber nafkah bagi kaum tani yang selama ini eksis dan hidup di pedesaan akibat memudarnya sistem ekonomi moral yang sebenarnya; dimana etika subsistensi yang berakar dalam kebiasaan ekonomi dan pertukaran sosial tidak dapat difungsikan dalam era pembangunan modern.