Kabupaten Mukomuko secara fisik berada di wilayah Utara Bengkulu dan berada di sepanjang garis pantai Barat Bengkulu dan sebagian wilayahnya berada di deretan bukit barisan yang terbentang dari aceh hingga lampung, kondisi ini membuat Kabupaten Mukomuko memiliki hutan hujan tropis (tropical rain forest) terbaik di Sumatera dengan tingkat kekayaan hayati (flora dan fauna) yang cukup tinggi, dan merupakan salah satu habitat terakhir bagi hewan mamalia besar Harimau Sumatera (Panthera tigris, sumatraensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan lain-lain.

Sebagai jenis mamalia besar yang dalam rantai makanan menduduki posisi top carnivor (pemakan daging utama), hewan ini sangat tergantung dengan rantai makanan (ekologis chain) dalam ekosistemnya, rusaknya habitat Harimau Sumatera (Panthera tigris, sumatraensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Kabupaten Mukomuko akibat konversi lahan untuk perkebunan dan aktivitas pembukaan lahan secara langsung merusak keseimbangan ekologis di dalam habitatnya.

Dengan rusaknya keseimbangan ekologis dan rantai makanan di dalam habitatnya maka akan mengganggu prilaku alaminya (natural behaviour).  Adalah sebuah konsekuensi logis ketika prilaku alami ini berubah menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar hutan, karena melalui mekanisme alami harimau akan mencari sumber makanan baru yang telah hilang dari habitat alaminya.

Hilangnya dan fragmentasi habitat saat ini akibat ekspansi perkebunan merupakan ancaman paling serius bagi hidupan liar di seluruh dunia, sehingga menjadi sangat penting untuk memahami bagaimana pola dan perubahan-perubahan yang terjadi pada bentang alam serta tanggapan satwa terhadap modifikasi alam ini (Blumstein & Fernandez-Juricic 2004; Collinge 2001). Proses spasial yang heterogen berpengaruh langsung terhadap system ekologi. Pengaturan spasial individu-individu dalam populasi akan merefleksikan aspek-aspek tingkah laku dan ekologinya, dan ini penting dalam menentukan keberadaan populasi dan lairan gen di dalam dan antar sub populasi).

Sehingga, dinamika populasi satwa tidak hanya tergantung pada laju kelahiran dan kematian semata, tapi juga terhadap kemampuan satwa untuk bergerak masuk atau keluar populasi. Menentukan jumlah individu yang terdapat di suatu wilayah adalah merupakan pertanyaan paling mendasar dalam ekologi, tapi lebih penting lagi untuk dapat memahami bagaimana satwa memberikan respon terhadap perubahan kondisi bentang alam, terlepas ini berada pada tingkat individu, populasi, atau pun komunitas (Lawson et al. 2006).

Di Propinsi Bengkulu dan Kabupaten Mukomuko, dampak dari kebijakan otonomi daerah adalah factor yang terpenting yang sangat mempengaruhi perubahan bentangan georafis dan ancaman utama ekologis, kebijakan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang malakukan ekploitasi di berbagai sector ini adalah pemicu utama  kerusakan ekologis suatu wilayah, masuknya PT. Agromuko ke dalam kawasan HPT di Desa Sido Mulya SP 2 Penarik yang luasnya berkisar 1.216 hektare adalah contoh salah satu kasus kebijakan daerah yang lebih mementingkan aspek ekonomi belaka dibanding kelestarian suatu kawasan dan kepentingan ekologis wilayah.

Di Bengkulu misalnya saat ini hanya terdapat dua kantong gajah yang tersisa, yaitu Kelompok PKG Seblat (HPT Lebong Kandis-Hutan Produksi Air Rami), dan Kelompok  Air Teramang. Sebelumnya pada tahun 1992 terdapat delapan kantong habitat gajah. Jumlah gajah liar yang ada di PKG Seblat saat ini diperkirakan sekitar 60-80 ekor. Selain itu juga teradapat 21 ekor gajah binaan dan terdapat flora dan satwa lainnya seperti tapir, harimau sumatera, beberapa jenis primata dan berbagai jenis burung. Populasi gajah Sumatera di Provinsi Bengkulu terus menurun. Jika data tahun 2001 menunjukkan populasi gajah Sumatera sebanyak 200 hingga 400 ekor, kini tinggal 100 ekor. Populasi saat ini tidak lebih dari 100 ekor, dalam kurun waktu 7 tahun kalau kita pakai data terkecil yang 200 ekor, nanti tahun 2014 gajah Sumatera akan punah, dan kalau kita pakai data 400 ekor, Gajah sumatera akan punah pada tahun 2011 seperti yang dilansir oleh beberapa media local dan nasional.

