oleh Pramasty Ayu Koesdinar
Maryana (52 Th) adalah perempuan nelayan pertama yang saya temui di pesisir selatan Provinsi Bengkulu, tepatnya di desa Merpas, Kabupaten Kaur.  Sebelum kunjungan saya ke Merpas, dan sebelum pertamuan saya dengan Maryana terjadi, saya memang jarang sekali melihat nelayan perempuan melabuhkan dan mengemudikan perahu-nya untuk pergi melaut. Di sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari desa Merpas, saya melihat beberapa perempuan duduk membakar ikan ditepian pantai dekat sebuah Pelabuhan Tradisional, sembari menunggu kedatangan nelayan mendaratkan perahunya disana. Tak lama kemudian, akhirnya sebuah perahu berawakan 2 orang datang mendekati bibir pantai, dan para perempuan tersebut berlarian menuju perahu lalu menariknya dan melabuhkannya di pantai. Setelah perahu bersandar, para perempuan ini mendapatkan 1-2 ekor ikan Layur (beledang) sebagai upah karena telah membantu nelayan tersebut mendaratkan kapalnya. Beberapa perempuan lain mengambil lebih banyak ikan, untuk ia jual lagi di desa.
Menyadari saya yang sedang mengamati peristiwa tersebut, seorang nelayan datang dan bicara kepada saya, “Di desa kami, kami melarang perempuan; istri dan anak kami melakukan hal seperti itu. Karena itu adalah pekerjaan yang menghinakan perempuan”. Selain itu, pekerjaan perempuan nelayan berarti merendahkan peran seorang lelaki kepala rumah tangga sebagai pencari nafkah yang tidak mampu menafkahi keluarganya, sehingga istri dan anak perempuan harus ikut bekerja sebagai nelayan.
Pandangan ini secara umum sering sekali kita dapati ditengah-tengah masyarakat desa maupun kota.  Yakni sebuah kontruksi sosial terhadap pembagian kerja seksual antara laki-laki dan perempuan. Dalam dalam perkembangan sejarah kapitalisme dan budaya patriaki, perempuan seringkali ‘diletakan’ dalam ruang domestik yang harus bertanggungjawab atas kerja-kerja reproduksi sosial seperti, merawat dan mengasuh anak, membereskan rumah (menyapu, mencuci, memasak), padahal mereka juga mungkin terlibat dalam kegiatan produksi. Sementara kerja produksi atau kerja-kerja moneter yang menghasilkan nilai materil diasosiasikan sebagai kerja laki-laki. Inilah yang kemudian menjadi basis dari subordinasi perempuan.
Kontruksi sosial tersebut membawa konsekuensi yang serius bagi perempuan, salah satunya adalah keterisolasian perempuan dari kerja-kerja di ruang publik. Bentuk dari keterisolasian ini berupa pembatasan akses perempuan terhadap sumber-sumber agrarianya dan bahkan terhadap keputusan-keputusan yang bermakna politis baik di dalam rumah tangga maupun di desa atau di ruang publik lainnya. Sehingga kontruksi sosial ini juga memperkuat kesangsian publik terhadap kerja reproduksi sosial yang dilakukan perempuan; bahwa kerja-kerja tersebut merupakan kerja ringan yang tidak memerlukan kapabilitas, serta dianggap sebagai kerja tambahan yang hanya ‘membantu’ menambah pendapatan ekonomi keluarga. Kontruksi sosial inilah yang kemudian menjadi budaya yang ditanam, dipercayai dan dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sebagai korban dari budaya patriakal, masyarakat pada umumnya tidak sadar dengan kondisi ini. Bahkan sering sekali, budaya ini malah tumbuh subur di dalam alam bawah sadar manusia dan menganggapnya sebagai sesuatu yang nisbi atau taken for granted. Sehingga bukan hanya laki-laki atau institusi yang merawat subordinasi perempuan, melainkan ia telah menjadi bagian dari sistem sosial yang merawat dan menciptakan kontruksi tersebut menjadi sebuah nilai.
Sebagian perempuan atau masyarakat yang menyadari kondisi ini memilih melawan untuk mempertahankan kehidupannya. Misalnya agensi perempuan nelayan Gurita di desa Merpas, Kabupaten Kaur yang memilih menjadi nelayan seumur hidupnya untuk dapat memberikan kehidupan yang layak bagi anak dan keluarga.
