Perjalanan panjang menelusuri jejak adat di Pulau Enggano, Komunitas adat Rejang di Lebong dan Rejang Lebong dan Masyarakat hukum adat Air Kiliran sebagai penjaga hutan keramat Sebakas di Bengkulu Selatan saya mendapatkan pengalaman bahwa di tengah dinamika globalisasi dan modernisasi, masyarakat hukum adat tetap memegang peranan penting dalam menjaga keragaman hayati. Mereka bukan hanya penjaga warisan budaya, tetapi juga pemelihara alam yang telah terbukti menjaga keseimbangan ekosistem melalui kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, biodiversitas bukan sekadar kumpulan spesies, melainkan merupakan bagian integral dari identitas, spiritualitas, dan sistem kehidupan yang saling terkait.
Masyarakat hukum adat Enggano, Rejang dan Serawai di Air Kiliran telah lama hidup berdampingan dengan alam dengan cara yang harmonis dan melakukan praktik pengelolaan hutan, sungai, dan lahan pesisir menggunakan metode tradisional didasarkan pada pengamatan mendalam terhadap siklus alam. Kearifan lokal tersebut tercermin dalam sistem rotasi lahan, larangan panen berlebihan, serta ritual dan upacara yang menjadi bentuk penghormatan kepada alam. Orang Rejang menyebutnya kedurai yang mengaitkan relasi antara manusia, alam, dan kekuatan spiritual. Melalui cara-cara tersebut, mereka tidak hanya menjaga keseimbangan ekosistem, tetapi juga memperkuat keragaman hayati yang ada di sekitar mereka.
Masyarakat hukum adat mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dengan prinsip keberlanjutan dengan pengetahuan tradisional tentang tanaman obat, jenis-jenis ikan, dan cara-cara pengelolaan hutan yang lestari telah membantu melestarikan berbagai spesies flora dan fauna. Dan, praktik pertanian dan perikanan berbasis pada kearifan lokal telah menciptakan sistem yang tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga berfungsi sebagai benteng pelestarian alam dan menjadi bukti bahwa upaya konservasi yang berasal dari dalam komunitas dapat berjalan secara efektif dan harmonis.
Dalam konferensi internasional masyarakat hukum adat (21-23 Januari 2025) yang dilaksanakan oleh Akar Global Inisiatif dan menghadirkan masyarakat hukum adat dari 7 Provinsi menyampaikan kekhawatiran mereka tentang relasi mereka dengan biodiversity. Keberadaan masyarakat hukum adat dan kearifan lokal semakin terancam oleh berbagai tekanan yang datang dari eksternal. Eksploitasi sumber daya alam oleh industri besar, deforestasi, perubahan iklim, dan kebijakan pembangunan yang tidak sensitif terhadap hak-hak masyarakat adat sering kali mengikis keberadaan biodiversitas.

Hilangnya akses hukum atas tanah adat membuat mereka rentan terhadap perampasan, sehingga praktik-praktik pengelolaan yang telah teruji selama ratusan tahun mulai tergeser. Pergeseran tersebut berakibat pada biodiversitas yang selama ini terjaga dengan baik mulai terancam dan hilangnya kearifan lokal serta kerusakan ekosistem yang mendukung kehidupan banyak spesies. Ekspansi industri perkebunan telah menjadi salah satu penyumbang utama hilangnya biodiversitas yang terjadi di wilayah adat Malin Deman di Bengkulu, Talang Parit di Riau, Nagari Tiku di Sumatera Barat. Perkebunan kelapa sawit kini semakin menggantikan hutan-hutan asli yang menjadi habitat bagi ribuan spesies flora dan fauna. Proses deforestasi dan konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit tidak hanya mengurangi luas hutan, tetapi juga menyebabkan terjadinya keretakan ekosistem dan hilangnya jaringan ekologis yang kompleks.
Ketika hutan diubah menjadi kebun kelapa sawit, habitat alami yang mendukung keanekaragaman hayati ikut hilang. Banyak spesies yang bergantung pada hutan tropis dari mamalia besar hingga burung endemik, serangga, dan tumbuhan langka terancam punah. Untuk spesies harimau sumatera, Kementerian Kehutanan memperkirakan jumlah harimau sumatera di alam liar kurang dari 603 ekor yang tersebar di 23 lanskap di Sumatera. Fragmentasi habitat yang terjadi mengurangi kemampuan satwa untuk berpindah, mencari makan, atau berkembang biak, sehingga populasi mereka menurun drastis. Kondisi ini berpotensi menyebabkan kepunahan lokal, dan dalam beberapa kasus, spesies yang dulunya hanya ada di kawasan tersebut menjadi punah secara global.
