Pulau Enggano merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang berada di Samudera Hindia dan merupakan bagian dari wilayah administratif Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Pulau Enggano terletak pada koordinat 05° 23′ 21″ Lintang Selatan, 102° 24′ 40″ Bujur Timur. Luas wilayah Pulau Enggano mencapai 400,6 km² yang terdiri dari enam desa yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana dan Kahyapu dan dihuni oleh penduduk asli Enggano atau masyarakat hukum adat Enggano. Dari 40.060 hektar luas pulau, sekitar 14.377,35 hektar (35,89% dari total luas wilayah) merupakan kawasan hutan, dan sisanya seluas 25.682 hektar merupakan lahan untuk penggunaan lain seperti pemukiman, lahan pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Berdasarkan fungsi utamanya, kawasan hutan di Pulau Enggano terdiri dari 3.450 hektar hutan lindung, 2.191,78 hektar hutan produksi, dan 8.735,57 hektar hutan konservasi. Pada tahun 2010, Pulau Enggano memiliki 1.755,08 hektar hutan mangrove, yang kemudian berkurang menjadi 1.749,67 hektar pada tahun 2015 akibat konversi mangrove menjadi lahan terbuka.
Pulau Enggano, sebagai pulau kecil yang kaya akan keanekaragaman hayati, menjadi saksi dari keberadaan ekosistem mangrove yang memiliki peran ekologis yang sangat vital. Mangrove tidak hanya berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi garis pantai dari abrasi dan badai, tetapi juga merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat adat Enggano. Secara fisik, hutan mangrove di Pulau Enggano tersebar di sepanjang pesisir, menyatu dengan daratan dan lautan, menciptakan lanskap yang unik dan berperan sebagai penyaring alami yang menstabilkan iklim lokal. Struktur akar mangrove yang rumit menembus tanah basah, menahan endapan, dan membentuk terumbu yang menyediakan habitat bagi berbagai organisme. Ini menjadi pondasi bagi fungsi ekologis penting, seperti penyerapan karbon, penyaringan air, dan pencegahan erosi, yang menjaga keseimbangan lingkungan pesisir.

Ekosistem mangrove di Pulau Enggano memiliki peran dan fungsi yang sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan bagi masyarakat penghuni pulau, menjaga keseimbangan ekosistem perairan pesisir, melindungi pantai dan tebing sungai dari erosi dan abrasi, sekaligus sebagai pengendap lumpur serta menyaring bahan-bahan yang tercemar. Fungsi lainnya adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan sumber makanan bagi biota, tempat berlindung dan memijah bagi berbagai jenis udang, ikan dan biota lainnya serta sebagai habitat pendukung berbagai jenis burung endemik dan terancam punah. Ekosistem mangrove di Pulau Enggano telah memberikan kekuatan bagi daratan pulau ini untuk bertahan hidup meskipun ada ancaman gelombang laut yang dahsyat.
Mangrove, yang merupakan hutan pantai dengan banyak manfaat, menyediakan biomassa dan berkontribusi pada produktivitas produk perikanan dan kehutanan. Dan setidaknya ada 10 spesies mangrove di Pulau Enggano, seperti Avicennia alba, Avicennia lanata, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, Lumnitzera littorea, Bruguiera hainessi, Rhizophora apiculata, Sonneratia alba, dan Xylocarpus granatum.
Pada tahun 2010 terdapat 1.755,08 hektar mangrove dan pada tahun 2015 luasan mangrove menurun menjadi 1.749,67 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2015) luasan mangrove mengalami penurunan sebesar 5,42 hektar. Penurunan luasan vegetasi mangrove pada tahun 2010-20015 disebabkan karena adanya konversi mangrove menjadi lahan terbuka di Pulau Enggano. Di tahun 2023, Pemerintah Provinsi Bengkulu membangun jalan dengan desain rabat beton yang menghubungkan 6 desa di Kecamatan Enggano, mulai dari Desa Kahyapu, Kaana, Malakoni, Apoho, Meok, dan Desa Banjarsari dengan progres mencapai 32,8 km panjangnya sebagai infrastruktur pembangunan dan penunjang wisata bahari di Pulau Enggano. Program pembangunan ini telah memicu migrasi penduduk dari luar Enggano untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir dan laut di Enggano, termasuk kawasan mangrove untuk dikonversi menjadi lahan ekonomi.
Karena lokasinya yang berada di Samudera Indonesia, Pulau Enggano mengalami perubahan garis pantai yang cepat yang disebabkan oleh akresi dan abrasi akibat hempasan gelombang dan arus laut yang kuat. Faktor yang menyebabkan abrasi adalah jumlah sedimen yang diangkut lebih besar daripada jumlah sedimen yang diendapkan, sehingga menyebabkan garis pantai berubah ke belakang. Kegiatan seperti penebangan hutan bakau dan mangrove, penambangan pasir, gelombang tinggi dan pasang surut air laut mempengaruhi kerusakan dan erosi pantai.
Bagi masyarakat Enggano, kawasan mangrove telah lama dimanfaatkan untuk menstabilkan garis pantai, melindungi pantai, mencegah erosi dan melindungi tebing sungai, serta mengolah limbah. Secara biologis atau ekologis, kawasan mangrove ini merupakan tempat bersarangnya burung-burung langka endemik dan dilindungi seperti Pergam Enggano (Ducula oenothorax), Beo Enggano (Gracula enganensis), Kacamata Enggano (Zosterops salvadorii), Betet Ekor Panjang (Psittacula Longicauda Enganensis), habitat alami berbagai jenis biota, tempat asuhan, mencari makan, dan bertelur.

Masyarakat Adat Enggano bekerja sama dengan Akar Global Initiative sejak tahun 2022 menyiapkan berbagai upaya untuk melindungi pulau dari kerusakan yang disebabkan oleh kepentingan ekonomi dan kebutuhan ekonomi pragmatis masyarakat adat itu sendiri. Salah satu upaya yang akan diperkuat adalah mendorong pengakuan hak atas wilayah adat, pemetaan pulau, pengembangan protokol FPIC, pengintegrasian konservasi wilayah adat ke dalam pembangunan, kesehatan lingkungan dan stunting. Inisiatif ini merupakan upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai adat ke dalam pengelolaan dan konservasi mangrove di Enggano sebagai langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan ekosistem dengan tetap menghormati tradisi lokal. Masyarakat adat Enggano memiliki kearifan lokal yang dapat memperkuat upaya konservasi dan pengelolaan berbasis masyarakat.
Tulisan ini rezume laporan smartpatrol oleh Reynaldy