Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang telah dimiliki oleh setiap manusia dan hak tersebut dilindungi, dipenuhi dan dihormati, Dalam hal ini Negara yang harus bertanggung jawab atas terpenuhinya HAM tersebut.[1] Namun dalam kurun waktu beberapa tahun ke belakang hingga saat ini masih sangat lemah nya peran negara bahkan negara abai dalam perlindungan, pemenuhan dan penghormatan terhadap HAM, seperti yang terjadi di Wadas, Menurut I Gusi Agung Made Wardana, pakar hukum lingkungan UGM mengatakan bahwasannya kajian empiris terkait dengan Wadas masih menyisakan masalah bagi warga yang ingin mempertahankan ruang hidupnya. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dinilai tidak mempertimbangkan nilai sosial dan spiritual dari tanah.
Konflik di wadas sebenarnya ada pada perbedaan cara pandang terhadap tanah warga melihat bahwasannya tanah itu lebih kompleks dan kaya daripada pandangan pemerintah yang melihat tanah adalah asset ekonomi yang bisa diselesaikan dengan ganti rugi. Penggabungan dua proyek yakni proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan pertambangan sebenarnya kurang tepat, karena penambangan tidak termasuk dalam kategori kepentingan umum.[2]
Dalam kaca mata HAM, terdapat dua ruang lingkup HAM, yakni hak Sipil Politikk (SIPOL) dan Hak Ekonomi Sosial Budaya (EKOSOB) namun HAM tidak kunjung menjadi prioritas negara dalam membuat sebuah kebijakan. Semangat Pemerintah dalam memprioritaskan pertumbuhan ekonomi melalui investasi kerap kali mengorbankan hak-hak masyarakat, termasuk hak atas tanah. Ini yang menyebabkan mimpi buruk pemenuhan HAM yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat karena termasuk dalam ruang lingkup hak ekonomi sosial budaya terabaikan.
Malin Deman merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, Masyarakat Malin Deman memiliki tanah sebagai alat produksi utama untuk memenuhi sumber penghidupannya. Tanah sebagai fungsi sosial bagi masyarakat Malin Deman artinya tanah yang telah ada sejak dulu menjadikan ruang interaksi bagi masyarakat Malin Deman, baik di desa maupun di lahan garapan mereka. Belum lagi fungsi budaya yang telah ada sejak lama dimana terdapat kepercayaan-kepercayaan tertentu yang telah dipercayai oleh masyarakat Malin Deman. Namun berbagai fungsi sosial dan budaya tersebut mulai luntur karena tanah yang telah ada sejak lama tersebut berubah status menjadi lahan HGU.
Lahan garapan tersebut memiliki fungsi ekonomi, sosial, dan budaya yang melekat di dalamnya, lahan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menanam padi, kopi, jengkol dan tanaman komoditi pangan lainnya. Namun, pada Tahun 1995 wilayah tersebut dialihkan menjadi lahan perkebunan dengan komoditi Kakao dan Kelapa Hibrida melalui HGU Nomor 34 Tahun 1995 kepada PT Bina Bumi Sejahtera (PT.BBS) seluas 1899 Ha. inilah titik awal masuknya industri di tengah masyrakat Malin Deman, serta dimulainya berbagai bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM, termasuk perampasan Hak Atas Tanah.
Jauh sebelum Tahun 1997 ketika masuknya perusahaan, masyarakat Malin Deman telah melakukan aktivitas pertanian di lahan yang telah dikelola oleh masyarakat. Namun, permasalahan muncul di Tahun 2005 lahan HGU terlantar PT.BBS yang telah dikelola oleh masyarakat tersebut diklaim oleh PT.Daria Dharma Pratama (PT.DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT.DDP dan PT.BBS. Bermodalkan klaim tersebut, PT.DDP mulai melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU terlantar PT.BBS dengan melakukan penanaman komoditi Sawit, pemaksaan ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.
Proses perampasan lahan yang dilakukan oleh PT.DDP Tahun 2005 merupakan sumber konflik agraria yang dialami oleh masyarakat Malin Deman hingga hari ini. Beberapa masyarakat yang terenggut lahannya oleh korporasi memilih untuk bertahan dan memperjuangkan lahan sebagai ruang hidupnya. Sampai saat ini, masyarakat yang tengah berusaha memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan kembali tanah yang telah dirampas oleh perusahaan.
Dengan pengerahan Aparat Penegak Hukum (APH) yang melakukan penjagaan disekitar lahan perusahaan, bahkan melakukan patrol sampai pada aktivitas sweeping di rumah masyarakat, tentu berakibat pada ketakutan yang timbul di dalam masyarakat. Ketakutan yang tumbuh dimasyarakat juga bukan merupakan ketakutan tidak berdasar, ketakutan tersebut muncul akibat pengerahan pihak kepolisian yang kerap berpatroli serta menakut-nakuti masyarakat jika kembali masuk kedalam lahan. Sehingga apa yang dilakukan tersebut telah mengakibatkan terampasnya Hak atas rasa aman bagi masyarakat. Padahal Hak atas rasa aman tersebut, harusnya merupakan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan serta pemenuhan atas rasa aman yang ada di masyarakat.[i]
Pengerahan Aparat Penegak Hukum juga tidak berhenti sampai disana, pihak aparat yang dalam hal ini Kepolisian juga melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat, upaya kriminalisasi tersebut terlihat dari adanya masyarakat yang akhirnya ditangkap secara brutal serta tidak manusiawi untuk dibawa ke kepolisian setempat dengan delik pencurian, apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian tentu merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM, karena setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang, karena telah jelas bahwa hukum kita menganut asas equality before the law, atau asas praduga tak bersalah yang artinya setiap orang harus dipandang sama dihadapan hukum.
Masyarakat Malin Deman merupakan masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, dengan dirampasnya lahan garapan masyarakat oleh perusahaan dengan mengubah lahan-lahan pertanian masyarakat menjadi HGU, ini berakibat pada hilangnya ruang hidup masyarakat untuk melakukan pertanian. Ini juga berakibat pada hilangnya Hak atas tanah masyarakat, dan karena sifat Hak Asasi Manusia yang saling keterkaitan antara satu dengan yang lain, maka saat masyarakat Malin Deman kehilangan hak atas mereka, itu juga berdampak tidak terpenuhinya hak atas penghidupan yang layak bagi masyarakat Malin Deman.
Negara yang dalam hal ini selaku pemangku kewajiban (duty barear) harus bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM yang telah terjadi bagi masyarakat Malin Deman, kami mendorong pemerintah agar menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul terhadap konflik yang telah hadir serta berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia termasuk konflik agraria dan berbagai bentuk kriminalisasi-kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat.
Juga menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab secara penuh atas terlanggarnya berbagai hak masyarakat Malin Deman serta mendorong pemerintah untuk melakukan pemulihan secara kontinu terhadap berbagai hak yang tidak terpenuhi dan/ terampas akibat dari perusahaan. Dalam hal kebijakan, penting untuk mendorong kebijakan yang berpihak terhadap masyarakat, kebijakan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat yang sedang mengalami konflik, terkhusus konflik agraria. Serta mengakomodir berbagai pemulihan yang terjadi terampasnya berbagai hak yang dimiliki oleh masyarakat.(NL)
[1] Komentar Umum, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komnas HAM, Jakarta, 2013, hal xiv.
[2] Harris Y.P Sibuea, “Konflik Agraria Di Desa Wadas: Pertimbangan Solusi,” Info Singkat 14, no. 4 (2022): 3
[i] Pasal 28G UUD 1945