Maryana dan Perempuan nelayan Gurita di Merpas
Di usianya yang tak lagi muda, Maryana masih kokoh melawan ombak ditubir pantai Laguna untuk mencari Gurita. Perempuan berusia 52 tahun yang memiliki 7 orang anak perempuan dan 1 orang suami ini terkenal sebagai perempuan nelayan Gurita yang handal dan tangguh. Masyarakat desa Merpas mengakui kapasitasnya sebagai seorang nelayan perempuan karena pengetahuannya tentang laut dan tentang Gurita sangat fasih. Pengetahuannya tersebut berasal dari pengalamannya menjadi perempuan nelayan gurita sejak ia duduk di kelas 5 bangku sekolah dasar, atau tepatnya sejak tahun 1989.
Meskipun suami Maryana sudah tidak bisa lagi melaut akibat kecelakan dan keterbatasan fisiknya, profesi dan pekerjaanya sebagai nelayan bukanlah sebuah pilihan terakhir. Ia mengatakan bahwa memancing dan menangkap Gurita adalah pekerjaan yang menyenangkan. Walaupun tidak bisa dinilai apakah pekerjaan menangkap Gurita ini mensejahterakan keluarganya, namun dari pekerjaan inilah ia bisa mensekolahkan anak-anak perempuannya sampai pada tingkat perguruan tinggi dan menengah atas. Dan ia menjadi kepala keluarga yang menghidupkan suami serta anak-anaknya.
Menurut Herwan[1], keluarga Maryana terkenal sebagai nelayan tradisional yang menangkap Gurita di bentangan laut Laguna. Maryana dan perempuan nelayan Gurita pada umumnya di desa Merpas disebut sebagai nelayan pinggir sebab mereka hanya menangkap Gurita di pinggir laut atau ditubir pantai tempat dimana ombak memecah. Mereka nelayan pinggir ini hanya menggunakan tombak bagi laki-laki dan kayu atau besi bagi perempuan. Menurut Bobi[2], perempuan nelayan Gurita lebih handal menangkap Gurita daripada laki-laki, mereka lebih detil sehingga hasil tanggkapannya terkadang lebih banyak dari laki-laki.
Namun jumlah perempuan nelayan Gurita ini tidak banyak, di desa Merpas sendiri hanya tersisa 5 orang nelayan Gurita yang dari dulu hingga sekarang konsisten menangkap Gurita. Selebihnya, perempuan lebih banyak berkegiatan pada sektor budidaya atau pengelolaan Gurita menjadi produk makanan siap saji. Seperti menjual gurita kering, modifikasi produk pangan gurita menjadi kerupuk, sate dan tongseng Gurita.
Pengetahuan Perempuan Nelayan Gurita
Saat kami tengah melakukan simulasi pendataan Gurita[3], satu-satunya peserta perempuan yang berprofesi sebagai nelayan pinggir Gurita adalah Maryana. Dan dari tempat duduknya, sekitar kurang lebih 5 meter, ia menebak gurita yang sedang di identifikasi oleh fasilitator adalah berjenis kelamin perempuan. Ia menjelaskan ciri-ciri fisik Gurita perempuan adalah dari bentuk tentakel atau kaki Gurita yang sedang disimulasikan. Pada ujung tentakel Gurita perempuan, biasanya berbetuk lebih oval atau terlihat seperti ada sambungan antara kaki ke 1, 2 dan 3. Sementara Gurita laki-laki memiliki kaki yang terlihat lebih kecil, runcing dan panjang. Dan pada salah satu kaki Gurita laki-laki pasti terdapat garis putih seperti selaput. Kemudian ia juga dapat membedakan jenis kelamin Gurita tersebut dari mata Gurita. Ia menyebutkan bahwa mata Gurita perempuan lebih menonjol daripada Gurita laki-laki.
Selain pengetahuan tentang jenis kelamin Gurita, Maryana juga menceritakan tentang seni menangkap Gurita. Dengan alat tanggap yang ia gunakan yakni; kayu Gurita[4], besi behel, linggis, kambu atau rotan, ia memahami respon Gurita Ketika ditangkap.
“Menangkap Gurita itu baiknya menangkap yang memiliki ukuran cukup besar atau setidaknya di atas 700 gram, sebab Gurita kecil lebih susah ditangkap dan lebih agresif daripada Gurita dewasa. Pengalaman saya menangkap Gurita dibawah 700 gram selalu saya lepaskan. Dan hasil tangkapan Gurita terbesar yang sering saya tangkap adalah berkisar 4-5 kg/ekor”.
