Tahun 1982 dimulai dari laporan Mr. José Martínez Cobo berjumlah 21 Bab tentang Studi Masalah Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat (Study of the Problem of Discrimination Against Indigenous Populations). Laporan José Martínez Cobo berperan penting dalam membentuk fondasi intelektual dan advokasi yang melahirkan Konvensi ILO No. 107, yang kemudian berkembang menjadi Konvensi ILO No. 169 (1989) yang keduanya memiliki visi yang sama: pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat secara adil dan berdaulat. 

Akhirnya laporan José Martínez dan konvennan itu menginisiasi peristiwa penting Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada 13 September 2007 oleh Majelis Umum PBB. Hari itu selalu dikenang dunia sebagai Hari Deklarasi PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples/UNDRIP). Prosesnya berjalan sangat lambat di beberapa negara termasuk Indonesia karena kekhawatiran terhadap beberapa ketentuan inti dari rancangan deklarasi tersebut, yaitu hak menentukan nasib sendiri bagi masyarakat adat dan penguasaan sumber daya alam di atas tanah-tanah adat.

Pada tahun 1993 di Toraja, Sulawesi Selatan disepakati pembentukan sebuah wadah yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial. Indigenous Peoples dalam konteks Indonesia sebagai ‘Masyarakat Adat’. Penggunaan istilah ini merupakan bentuk perlawanan terhadap istilah yang dilekatkan kepada Masyarakat Adat dalam pemerintahan Orde Baru yang melecehkan, seperti ‘suku terasing’, ‘masyarakat perambah hutan’, ‘peladang liar’, ‘masyarakat primitif’, ‘penghambat pembangunan’. Pertemuan ini menegaskan bahwa Masyarakat Adat adalah sekelompok manusia bermartabat dan memiliki hak konstitusional.

Di tahun 2000 terjadi perubahan signifikan pasca-reformasi dalam bentuk amandemen kedua UUD 1945, khususnya Pasal 18B Ayat (2) yang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat. “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pasal ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi pengakuan masyarakat adat dalam kerangka konstitusional.

Pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang bersifat multidimensional. Kendala-kendala hukum dan kebijakan, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pemahaman hukum seringkali menghambat pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka. Untuk mengatasi kendala ini, diperlukan dekonstruksi yang lebih mendalam dalam sistem hukum dan kebijakan, peningkatan partisipasi politik masyarakat adat, serta kesadaran yang lebih luas tentang pentingnya keberagaman budaya dan hak-hak masyarakat adat.

Upaya pengakuan terhadap masyarakat adat harusnya mempertimbangkan kondisi faktual (what it is) yang saat ini dihadapi oleh masyarakat adat, atau harusnya tidak berangkat dari kondisi ideal (what it should be). Seharusnya, masyarakat adat lah yang menentukan bagaimana seharusnya mereka diakui. Untuk inilah konferensi Masyarakat Hukum Adat ini dilakukan; yakni mencari format dan skema perlindungan efektif, adil dan komprehensif yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berfokus pada hak asasi manusia serta penghormatan terhadap kedaulatan masyarakat adat.

 

Read the full report in Laporan Konferensi Internasional Masyarakat Hukum Adat