Setiap sore, sungai batang Muar yang jalannya melalui Desa Air Merah yang dulunya difungsikan sebagai jalur transportasi oleh warganya selalu ramai oleh masyarakat yang berada di Kecamatan Malin Deman. Sebagai sisa pemanfaatan jalur transportasi masih tersisa, sungai masih dimanfaatkan oleh warga sebagai jalur transportasi ke lahan-lahan dan angkut masyarakat yang bekerja atau buruh perkebunan yang terdapat di sekitar desa. Selain sebagai jalur transportasi, di sepanjang aliran sungai Batang Muar terdapat hamparan rerumputan yang fungsinya sebagai lahan penggembalaan kerbau. Setiap sore para pemilik kerbau secara rutin memberikan air garam untuk ternak-ternak mereka.  Hewan atau ternak kerbau telah lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Malin Deman. Kerbau bukan hanya sekadar hewan ternak, melainkan juga simbol kekuatan, ketahanan, dan warisan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.   

Sejarah wilayah penggembalaan kerbau, se-tua sejarah Sengail sebuah perkampungan tua berupa semenanjung sungai tempat mengail ikan sebelum menyebar dan membentuk kelompok-kelompok pemukiman yang kemudian hari ini dikenal dengan Desa Serami Baru, Talang Arah, Lubuk Talang dan orang luar menyebutnya dengan Malin Deman satu wilayah adat yang didiami oleh kesatuan masyarakat genealogis keturunan dari Malin Deman dan mengintegrasikan dirinya kedalam suku Pekal. 

Pada tahun 2005 wilayah adat MAlin Deman mengintegrasikan dirinya ke dalam wilayah administratif Kabupaten Mukomuko dan menjadi Kecamatan Malin Deman berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Mukomuko Nomor 8 Tahun 2005, dimekarkan dari Kecamatan Ipuh. Dengan wilayah yang terbentang dari wilayah Ketahun sampai Mukomuko, masyarakat Malin Deman memanfaatkan wilayah adatnya untuk kelangsungan kehidupan warganya. Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani sawah dan kebun secara subsisten sebelum invasi perkebunan kelapa sawit masuk di tahun 1980-an. 

Di jantung wilayah Malin Deman, di Desa Talang Arah terdapat lahan pengembaan kerbau yang bukan hanya sekadar padang rumput, melainkan sebuah ekosistem hidup yang menyokong kehidupan dan budaya masyarakat Malin Deman. Lahan yang berada di sepanjang aliran sungai batang Muar telah lama menjadi saksi bisu dari perjalanan sejarah dan kearifan tradisional, di mana kerbau, sebagai simbol kekuatan dan ketahanan, dijaga dan dipelihara oleh para peternak tradisional. Kerbau-kerbau milik mereka dibiarkan lepas menyebar di wilayah Malin Deman tetapi dijaga secara kolektif. Bagi masyarakat Malin Deman lahan dan kerbau bukan sekadar simbol kehidupan, kekuatan, tetapi keseimbangan dalam sistem budaya, tetapi juga terkait erat dengan konsep relasi tenurial, yakni hubungan kepemilikan dan pengelolaan lahan yang diwariskan secara turun-temurun dalam komunitas sebagai identitas spiritual, psikologis, dan budaya. Praktek penggembalaan kerbau yang dilakukan oleh masyarakat Malin Deman penyisipan sisa-sisa leluhur, memperkuat signifikansi tanah sebagai reservoir memori dan identitas kolektif.

Relasi tenurial berbasis penggembalaan dan kerbau di Malin Deman menggambarkan hubungan yang mendalam antara masyarakatnya dan tanah yang dikelola secara turun-temurun. Dalam konteks ini, dimana tanah tanah sebagai lahan penggembalaan bukan hanya aset ekonomi semata, melainkan juga bagian dari identitas, budaya, dan warisan leluhur yang terus hidup dalam praktik sehari-hari komunitas. Sistem kepemilikan dan pengelolaan lahan penggembalaan kemudian berkembang seiring waktu melalui norma adat yang unik. Proses ini melibatkan kesepakatan mengenai batas-batas wilayah penggembalaan, penggunaan, serta tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara lahan penggembalaan serta memastikan bahwa setiap anggota komunitas memiliki akses dan peran dalam pengelolaan sumber daya alam yang adil, yang pada gilirannya menciptakan rasa kepemilikan dan kedaulatan atas lahan atau tanah tersebut.

