AKARNEWS. Akar Foundation dan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) akan meluncurkan Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu pada Senin (28/10) di Gedung Utama Rektorat Universitas Bengkulu. Sekolah tersebut dibentuk agar menjadi wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik pengelolaan kekayaan alam di Provinsi Bengkulu.

“Sekolah ini diharapkan melahirkan individu-individu yang mampu melakukan rekayasa sosial yang mengarah pada kedaulatan dalam pengelolaan kekayaan dalam dan berkeadilan secara hukum,” kata Direktur Akar Foundation Erwin S Basrin didampingi Kepala Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu M. A. Prihatno, Jumat (25/10).

Makin meningkatnya konflik pengelolaan kekayaan alam di Provinsi Bengkulu, terang Erwin, telah menuntut agar sekolah tersebut dibentuk. Apalagi, dalam beberapa kasus masyarakat cenderung dikalahkan, bahkan dikriminalisasikan. “Sistem hukum dan politik pengelolaan kekayaan alam yang diselenggarakan masih belum memihak rakyat sebagai pemegang kedaulatan menjadi pemicunya,” tambah Prihatno.

Ekonom asal India yang pernah meraih Nobel Amartya Sen, sambung Prihatno, pernah memublikasikan hasil penelitian terhadap bencana kelaparan yang terjadi di Bengali, India pada 1943.  Disimpulkan bahwa bencana kelaparan tersebut bukan diakibatkan faktor alam atau masyarakat Benggali yang malas atau bodoh, melainkan dipicu ketidakadilan dalam pengelolaan kekayaan alam setempat.

Hak masyarakat untuk mengelola kekayaan alam dipinggirkan dan tidak diakui. “Walau tidak seektrim di Bengali, masih rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian masyarakat di Provinsi Bengkulu sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam yang cukup berlimpah diyakini juga dipicu faktor yang sama. Yakni, sistem hukum dan politik belum memihak rakyat,” ujar Prihatno.

Salah satu contohnya, sambung Prihatno, pada masyarakat Desa Tebat Pulau, Bermani Ulu Raya, Rejang Lebong. Dengan penetapan status Hutan Lindung terhadap sebagian kawasan hutan desa mengakibatkan hak masyarakat untuk mengelola kawasan hutan tersebut terhambat.

‘Masyarakat bahkan terpaksa bertindak seperti “pencuri” untuk menikmati hasil jerih payah mengelola kebun kopi di kawasan hutan tersebut. Setelah berjuang menggunakan skema Hutan Kemasyarakatan, akhirnya hak masyarakat untuk  mengelola kebun kopi pun diakui pemerintah.

“Dampaknya, transaksi perdagangan kopi meningkat sangat drastis. Sebelumnya, hanya sekitar 20 ton kopi yang terjual setiap musim panen. Namun sudah dua tahun ini, jumlah kopi yang terjual mencapai ratusan ton. Itu dikarenakan masyarakat sudah tidak merasa khawatir lagi disebut perambah hutan lindung. Kisah sukses perjuangan masyarakat dalam pengelolaan kekayaan alam melalui skema Hkm atau model lainnya itu harus diperbanyak. Itu juga yang menjadi motivasi kami membentuk sekolah ini,” kata Prihatno. (dmi)

Sumber: http://harianrakyatbengkulu.com/lusa-sekolah-pendamping-hukum-rakyat-bengkulu-diluncurkan/