Deforestasi yang disebabkan perkebunan, pertambangan dan pembukaan jejaring infrastruktur tidak hanya mengikis hutan dan mengancam habitat alami, tetapi juga memainkan peran penting dalam mempercepat perubahan iklim yang semakin ekstrim dan kompleks. Ketika hutan ditebang, proses alami penyimpanan karbon yang selama ini berfungsi mengurangi kadar gas rumah kaca di atmosfer pun terganggu. Pohon-pohon yang selama ini menyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis hilang, sehingga karbon yang dilepaskan oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, tidak lagi dapat diimbangi dengan penyerapan alami. Dampaknya terlihat adalah menurunnya produktivitas pertanian, meningkatnya risiko kesehatan, serta kerusakan infrastruktur akibat bencana alam.
Di sepanjang garis pantai dan lautan yang luas, masyarakat hukum adat telah hidup dan berkembang dengan keterikatan mendalam terhadap lingkungan laut dan pesisir. Bagi mereka, laut bukan hanya sumber pangan atau jalur transportasi, melainkan juga ruang spiritual dan budaya yang menyimpan kearifan lokal. Hubungan ini terbentuk dari pengalaman berabad-abad, dimana praktik dan tradisi turun-temurun menjadi panduan dalam mengelola kekayaan alam yang luar biasa. Masyarakat hukum adat mengelola wilayah laut dan pesisir melalui pengetahuan tradisional yang mencakup teknik penangkapan ikan, pengelolaan perikanan, serta praktik konservasi terumbu karang dan hutan bakau. Dengan menerapkan aturan adat yang mengatur kapan dan bagaimana sumber daya alam diambil, mereka menjaga keseimbangan ekosistem. Misalnya, masyarakat hukum adat di Linau dan Merpas menetapkan waktu tertentu sebagai masa larangan tangkap (temporary closure) untuk memberi ruang bagi regenerasi populasi ikan, atau menerapkan sistem rotasi dalam pemanfaatan hutan bakau yang berfungsi sebagai pelindung pantai.
Bagi masyarakat hukum adat Enggano,memiliki nilai spiritual yang tinggi. Ritual dan upacara adat Pahpe diadakan untuk menghormati roh laut dan leluhur, sebagai bentuk syukur atas limpahan sumber daya dan sebagai upaya menjaga keharmonisan alam. Tradisi ini tidak hanya memperkuat identitas budaya, tetapi juga menanamkan rasa tanggung jawab kolektif untuk menjaga alam, sehingga keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati tetap terjaga.
Kehidupan masyarakat hukum adat pesisir sangat bergantung pada biodiversitas laut dan pesisir. Hasil perikanan, hasil laut, serta produk-produk dari hutan bakau dan terumbu karang menyediakan sumber penghidupan dan bahan pangan yang penting. Dengan cara tradisional, mereka mengelola hasil alam tersebut secara berkelanjutan, memastikan bahwa setiap generasi mendapatkan warisan sumber daya yang cukup untuk kebutuhan hidupnya. Praktik ekonomi subsisten ini, yang berakar pada kearifan lokal, juga membangun sistem ekonomi lokal yang tahan terhadap tekanan pasar global.
Kebijakan pembangunan yang tidak sensitif sering kali menetapkan proyek-proyek infrastruktur, pertambangan, atau perkebunan besar tanpa melibatkan masyarakat adat dalam proses perencanaan. Tanah dan laut yang telah dikelola dengan kearifan lokal tersebut diambil alih untuk kepentingan industri atau pembangunan tanpa ada konsultasi yang memadai. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya laut yang menjadi sumber penghidupan, warisan budaya, dan identitas mereka. Hilangnya tanah dan sumber daya laut tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada keutuhan budaya dan spiritual yang selama ini mengakar dalam tradisi mereka.
Negara yang seharusnya melindungi dan menghormati masyarakat hukum adat sering kali membuat kebijakan yang tidak sensitif terhadap hak masyarakat adat yang berujung pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Proyek pembangunan yang besar seperti reklamasi pantai, pertambangan, atau perkebunan skala besar dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem, deforestasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Selain itu, dampak sosialnya pun terasa berat. Masyarakat adat yang kehilangan hak atas tanah mereka terpaksa berpindah, mengakibatkan perpecahan sosial dan hilangnya kearifan lokal yang selama ini dijadikan dasar dalam pengelolaan alam secara berkelanjutan.
Kebijakan pembangunan yang tidak sensitif akan membawa dampak negatif yang luas, baik dari segi lingkungan maupun sosial. Hilangnya hak atas tanah dan kerusakan ekosistem perairan laut, pengambilan keputusan yang eksklusif, dan eksploitasi sumber daya alam telah mengikis keberlanjutan hidup masyarakat hukum adat dan kearifan lokal yang mereka warisi. Untuk mencapai pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat hukum adat, sangat penting untuk mengintegrasikan hak-hak masyarakat adat dalam setiap kebijakan pembangunan, dengan mengedepankan partisipasi, pengakuan hukum, dan pengelolaan berbasis kearifan lokal, karena ini jalan yang harus dilalui agar transformasi pembangunan dapat berjalan harmonis antara kemajuan ekonomi dan pelestarian nilai-nilai budaya yang menjadi identitas masyarakat hukum adat.
Catatan Erwin Basrin dari konferensi internasional masyarakat hukum adat (21-23 Januari 2025)