Hubungan yang terjalin bukan hanya berdimensi material, tetapi juga menyentuh aspek spiritual dan budaya, wilayah penggembalaan dianggap sebagai “roh” yang menyatukan manusia dengan alam, tempat di mana leluhur dan cerita tradisional hidup. Melalui ritual, cerita, dan praktik adat, nilai-nilai ini terus dikuatkan, menjadikan tanah sebagai lahan penggembalaan sebagai sumber kehidupan dan identitas yang tidak terpisahkan dari komunitas itu sendiri. Pelaksanaan adat sebagai instrumen pengelolaan wilayah penggembalaan dan kerbau, baik di tingkat keluarga maupun masyarakat merupakan tanggungjawab bersama dibawah pimpinan kepala kaum ataupun perut. Setiap acara dimana kerbau dipotong, kepala kaum mendapatkan bagian kepala kerbau sebagai bakti kepada adat. Mereka memiliki ungkapan adat “kapuang sati ratau batuah” yang bermakna posisi penting dan strategis. Secara implisit, ungkapan ”kapuang sati” bermakna bahwa wilayah adat memiliki keunikan serta kekuatan yang bersifat alamiah dan kolektivitas dalam menjaga serta memelihara diri dari berbagai akibat buruk yang datang dari luar.

Lahan penggembalaan kerbau di Malin Deman memancarkan harmoni antara alam dan kehidupan warganya. Di balik aktivitas penggembalaan, terdapat upaya penjagaan kolektivitas, keberlanjutan lingkungan yang berdampak pada ketahanan pangan dan ekosistem setempat melalui sistem penggembalaan yang mereka praktekkan dengan berbagi lahan secara komunal. Padang rumput bukan hanya menjadi tempat penghidupan ternak, tetapi juga simbol kebersamaan, di mana aturan adat mengatur kapan dan bagaimana ternak dapat digembalakan tanpa merusak lingkungan. Sistem ini memungkinkan regenerasi rumput alami, mencegah degradasi lahan, serta memastikan keberlanjutan pakan ternak dalam jangka panjang.

Dari perspektif ekologi, penggembalaan yang dikelola dengan baik membantu mencegah kebakaran lahan, mengurangi invasi tanaman liar, dan mendukung keanekaragaman hayati. Hewan ternak berkontribusi pada penyebaran benih tanaman serta menjaga keseimbangan populasi serangga dan mikroorganisme dalam tanah. Praktek lama yang dikembangkan oleh masyarakat Malin Deman mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, tanah, dan alam.

Kerbau, sebagai aset produktif, menjadi bagian integral dalam sistem ini. Kepemilikan kerbau pun sering menjadi simbol status dan modal ekonomi yang mendukung keberlangsungan sistem tenurial. Dan, kerbau juga menjadi indikator kesejahteraan, karena jumlah dan kualitas kerbau mencerminkan kemampuan keluarga untuk mengelola dan memanfaatkan lahan secara optimal. Secara sosial, sistem kepemilikan dan pemeliharaan kerbau sering kali berbasis kolektif. Masyarakat Malin Deman memiliki tradisi gotong royong dalam mengelola ternak, di mana kelompok-kelompok masyarakat berbagi tanggung jawab dalam menggembalakan dan merawat hewan-hewan ini. Model pengelolaan bersama ini memperkuat solidaritas sosial dan menjamin pemerataan akses terhadap sumber daya alam, termasuk padang penggembalaan dan air.

Sistem pengelolaan kolektif ini menciptakan ikatan sosial yang kuat antar anggota komunitas. Selain menjaga ekonomi berbasis pertanian dan peternakan tetap berjalan, praktik ini juga mencegah kesenjangan sosial karena semua orang mendapatkan akses terhadap sumber daya yang sama. Sistem kepemilikan dan pemeliharaan kerbau yang berbasis kolektif telah lama menjadi pilar utama dalam menjaga keseimbangan sosial, ekonomi, dan ekologi di Malin Deman. Namun, perubahan sosial dan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat lokal dapat mengancam keberlanjutan sistem ini.

Perubahan ekonomi akibat invasi taman industri kelapa sawit di Malin Deman dan kebijakan pertanahan mulai menggeser pola kepemilikan dan pengelolaan kerbau dalam sistem tenurial. Privatisasi lahan, alih fungsi padang penggembalaan menjadi kawasan perkebunan, serta meningkatnya biaya pemeliharaan ternak telah membuat populasi kerbau menurun. Bagi banyak keluarga, tekanan ekonomi mendorong mereka untuk menjual kerbau sebagai sumber dana cepat, yang dalam jangka panjang dapat melemahkan struktur sosial-ekonomi komunitas.