Oleh Dedek Hendry
“Media yang tidak resmi dan kurang dana dapat mempunyai dampak yang jauh lebih besar ketimbang media resmi dan mendapat dana cukup” (Lull, 1997).
Media memiliki kekuatan yang besar dalam masyarakat (Little John dan Fross, 2001). Revolusi Amerika dan Perancis (Davidson, 1941; Darnton,1979 dalam Sreberny-Mohammadi & Mohammadi (1994)), gerakan nasionalime atau kemerdekaan di Asia (termasuk Indonesia), Afrika dan Eropa (Anderson, 2001), dan Revolusi Mesir (Eltantawy dan Wiest, 2011) merupakan sedikit contoh peristiwa bersejarah yang terjadi akibat dipengaruhi media.
Demikian besarnya dampak media dalam membangkitkan kesadaran dan aksi kolektif rakyat melawan ketidakadilan dan tirani kekuasaan, maka bukan hal yang aneh bila penguasa diktator menganggap media bisa menjadi ancaman serius terhadap kekuasaannya. ”Empat surat kabar musuh lebih menakutkan daripada ribuan banyonet,” kata seorang penguasa diktator Napoleon Bonaparte (http://www.goodreads.com) menggambarkan kekuatan media. Oleh karena itu, tindakan mengekang, mengontrol bahkan mengendalikan media dengan berbagai cara lazim dilakukan penguasa diktator untuk mempertahankan kekuasaannya.
Masalah ketidakberpihakan media massa (mainstream) kepada masyarakat adat Rejang yang terungkap dalam diskusi “Jurnalisme sebagai Sarana Memperoleh Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat” di Masjid Al-Jihad di Desa Embong 1 Kecamatan Uram Jaya Kabupaten Lebong pada Kamis (7/11), wajib untuk dikritisi oleh warga masyarakat adat Rejang yang bertekad mencapai keberhasilan terhadap perjuangan yang dilakukan. Apakah ketidakberpihakan tersebut disebabkan media massa telah dikendalikan penguasa atau faktor lain, perlu untuk diidentifikasi. Namun dapat disinyalir, penyebabnya tidak akan jauh berbeda dengan apa diungkapkan Sekretaris Jenderal Asia Indigenous People Pact Joan Curling, “Khusus di Asia, berbagai kasus mengenai masyarakat adat tidak dipublikasikan lantaran sentimen pemilik media, romantisme, minimnya infrastruktur, dan luasnya geografis, serta ketidakadilan akses” (Sinar Harapan, 26 Juli 2013). Sehingga, upaya untuk mengatasinya tidaklah mudah, membutuhkan energi dan materi yang tidak sedikit serta waktu yang tidak sebentar. Akibatnya, keputusan untuk mengatasinya bisa menjadi keputusan yang tidak efektif, tidak efisien dan tidak strategis untuk dilakukan oleh masyarakat adat Rejang.
Lantas, apa mungkin masyarakat adat Rejang membuat media sendiri? Jawabannya, tentu saja sangat mungkin. Dalam Pasal 16 Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat dinyatakan bahwa masyarakat adat berhak untuk membentuk media sendiri. Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga telah memungkinkan bagi siapa pun juga, termasuk masyarakat adat untuk membuat media sendiri dengan melakukan kerja-kerja jurnalistik yang dikenal dengan istilah jurnalisme warga. Inisiatif membuat media sendiri juga telah dilakukan sejumlah masyarakat adat di belahan bumi ini. Misalnya masyarakat Aborigin di Australia membangun stasiun televisi, radio dan website. Demikian pula inisiatif yang dilakukan masyarakat adat di Kalimantan Selatan membangun stasiun televisi, radio dan website yang memberdayakan warga masyarakat adat sebagai pelaku jurnalisme warga dengan memanfaatkan SMS sebagai alat untuk mengirimkan berita. “Kami membutuhkan media agar bisa menyampaikan isu sumber daya alam, hukum adat, kearifan lokal …,” ujar Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Selatan Yasir seperti dikutip Banjarmasinpost dalam berita “18 Peserta dari Masyarakat Adat Ikuti Pelatihan Jurnalistik”.
