“Saya membutuhkan cukup satu orang aktivis untuk melanjutkan kerja-kerja rakyat ini. Semakin lama, generasi kita semakin terkikis oleh moleknya kemegaahan zaman. Seperti yang dikatakan sosok Man Of Future yang kita namai; kita kehilangan 1 generasi yang harusnya menjembatani mimpi-mimpi para pendahulu kita. Generasi yang sekarang seperti pasir, yang hampir tidak bisa difilter lagi; antara tubuh-jiwa dan tubuh-android.”
“Caranya adalah kita masuk ke kampus-kampus, mencari bibit aktivis berhaluan kiri, kita kumpulkan, diskusi dan ciptakan propaganda. Disanalah akan muncul bibit tersebut.”
“jika cara tersebut tidak berhasil?”
“Maka kita ciptakan ! Kita mulai dari menanam benih, merawat, dan melihat ia berkembang, menikati proses belajarnya sendiri. Orang-orang yang dipilih harus difilter dengan ketat dan disiplin. Agar ia tidak menjadi sampah masyarakat, menjadi penyakit ditubuh-tubuh kaum proletar.”
Akhirnya kami kembali lagi membangun budaya literasi ini di Akar. Membangun fondasi yang paling utama dari gerakan; yakni membaca, menulis, mendengarkan dan bertindak serta bertanggungjawab diatasnya.
Kami memulai dengan memaksa beberapa orang dirumah ini untuk memilih dan membaca buku apapun yang mereka suka selama 3 hari. Kemudian, mereka-mereka yang diminta untuk membaca, mengekstrasi hasil bacaan tersebut kedalam sebuah tulisan. Setelahnya, kami meminta mereka untuk mempresentasikan tulisannya dihadapan kawanan lainnya.
Aktifitas ini kami namai dengan pedagogy of laizess faire. Pedagogy of laizess faire yang kami rumuskan adalah sebuah metode belajar dan mengajar yang membebaskan pelaku yang terdidik tersebut menemukan metode belajar dan membacanya sendiri, tidak tergantung pada intruksi dan instrumen apapun. Mereka memiliki hak untuk memilih bacaannya sendiri, membaca dengan caranya sendiri dan menganalisis hasil bacaan dengan perspektif dan pengalamannya yang kompreshensif seorang sendiri. Metode ini tentu kami ciptakan untuk memecah kebuntuan berpikir dan keterbatasan daya imajinatif mereka dalam menghadapi persoalan diakar rumput.
Aktifitas kami yang pertama ini tentu tidak berjalan se-ideal yang kami harapkan. Beberapa kawan yang telah mempresentasikan bahan bacaannya masih terjebak dalam teks dan metode menghafal. Sehingga apa yang dipresentasikan adalah sebagaimana teks yang tertuang didalam buku. Selain itu, kawanan lain bahkan tidak sama sekali angkat bicara tentang apa yang sudah ia baca; ketakutan mengontrol kehidupan.
Namun, kami belajar banyak dari proses yang sama-sama kami mulai. Pertama untuk memperkuat hasil bacaan tersebut, tulisan yang diciptakan harus ditambah dengan perspektif si penulis. Sumbernya bisa dari buku bacaan lainnya, wawancara orang-orang terdekat atau pengalaman pribadi si penulis. Kedua, tertib menuliskan hasil bacaannya dengan bentuk tulisan apapun. Ketiga, konsisten melaksanakan aktifitas berkecambah ini.
Seperti kata Pram “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”