Sebagai bagian dari komunitas adat, yang didalamnya terintegrasi dengan ekosistem hutan, masyarakat adat Jurukalang mempunyai kearifan lokal sebagai upaya pelestarian kawasan yang dikelola berdasarkan prinsip demokratisasi dan keberlanjutan, beberapa kearifan lokal yang masih terdokumentasi dengan baik sampai saat ini adalah; Undang-Undang Simbur Cahayo, meskipun undang-undang ini dibuat oleh Belanda (van Bossche) dan kemudian dilakukan beberapa perubahan di dalamnya adalah salah satu sumber undang-undang adat yang tertulis yang selalu dijadikan sebagai referency dalam penyelesaian sengketa yang terjadi di Masyarakat Jurukalang.

Taneak Tanai, adalah sebutan untuk hamparan tanah dalam lingkup komunitas adat yang dimiliki secara komunal dan biasanya adalah bagian wilayah kelola warga, ada konsekuensi atas kepemilikan individu di wilayah taneak tanai dimana setiap pihak yang mengelola di kawasan tertentu di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanaman-tamanan keras yang bernilai konservasi dan ekonomi seperti petai, durian dll sebagai tanda wilayah tersebut telah dimiliki oleh seseorang dan keluarga tertentu.

Utan atau Imbo Piadan, ini penyebutan untuk hutan yang dipercayai ada penunggu gaib sehingga ada beberapa prasyarat untuk membuka kawasan ini jarang ada warga yang berani membuka hutan larangan ini, di Jurukalang kawasan Bukit Serdang adalah kawasan yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut Adat Rian Cao adalah adat tata cara atau istilah lokal untuk menyebutkan kearifan local, adat tata cara ini berkembangan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan warga komunitasnya Kedurai adalah salah satu tradisi yang dipercayai sebagai wadah komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib, ada beberapa jenis kedurai yang sering dilakukan oleh masyarakat di Jurukalang, kedurai untuk membuka lahan perkebunan di hutan di suatu wilayah tertentu adalah proses permintaan izin dan keselamatan bagi yang mengelolanya, Kedurai Agung biasanya dilakukan ketika ada teguran oleh alam gaib dalam bentuk Bumai Panes, proses Kedurai ini dilakukan oleh dukun yang disebut dengan Pawang, sarana-sarana lain yang harus dipersiapkan juga dalam proses ini adalah anyaman bambu untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen. Sesajen untuk ritual itu meliputi darah ayam (monok bae) yang disimpan di mangkok, minyak goreng, minyak Manis, sirih matang, sirih mentah, 99 jeruk nipis, 99 batang rokok, serta tiga jenis bunga (mawar, cempaka gading, dan cepiring). Bahan lainnya yang juga dipergunakan untuk ritual itu antara lain 198 butir beras kunyit, kue tepung beras (sabai), benang tiga warna (putih, merah, dan hitam).[1]

Mengeges adalah kebiasaan masyarakat di Jurukalang membersihkan lahan garapannya dengan dibakar, mengeges ini sebenarnya untuk mencegah jangan sampai api tersebut melalap kemana-mana, dalam proses pembakaran lahan biasanya dilakukan secara gotong royong Ali bilai adalah penyebutan gotong royong dalam menyelesaikan salah satu pekerjaan warga secara bergiliran Bo atau Silo adalah sejenis tanda larangan atau tanda hendak memiliki hasil hutan yang masih belum menghasilkan, yaitu sebatang bamboo yang ditusukkan ke tanah yang bagian atasnya dipecah dua dan di antara pecahan itu disempitkan sebatang bamboo lain 9. Sakea tanah garapan yang telah membentuk hutan kembali, biasanya masyarakat di Jurukalang kembali ke Sakea ketika tanah garapannya tidak subur, ini sering disebut dengan gilir balik dan pihak luar yang menstigmatisasi masyarakat adat sering menyebut ini dengan peladang berpindah

  • Jamai keadaan tanah yang ditingalkan sesudah menuai atau keadaan tanah yang telah diusahakan dan disengaja ditinggalkan supaya menjadi hutan kembali
  • Meniken adalah kegiatan ritual atau kenduri untuk pembukaan lahan yang akan dibuka untuk dijadikan lading atau lahan garapan

Selain beberapa kearifan lokal dalam mengelola keberlanjutan lingkungan marganya, ada beberapa larangan lain, kayu yang jika ditebang kemudian membentuk jembatan di dua sisi mata air kedua sisi tersebut dilarang untuk digarap, ada kepercayaan lokal yang jika di garap akan menimbulkan bahaya dan bencana bagi pemiliknya, dalam system konservasi modern kedua sisi in disebut dengan spadan sungai. Begitu juga dengan lahan yang ketika kayu-kayunya ditebang akan meluncur jauh akibat lerengan yang terjal juga di larang untuk digarap, wilayah-wilayah Telun atau air terjun juga di larang untuk di kelola oleh warga komunitas karena dipercayai adanya pengaruh gaib di sekitar wilayah tersebut.
Penebangan Pohon Madu yang disebut dengan Sialang adalah pantangan berat untuk ditebang, jika ditebang akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda membunuh orang, begitu juga dengan menebang pohon-pohon di sekitar pohon sialang dianggap juga sebagai pantangan adat, sialang dianggap sebagai hak komunal dan ketika panen maka biasanya diketahui oleh seluruh masyarakat komunitas dan ada bagian tertentu dari hasil panen yang tidak boleh diambil dan dibiarkan tinggal di sekitar pohon karena dianggap itu adalah hak penunggu gaib dari pohon, proses panennya pun diiringi oleh nyayian-nyayian pujian baik pujian terhadap kayu maupun pujian terhadap penunggunya.
[1] Hasil wawancara dengan Cong Pin (78) di Desa Bandar Agung oleh Team AMARTA