Senin, 28 Maret 2022 lalu, Akar Law Office (ALO) melakukan konferensi pers di Kantor Akar Foundation terkait “Perampasan Ruang Hidup; 17 Tahun Masyarakat Malin Deman dalam Pusaran Konflik Agraria.” Konferensi pers yang dihadiri oleh 13 media lokal ini bertujuan untuk mendiseminasi analisis hukum kasus pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (PPPBS) dan Masyarakat Malin Deman akibat konflik dengan perusahaan perkebunan Daria Dharma Pratama (PT DDP).

ALO sebagai kuasa hukum PPPBS menerima kuasa dari perwakilan anggota petani PPPBS pada tanggal 20 Maret 2022 untuk melakukan upaya pendampingan hukum melalui jalur litigasi dan nonlitigasi. 

“Upaya di jalur litigasi dilakukan dengan mempersiapkan gugatan keputusan tata usaha negara (KTUN) terhadap SK HGU PT BBS. Sementara di jalur non litigasi ALO mendorong proses mitigasi hukum untuk anggota PPPBS dan masyarakat Malin Deman yang bertujuan untuk mereduksi jumlah korban yang dikriminalisasi, identifikasi bentuk-bentuk pelanggaran HAM, pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) atas kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat terhadap anggota PPPBS dan pengaduan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan (PROPAM) Polda Bengkulu atas tindakan penangkapan dan pemeriksaan aparat yang sewenang-wenang, cacat prosedural dan formal.” Jelas Zelig (25 Th), Direktur ALO.

Kemudian Lobian Anggrianto (27 Th), Sekjen PPPBS  juga menjelaskan bahwa konflik antara masyarakat Malin Deman dengan PT. BBS ini sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak tahun 2005. Penyebab konflik yang terjadi akibat tidak adanya proses ganti rugi lahan yang jelas dilakukan oleh pihak perusahaan, penelantaran lahan, perubahan komoditi usaha, hingga peralihan pengelolaan perusahaan yang diklaim sepihak oleh PT Dharia Darma Pratama (DDP).  Dan kondisi faktual saat ini di Malin Deman; terdapat 60 orang personil gabungan Brimob dan Kepolisian setempat melakukan pengawalan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT DDP. Akibatnya terjadi pencurian buah sawit milik 6 orang anggota PPPBS, pembakaran pondok milik 5 orang anggota PPPBS dan 2 orang anggota PPPBS di amankan dan dikriminalisasi oleh aparat. 

Menurut ALO, tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tersebut sangat bertentangan secara konstitusional, karena setiap warga negara memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan juga bebas dari bentuk-bentuk penyiksaan yang tertera di dalam ratifikasi ICCPR (UU Nomor 12 Tahun 2005) juncto pengesahan atas Convention Againts Torture (CAT) konvensi menolak kekerasan, serta secara jelas dinyatakan di dalam UUD 1945 pasal 28 G. Penggunaan kekerasan yang berlebihan serta penangkapan tanpa didasarkan pada alat bukti yang kuat terhadap anggota PPPBS bertentangan dengan peraturan kepolisian secara internal, yakni Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana dalam Perkap ini menyatakan secara eksplisit terkait pendekatan-pendekatan kepolisian yang seharusnya berlandaskan pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam menyelenggarakan setiap tugas dan fungsinya.

Padahal sejak tahun 2021 lalu, tepatnya pada tanggal 4 September, PPPBS bersama Akar Foundation telah mengajukan usulan redis Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 603 Ha bagi 187 anggota PPPBS kepada Bupati Mukumuko. Dan melalui Akar, PPPBS juga telah mendorong proses percepatan redis TORA melalui audiensi dengan para pihak seperti  Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu, Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Bengkulu serta dan ATR/PBN Mukomuko. Proses audiensi tersebut direspon baik khususnya oleh Gubernur Bengkulu yang kemudian memandatkan Bupati Mukomuko untuk menyelesaikan konflik agraria vis a vis antara masyarakat dengan PT BBS melalui surat nomor 600/1675/1.B/2021. Dalam surat tersebut Gubernur menghimbau Bupati Mukomuko untuk segera membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria, mengingat kondisi Kabupaten Mukomuko yang memiliki wilayah perkebunan yang rawan konflik.  

Menurut Tim Kuasa Hukum ALO, surat Gubernur Bengkulu kepada Bupati Mukomuko sudah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang salah satu pasalnya (pasal 19) menyebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota harus membentuk Tim Gugus Tugas Reforma Agraria, untuk melakukan koordinasi, pengawasan serta pelaporan terkait penyelesaian konflik agraria di masing-masing daerah. Selain itu, upaya advokasi kebijakan untuk penyelesaian konflik agraria melalui skema TORA ini harusnya dapat melindungi hak-hak masyarakat terhadap sumber-sumber agraria-nya, serta memperkuat status quo masyarakat agar tetap dapat mengelola lahan garapannya. Hal ini dijamin oleh UUPA, dalam pasal 9 ayat (2) yang secara tegas menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.

“Sehingga melalui konferensi pers yang dilakukan hari ini, harapannya para pihak yang terlibat dapat merespon persoalan ini secara cepat dan berpijak pada prinsip-prinsip HAM, karena hak-hak kodrati yang melekat pada diri manusia, tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun atau hal apapun.” Tegas Zelig. 

Red