Oleh : Ricki Pratama Putra
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan potensi energi terbarukan melimpah dan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, memegang peran sentral dalam upaya global dalam mengatasi persoalan iklim. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai forum internasional, yang puncaknya termaktub dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC). Dalam E-NDC, Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 31,89% (dengan usaha sendiri), dan ambisius hingga 41% (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030. Untuk mencapai target ini, percepatan pembangunan infrastruktur energi terbarukan berskala besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB), Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTB), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) skala besar menjadi agenda prioritas nasional.
Namun, di balik optimisme transisi energi ini, tersembunyi sebuah kompleksitas yang seringkali luput dari perhatian yaitu dampak sosial dan hak asasi manusia. Proyek-proyek energi terbarukan, meskipun bertujuan mulia, seringkali membutuhkan penggunaan lahan atau wilayah yang signifikan. Wilayah-wilayah ini acapkali merupakan tanah ulayat dan wilayah adat yang secara historis dihuni, dikelola, dan dihidupi oleh Masyarakat Adat dan komunitas lokal. Mereka memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhur mereka, bukan hanya sebagai sumber mata pencarian, tetapi juga sebagai inti dari identitas budaya, sistem kepercayaan, dan praktik spiritual. Pengalaman masa lalu di Indonesia menunjukkan bahwa proyek-proyek pembangunan skala besar yang dilakukan tanpa perencanaan partisipatif dan penghormatan hak-hak dasar seringkali berujung pada konflik tenurial, penggusuran paksa, kerusakan lingkungan, dan marginalisasi sosial-ekonomi hingga mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dari sumber-sumber agrarianya.
Studi Kasus aktivitas PT. PGE Hululais Lebong
Contoh yang paling nyata yang penulis lihat secara langsung, yakni pembangunan PLTPB yang ada di Kabupaten Lebong melalui PT. PGE Hululais yang sejatinya dinarasikan sebagai energi yang bersih namun memperburuk ketidakadilan sosial dan lingkungan, alih-alih menghasilkan energi bersih, namun justru menjadi energi bersih yang tak ramah. Pengembangan panas bumi sebagai sumber listrik baru dibayar dengan harga mahal bahkan sebelum menghasilkan energi. Proses transisi energi yang seharusnya bersamaan dengan aspek keadilan dan keberlanjutan, pada kenyataannya harus dibayar dengan harga tinggi, yakni kesejahteraan dan keselamatan warga di sekitar proyek. Pada April 2016 yang lalu telah terjadi peristiwa lingkungan banjir dan longsor di sekitar lokasi Cluster A pengeboran PGE yang menelan korban jiwa 6 orang petani pekebun dan pekerja di PGE. Meskipun kemudian Banjir beserta Longsor tersebut hingga sudah beberapa tahun berlalu sekarang tetap memberi dampak yang sangat serius pada kehidupan ekosistem air, persawahan dan wilayah adat. Sudah lebih 10 Ha sawah tertimbun pasir, ada 8 desa/kelurahan yang sering mengalami banjir di 2017, yang bahkan terjadi hingga lebih 5 kali. Lebih dari 2.500 Ha lebih persawahan irigasi Cekdam akan mengalami gangguan lumpur dan air belerang. Tidak sampai disitu, akibat dugaan kelalaian para pihak terutama PT.PGE Hululais Lebong yang tidak menjalankan rekomendasi yang diterbitkan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM pada akhirnya kembali harus dibayar mahal dengan terjadi kembali peristiwa longsong dan banjir yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi. Hamparan sawah yang dulunya menjadi sumber ekonomi serta identitas kebudayaan Masyarakat Adat Rejang, terendam banjir dan tertimbun material longsor sehingga jadi hamparan tanah yang tidak bisa dimanfaatkan. Hal ini menyebabkan Masyarakat Adat Rejang di Kabupaten Lebong kehilangan mata pencaharian, beralih menjadi buruh tani karena tereksklusi secara terpaksa dari sumber agraria yang mereka miliki.
Masyarakat Adat Rejang dan komunitas lokal yang sejatinya tidak pernah dilibatkan secara berarti, diabaikan haknya, tapi justru menjadi korban atas kebijakan dan aktivitas proyek yang mempengaruhi mereka secara besar tanpa adanya persetujuan dari mereka. Dalam konteks inilah, prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) menjadi krusial. FPIC adalah instrumen perlindungan hak asasi manusia yang memastikan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak untuk memberikan atau menolak persetujuan terhadap proyek atau kebijakan yang memengaruhi tanah, wilayah, sumber daya, dan budaya mereka.