Kemudian, ia juga menjelaskan habitat/tempat persembunyian Gurita dan makanan Gurita kepada kami dan para peserta,
“Tempat persembunyian Gurita yang berukuran besar adalah Benawang; yakni tempat dimana ombak memecah. Sementara Gurita kecil banyak bersembunyi di lubang-lubang karang. Lalu makanan Gurita selain udang, kepiting atau ikan kecil adalah Sayal; karang atau siput laut” Ujar Maryana dengan penuh semangat.
Maryana dan 4 orang perempuan nelayan lainnya yang menangkap Gurita adalah nelayan pinggir yang menangkap gurita tanpa menggunakan perahu. Ia bersama temannya biasanya berjalan dari bibir pantai hingga ke tubir pantai untuk menangkap Gurita dengan alat tangkap kayu atau besi. Menurutnya, menjadi nelayan pinggir sangat tergantung pada pasang surut air laut. Mereka biasanya hanya bisa menangkap Gurita ketika air laut sedang surut atau langat dalam Bahasa Kaur. Selebihnya, faktor yang menghambat mereka menangkap gurita adalah ketika badai atau angin kencang.
Maryana juga mengatakan bahwa saat ini Gurita mulai berkurang jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh perubahan metode dan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan.
“Sekarang banyak nelayan dari luar desa yang juga memancing gurita di desa Merpas. Mereka biasanya memancing gurita pada malam hari dengan alat tangkap pancing ulur dan mereka menggunakan perahu sampai ke tengah. Sehingga hal itu menyebabkan mereka dapat memancing gurita tanpa batas dan kapan pun tanpa harus menunggu air laut langat”.
Mensiasati hidup
Seperti yang disampaikan Maryana, bahwa menjadi nelayan pinggir yang menangkap Gurita ini sangat tergantung pada kondisi alam. Tidak jarang mereka gagal menangkap Gurita ketika laut sedang ganas. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari, Maryana mengelola sawah dan memanfaatkan perkarangan rumah yang ia tanami dengan tanaman palawija serta sayuran. Ia tidak memilih untuk berhutang karena menurutnya ia belum butuh.
“Hutang itu untuk membeli barang-barang yang sebetulnya kita tidak butuh, seperti motor, TV, kulkas, mesin cuci, karpet, baju”
Hal ini relevan dengan kondisi rumah Maryana yang sempat saya kunjungi. Rumah berdinding semen dan kayu yang dilapisi koran tersebut tampak sangat efisien bagi Maryana dan keluarga.Tidak ada televisi, kulkas dan mesin cuci disana, dan Maryana belum membutuhkan kendaran pribadi untuk pergi mencari sumber penghidupan keluarga mereka.
Dulu ketika masih cukup muda, 4 orang anaknya sekolah dan suaminya baru jatuh sakit, Maryana tidak hanya bekerja sebagai perempuan nelayan Gurita, tetapi juga menjadi buruh harian lepas di perkebunan sawit milik perusahaan. Namun tak lama kemudian pekerjaan tersebut ia tinggalkan, karena aktifitasnya terlalu berat dan upahnya terlampu kecil. Setiap hari ia bersama beberapa buruh lainnya harus melakukan perawatan terhadap kebun sawit perusahaan yang luasnya 7 blok atau sekitar lebih dari 27 hektar dengan jam kerja 9 jam/hari dan diupah hanya Rp 86.000.
Dari tuturan Maryana tentang laut, Gurita dan kehidupannya, ia menunjukan bahwa kerja-kerja yang ia lakukan adalah kerja yang memiliki nilai, kapabilitas dan kemampuan/skill yang sangat baik bahkan mungkin tidak dimiliki oleh orang lain. Dan nilai dari kerja-kerja tersebut ia temukan didalam proses sejak ia menjadi seorang anak peremuan yang belajar menjadi nelayan Gurita, menjadi istri dari seorang nelayan laki-laki, menjadi ibu dari 7 anak perempuan dan menjadi kepala keluarga yang bekerja sebagai Perempuan Nelayan. Meskipun kisah Maryana ini tampak terjadi secara natural dan tanpa penindasan didalamnya, namun seperti yang Vogel sampaikan bahwa ekploitasi dan subordinasi terhadap perempuan menjadi situs penindasan yang tersembunyi.
 
 
 
 
 
 
 
 
[1] Nelayan pinggir; yakni nelayan yang memacing gurita dengan menggunakan alat tangkap berupa pancing ulur dan alat bantu berupa derigen
[2] Nelayan pinggir
[3] Dalam kegiatan pelatihan monitoring partisipatif tanggal 9 September 2020 di Kantor Desa Merpas
[4] Kayu yang mereka sebut Kayu Gurita adalah jenis kayu dari pohon tertentu yang terdapat di desa digunakan untuk menangkap Gurita