Penulis optimis, masyarakat adat Rejang juga bisa membuat media seperti yang dilakukan masyarakat Aborigin dan masyarakat adat di Kalimantan Selatan tersebut. Hanya saja, mempertimbangkan beberapa hal, inisiatif membangun media yang memadukan website/blog, media sosial (facebook), SMS dan pamflet kiranya lebih memungkinkan untuk dilakukan. Selain tidak membutuhkan dana yang besar, tahapan dan cara kerjanya juga cukup sederhana. Perlengkapan yang dibutuhkan diantaranya seperangkat komputer yang dilengkapi akses internet, printer, handphone dan aplikasi handphone di komputer. Untuk teknisnya, diawali dengan membentuk tim khusus yang dilatih untuk menjadi pengelola dan jurnalisnya. Calon jurnalis yang direkrut hendaknya warga masyarakat adat Rejang yang berdomisili di sejumlah desa yang letaknya tidak berdekatan. Selain mengumpulkan dan mengolah fakta dan data tentang peristiwa, masalah, keadaan dan lainnya menjadi berita, jurnalis juga ditugaskan untuk mengirimkannya ke pengelola dengan menggunakan SMS.
Sedangkan tugas pengelola, mempublikasikan berita yang dikirim jurnalis warga ke website atau blog dan menyebarluaskan berita yang dipublikasikan kepada khalayak umum dan sasaran tertentu dengan menggunakan facebook dan SMS. Penyebarluasan berita melalui facebook bisa dilakukan di timeline, grup dan halaman (page). Sedangkan penyebarluasan melalui SMS dilakukan kepada sasaran khusus seperti bupati, wakil bupati, unsur pimpinan dan anggota DPRD, pejabat instansi, tokoh masyarakat, pemuda dan elemen masyarakat lainnya. Pengiriman SMS dilakukan secara serentak dengan menggunakan aplikasi handphone di komputer dan layanan SMS murah yang disediakan operator telepon selular. Pengiriman berita melalui SMS bisa dilakukan secara berkala, misalnya dalam satu hari mengirimkan tiga berita atau bisa lebih. Selanjutnya, berita yang dipublikasikan di website atau blog dipilih untuk dicetak menjadi pamflet untuk ditempel di ruang-ruang publik seperti papan pengumuman di kantor atau balai desa, masjid, warung dan lainnya di desa. Pencetakan pamflet juga bisa dilakukan secara berkala, misalnya satu minggu sekali atau malah dua kali dalam seminggu.
Bila saja pengelolaan website/blog, media sosial (facebook), SMS dan pamflet tersebut dilakukan secara serius dan berkelanjutan, penulis optimis bisa memberikan dampak yang besar bagi masyarakat adat Rejang. Bukan hanya bisa membantu perjuangan agar hak-hak masyarakat adat Rejang dalam pengelolaan sumber daya alam diakui pemerintah (negara) berhasil dicapai, tetapi juga bisa menjadi media kontrol terhadap pemerintah dan sarana memperkuat ikatan antar warga masyarakat adat Rejang. Sebagai penutup tulisan, pernyataan yang dikemukakan Dan Gilmour dalam bukunya “Kita Media, Jurnalisme Akar Rumput, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat” (2004) berikut ini sepantasnya bisa memotivasi kita bersama, khususnya masyarakat adat Rejang. “Suara Anda penting. Sekarang, jika Anda memiliki sesuatu yang bernilai untuk dikatakan, Anda dapat didengar. Anda dapat membuat berita Anda sendiri. Kita semua bisa. Mari kita mulai”. (**)
*) Tulisan ini dibuat pada pertengahan Desember 2013 untuk memenuhi permintaan kawan-kawan Yayasan Akar dan Sekolah Pendamping Hukum Rakyat (SPHR) Bengkulu untuk diterbitkan pada Buletin Jejak Akar.