Oleh: Septri Widiono, SP., M. Si..

Istilah nelayan kecil di sini diparalelkan dengan pelaku ekonomi skala mikro/kecil (small business enterprises), termasuk juga mereka yang bekerja menerima upah di bidang perikanan tangkap sebagai anak buah kapal (ABK). Nelayan secara sosiologis dalam banyak hal memiliki keserupaan dengan petani, terutama dalam karakteristik budaya ekonominya. Mereka mengusahakan sebidang usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan bertahan dari waktu ke waktu menghadapi fluktuasi pasar dan ketidakpastian ekologi. Kita menyebutnya peasant dalam hal ini. Jadi kalaulah pola pikir petani atau nelayan bisa diubah menjadi bersifat rasional instrumental atau berpikir mencari keuntungan, maka akan ada katagori peasant farmer/fisher dan entrepreneurial farmer/fisher.

Aktivitas ekonomi individu melekat di dalam struktur sosial dan budaya dimana aktivitas tersebut berlangsung. Menggunakan teori keterlekatan Granoveter dan Swedberg, hampir-hampir tidak ada tindakan ekonomi yang berdiri sendiri tanpa pengaruh konteks sosial meskipun tindakan itu sendiri sudah bercorak kapitalis. Nelayan kecil yang berusaha membangun portofolio pendapatan rumah tangga, utamanya tersusun atas upah dalam bentuk bagi hasil atau penjualan hasil tangkapan terbentuk dari bekerjanya unsur-unsur non ekonomi yang sudah berlangsung sejak lama dan tertanam di dalam struktur sosial. Karena praktik sosial ini, secara awam disebut dengan budaya atau tradisi masyarakat pesisir.

Bergantung pada ukuran armada dimana seorang nelayan bekerja sebagai nelayan buruh. Armada kapal yang besar seperti purse seine atau setidaknya kapal bagan, nelayan bertindak sebagai ABK. ABK sendiri bisa dibagi lagi berdasarkan jenis tanggung jawabnya selama di laut. Ada juru mudi (nakhoda), juru masak (koki), teknisi, penebar jaring dan sebagainya. Semakin besar armada kapal, semakin terspesialisasi pembagian kerja di dalamnya, semakin banyak pula jumlah personel yang terlibat. Satu armada purse seine 100 GT setidaknya memperkerjakan 50 ABK dengan lama melaut sekitar 30 hari. Sedangkan kapal bagan mempekerjakan 15-20 ABK dengan waktu melaut setidaknya 7 hari. Armada penangkapan ini dimiliki oleh pengusaha perikanan atau yang popular di kalangan nelayan dengan sebutan juragan. Sementara armada-armada yang lebih kecil dari ini, misalnya kapal lancang, tentu saja dioperasikan oleh sedikit ABK dan biasanya pemilik kapal sekaligus sebagai juru mudinya. Jumlah awak di dalamnya tak lebih dari 3 orang.

Hubungan kerja pada berbagai jenis armada tersebut menyerupai pola hubungan agraris dimana nelayan buruh tak semata-mata sebagai pekerja dari si pemilik armada. Istilah juragan sendiri menunjukkan adanya pola hubungan yang bersifat nonekonomi. Juragan bertindak sebagai patron sementara nelayan menjadi klien. Kendati nelayan dapat memilih akan menjadi ABK dari juragan yang mana, pola-pola menentukan siapa juragan tidak ditentukan semata-mata karena pertimbangan ekonomi, misalnya besarnya bagi hasil. Seolah tidak ada pilihan, karena besarnya bagi hasil juga sudah menjadi kesepakatan tak tertulis di komunitas nelayan. Juragan menyiapkan armada dan perlindungan sosial, nelayan menjadi ABK sebagai buruh yang berkewajiban mengoperasikan armada tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang akan dibagi menurut kesekapatan sosial. Besarnya biaya-biaya operasional seperti BBM, konsumsi, dan perawatan armada menjadi kesepakatan yang sudah tidak dibicarakan lagi.