FPIC, Transisi Energi dan Perubahan Iklim
Penerapan FPIC dalam transisi energi bukan hanya soal mematuhi standar internasional, tetapi merupakan instrumen strategis untuk mencapai tujuan keadilan yang lebih luas. FPIC sebagai pengakuan dan penegakan hak asasi manusia yang melekat pada Masyarakat Adat. Mengabaikannya berarti mengabaikan kewajiban dasar negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak warganya, khususnya kelompok rentan. Dalam konteks transisi energi, di mana proyek-proyek dapat secara langsung memengaruhi tanah dan sumber daya Masyarakat Adat, FPIC memastikan bahwa hak atas properti, budaya, dan kehidupan mereka dihormati.
Oleh karenanya sejarah pembangunan di Indonesia dan dunia, termasuk proyek energi, penuh dengan contoh konflik yang timbul dari pengabaian hak-hak Masyarakat Adat menyebabkan proyek-proyek yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dan persetujuan dari komunitas lokal seringkali menghadapi penolakan keras, protes, pemblokiran akses, bahkan tindakan kekerasan karena memang tidak memberikan keuntungan dan keadilan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.
Dalam hubungannya dengan transisi energi dan perubahan iklim, FPIC harus segera menjadi syarat mutlak dalam mewujudkan keadilan iklim dan ekologis. Dengan FPIC, transisi energi harus menjadi solusi untuk krisis iklim, bukan menciptakan krisis keadilan baru. Karena konsep keadilan iklim menekankan bahwa beban dan manfaat dari tindakan perubahan iklim harus didistribusikan secara adil, dan bahwa kelompok-kelompok yang paling rentan terhadap dampak iklim (seperti Masyarakat Adat) harus memiliki suara dalam solusi. Tanpa FPIC, proyek-proyek ini berisiko menjadi bentuk “green grabbing” atau “green colonialism”, di mana lahan dan sumber daya masyarakat adat dan komunitas lokal diambil atas nama lingkungan global, namun tanpa keadilan bagi mereka yang terdampak langsung. FPIC memastikan bahwa transisi energi tidak hanya “hijau” tetapi juga “adil.”
FPIC dalam Kerangka Hukum dan Kebijakan Transisi Energi di Indonesia
Secara konstitusional, Indonesia mengakui keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2) menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Ketentuan ini menjadi landasan pengakuan, namun implementasinya masih memerlukan regulasi lebih lanjut.
Puncak pengakuan hukum atas hak Masyarakat Adat adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan ini mengubah definisi hutan adat dari “hutan negara” menjadi “hutan yang berada di wilayah Masyarakat Adat.” Ini adalah kemenangan besar yang memisahkan status hukum hutan adat dari hutan negara, menegaskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari penguasaan negara. Namun, implikasi praktis dari putusan ini, yaitu penetapan wilayah adat oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, masih berjalan sangat lambat. Hingga 2024, hanya sebagian kecil dari klaim wilayah adat yang telah diakui secara resmi.Keterlambatan ini menjadi hambatan utama dalam penerapan FPIC, karena ketiadaan pengakuan hukum yang jelas atas subjek dan wilayah adat mempersulit proses penentuan siapa yang berhak memberikan persetujuan.
Di luar putusan MK, tidak ada undang-undang payung yang secara komprehensif mengatur hak-hak Masyarakat Adat, termasuk kewajiban FPIC, untuk semua sektor pembangunan. Ketiadaan legislasi yang kuat dan spesifik tentang FPIC menciptakan ambiguitas hukum. Pemerintah dan pengembang seringkali dapat berdalih bahwa mereka telah melakukan “konsultasi” atau “sosialisasi” yang dianggap cukup, padahal substansinya jauh dari prinsip FPIC.
Rekomendasi untuk Integrasi FPIC yang Efektif untuk Transisi Energi yang adil dan berkelanjutan.
Meskipun tantangan implementasi FPIC di Indonesia sangat besar, ada pula peluang signifikan untuk mengintegrasikan prinsip ini secara lebih efektif, mengubah transisi energi menjadi model pembangunan yang benar-benar adil dan berkelanjutan.
Penguatan Kerangka Hukum dan Kebijakan Nasional.