Dari kondisi ini kemudian terdapat tiga ciri utama dari blunder kebijakan (policy failure) di sektor kehutanan dan perkebunan yang berdampak pada perubahan bentang dan ancaman ekologis di Bengkulu. Pertama, kebijakan tersebut mendewakan sistem monokultur, misalnya baru-baru ini Pemerintahan Daerah Propinsi Bengkulu mencangkan 1 juta pohon sawit, dan program ini jelas mengingkari keanekaragaman hayati hutan Indonesia, memberikan harga yang rendah (undervalued) hasil-hasil hutan non kayu lainnya yang juga bernilai ekonomis, serta membahayakan fungsi hutan sebagai sumber pangan Indonesia.

Kedua, menggunakan pendekatan masif. Seiring dengan dibukanya kran investasi besar-besaran, maka pengelolaan hutan selalu ditekankan dengan skala masif. Akibatnya terjadi perubahan bentang alam besar-besaran dalam waktu sigkat, yang tidak memberikan kesempatan bagi lahan tersebut untuk memulihkan dirinya (self-recovery).

Ketiga, tidak berpihak kepada rakyat banyak. Ini ditandai dengan tidak adanya perlindungan dan penghargaan terhadap ekonomi rakyat yang berskala kecil. Rakyat tidak dapat lagi mengelola hasil hutan, seperti madu, damar ataupun getah, karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke areal Hutan Lindung, HPT ataupun perkebunan besar. Padahal mereka ada lebih dahulu dari para pengusaha tersebut. Dan hasil hutan non-ayu di atas telah ditebangi oleh para pengusaha, karena dianggap tidak bernilai ekonomis.

Akibat utama dari blunder kebijakan di atas adalah, kerusakan lingkungan seketika dan bersifat akumulatif seperti terjadinya banjir dan longsor. Rentan terhadap kebakaran hutan, dan untuk jangka waktu panjang merusak fungsi hutan sebagai lumbung makanan, obat-obatan dan penyerap karbon (carbon-sink) dunia yang diyakini sebagai salah satu penyebab terganggunya iklim di dunia.

Rusaknya tatanan sosial masyarakat yang hidupnya bergantung pada pengelolaan hutan. Ketika secara paksa dan mendadak mereka harus kehilangan akses terhadap sumber daya hutan, maka mereka dimiskinkan secara paksa. Keahlian yang mereka punyai dalam meramu dan mengelola sektor kehutanan menjadi tidak terpakai. Akibatnya mereka kehilangan mata pencahariannya dan kehilangan kemampuan untuk mengurus keluarganya. Secara kumulatif, kejadian di atas akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia di suatu region dan menghasilkan generasi yang bingung dan tidak mampu beradaptasi dengan suasana baru.

Terjadi pula pelanggaran hak asasi manusia dalam pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam adalah milik publik, yang seharusnya dikelola untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Ketika koncoisme dalam pengelolaan SDA terjadi, maka terjadi pula pengingkaran atas barang publik tersebut. Lebih jauh, setiap “penyelesaian” sengketa sumber daya alam selalu dibarengi intimidasi dan kekerasan oleh negara. Usaha menyelesaikan sengketa secara damai dan tanpa kekerasan belum pernah direspon dengan baik oleh pihak negara.

Dari proses ‘provokasi’ dan pengusaaan wilayah atas nama investasi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah, wilayah-wilayah konservasi dan kelola rakyat kemudian di alih fungsikan menjadi wilayah perkebunan swasta membuat masyarakat mulai mengakses wilayah-wilayah yang di lindungi karena kebutuhan ekonomis. Rusaknya hulu DAS Selagan dan Manjuta merupakan akibat buruk yang kemudian menyebabkan terjadinya bencana ekologis seperti banjir dan dominasinya species hama tertentu akibat rusaknya habitat ekologis.