Kondisi struktural itulah yang menentukan pola penghidupan pada komunitas nelayan. Rumah tangga nelayan kecil hidup dari bagi hasil melaut sebagai sumber pendapatan utama. Hanya jika mereka mempunyai sumber-sumber produktif lainnya, misalnya sawah atau lahan pertanian lainnya, keragaman pendapatan rumah tangga dapat ditingkatkan. Keterampilan di luar melaut, misalnya perdagangan dan jasa pembuatan/perbaikan alat tangkap, yang dimiliki oleh sumber daya keluarga, suami, istri dan anak, juga mampu meningkatkan keragaman pendapatan.

Pada golongan masyarakat menengah ke bawah, diversifikasi sumber-sumber penghidupan dapat menurunkan kerentanan rumah tangga dari gejolak pasar dan ekologis. Rumah tangga nelayan sering kali tidak berdaya menghadapi turunnya harga hasil tangkapan. Sistem bagi hasil memang menyebabkan nelayan langsung terpapar dari dampak penurunan harga. Berbicara kerentanan ekologis, badai dan ombak tinggi merupakan kendala alam yang sampai sekarang belum berhasil ditaklukkan oleh nelayan kecil. Teknologi modern yang sederhana tidak mampu mengatasi dahsyatnya bahaya yang ditimbulkan karena faktor alam ini. Bila datang musim ini, nelayan tidak dapat melaut. Akibatnya nelayan tidak mendapatkan penghasilan pada hari itu. Siklus yang bersifat musiman baik yang ditentukan oleh faktor pasar maupun ekologis ini membentuk pola penghidupan nelayan menurut waktu yang bisa dipetakan polanya dalam periode setahun.

Modernisasi perikanan tangkap yang tidak memperhatikan pola pengorganisasian sosial dan sistem penghidupan akan menemui kegagalan dikarenakan program-program modernisasi alat tangkap sering salah sasaran. Nelayan kecil yang berposisi sebagai ABK dalam hubungan produksi perikanan tangkap hampir-hampir tidak tersentuh dalam berbagai skema program modernisasi dari pemerintah. Motorisasi yang dahulu kala menandai dimulainya modernisasi menggantikan perahu dayung (sampan) pertama-tama dinikmati oleh nelayan yang kemudian berkembang menjadi juragan. Mereka adalah cikal-bakal pengusaha perikanan tangkap yang mempraktekkan pola hubungan petty capitalism dengan para nelayan kecil. Nama-nama anggota kelompok yang dicantumkan dalam proposal kelompok nelayan teridentifikasi bukan bertindak sebagai nelayan pemilik alat tangkap. Sebagian dari mereka sebenarnya adalah para nelayan buruh.

Oleh karena itu intervensi yang diperlukan saat ini membutuhkan pemahaman yang utuh terhadap kondisi struktur sosial dimana program pemberdayaan akan dilaksanakan. Perlu dipetakan siapa yang bertindak sebagai patron dan klien kemudian pola hubungan kerja yang terbangun dalam operasi penangkapan di laut, hak dan kewajiban kedua belah pihak, besarnya bagi hasil yang diterima, dan skala organisasi kerja. Selain itu kemampuan memetakan sistem penghidupan nelayan juga menjadi kunci untuk menentukan pola intervensi yang perlu diambil oleh para pihak dalam memberdayakan komunitas nelayan.

Memberdayakan komunitas nelayan tidak selalu harus dimulai dari sektor perikanan tangkap itu sendiri. Dalam konteks disrupsi sosial yang semakin tidak menentu, keragaman sumber penghidupan menjadi penting untuk dipertimbangkan sebagai sektor penyangga dalam ekonomi rumah tangga nelayan. Bila masih tersedia sumber-sumber ekonomi lain di sektor pertanian atau jasa, sejauh mungkin diperlukan upaya yang bersifat struktural untuk meningkatkan akses dan penguasaan rumah tangga nelayan kecil terhadap sumber-sumber penghidupan tersebut.

Peranan perempuan nelayan yang selama ini sudah terbukti secara empirik mampu menjaga ketahanan penghidupan melalui usaha hilir perikanan tangkap seperti pengeringan ikan, juga perlu mendapatkan perhatian besar. Bahkan mungkin bisa menjadi pintu masuk melakukan pemberdayaan nelayan yang mampu membangun kemandirian ekonomi rumah tangga nelayan.