Jalan mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan dengan memastikan FPIC terintegrasi sebagai syarat mutlak proyek transisi energi dalam kerangka hukum dan kebijakan nasional dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat
Ini adalah prioritas utama. Undang-undang ini harus menjadi payung hukum yang kuat untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat, termasuk secara eksplisit mewajibkan FPIC untuk semua proyek yang memengaruhi tanah, wilayah, dan sumber daya mereka. UU ini harus mencakup mekanisme pengakuan wilayah adat yang sederhana dan cepat.
2. Mengintegrasikan FPIC dalam Regulasi Sektoral
Jalan lain yang bisa dilakukan Adalah dengan mengintegrasikan prinsip FPIC kedalam seluruh regulasi di sektor energi (ESDM), kehutanan, lingkungan hidup (KLH) dan agraria (ATR/BPN). Regulasi sektoral harus direvisi atau dilengkapi dengan klausul FPIC yang eksplisit, mengikat, dan konsisten. Ini harus mencakup pedoman yang jelas tentang bagaimana FPIC harus diterapkan di setiap tahap proyek, dari perencanaan hingga operasi.
3. Penerapan Jus Cogens dalam isu Masyarakat Adat
FPIC sebagai instrumen pemenuhan hak asasi manusia yang melekat pada hak Masyarakat adat dapat kemudian dipaksakan untuk berlaku dalam hukum nasional, karena FPIC sebagai satu ketentuan hukum internasional yang melindungi HAM Masyarakat Adat secara umum harus dipandang sebagai “ius cogen”. FPIC dapat dilihat sebagai norma imperatif untuk melindungi kemanusiaan terutama melindungi harkat martabat manusia, persamaan individu dan ras, hak untuk hidup dan kebebasan individu bagi Masyarakat adat sebagaimana definisi jus cogens yang didefinisikan oleh Ulrich Scheuner yang merupakan pakar hukum internasional. Sehingga FPIC menjadi wajib dipatuhi karena merupakan peremptory norms yang berada diatas sumber hukum internasional lainnya dan tidak dapat dikesampingkan atau dibatalkan oleh hukum yang dibuat oleh negara baik dengan perjanjian internasional maupun hukum domestik.
4. Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa yang Kuat
Dalam penerapan FPIC selain harus diterapkan secara konsekuen dan memiliki sanksi yang tegas saat tidak dijalankan juga harus ada mekanisme pengaduan yang independen, mudah diakses, responsif, dan adil di tingkat proyek daerah dan nasional. Ini harus mencakup mediasi, arbitrasi, dan akses ke jalur hukum sebagai upaya terakhir. Hal ini guna menjamin agar hak hukum Masyarakat Adat dapat dipenuhi dan dijamin ketika terjadinya pelanggaran terhadap hak-haknya. Hal ini tidak terbatas dengan wajib dijaminnya remedi yang yang adil dan memadai bagi Masyarakat Adat jika terjadi pelanggaran FPIC atau dampak negatif yang tidak dapat dihindari.
Kesimpulan:
Menuju Masa Depan Energi yang Berdaulat, Berkeadilan, dan Berkelanjutan
Transisi energi di Indonesia adalah sebuah keniscayaan dan peluang besar untuk mencapai tujuan iklim global serta mendorong pembangunan berkelanjutan. Namun, keberhasilan sejati dari transisi ini tidak hanya diukur dari angka-angka produksi energi bersih atau penurunan emisi karbon. Keberhasilan yang hakiki terletak pada bagaimana proses ini mampu menegakkan keadilan sosial dan menghormati hak asasi manusia, khususnya bagi Masyarakat Adat yang selama ini seringkali menjadi korban pembangunan.
Penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) bukan lagi sekadar rekomendasi etis, melainkan sebuah urgensi mutlak dan prasyarat fundamental untuk mewujudkan transisi energi yang benar-benar berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia. FPIC memastikan bahwa Masyarakat Adat tidak lagi menjadi objek pembangunan, melainkan subjek yang berdaulat, dengan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan masa depan tanah serta sumber daya mereka.
Dengan mengadopsi pendekatan yang komprehensif, mulai dari penguatan kerangka hukum nasional, peningkatan kapasitas, pelaksanaan proses FPIC yang transparan dan adil, hingga pengembangan model kemitraan inklusif, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk menjadi contoh global dalam mewujudkan transisi energi yang tidak hanya “hijau” secara lingkungan, tetapi juga “adil” secara sosial. Ini adalah jalan menuju masa depan di mana energi bersih tidak hanya menyelamatkan planet, tetapi juga memberdayakan komunitas, menghapus ketidakadilan, dan membangun kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.